Umroh Dari Warung Padang Part 4 (Akhirnya Berangkat Juga)
Setelah menjalani penantian panjang,
akhirnya doaku terjawab. Aku dan rombongan umrohku yang berjumlah 25
orang berangkat tgl 29 Maret 2011. Kami berangkat dengan maskapai Royal
Brunei. Namun, kami harus transit terlebih dahulu ke Brunei. Lumayanlah,
jalan-jalan dulu ke negeri orang. Yang penting bagiku adalah berangkat
umroh. Mau cara transit, langsung, tak masalah. Aku searching
di internet, ternyata Royal Brunei kelasnya masih di bawah maskapai
Ettihad dan Emirates dalam hal pelayanan. Tak apalah. Mudah-mudahan
sekarang sudah berubah. Aku berdoa saja.
Aku datang tepat jam 13.00 dan menunggu di bandara agak lama, 2 jam sebelum boarding.
Saat pertama kali turun taksi, aku lihat orang berseragam batik yang
coraknya sama. Aku tersenyum pada si bapak yang “ahli rokok” bas-bis-bus
itu. Ia membalas senyumku. Kelak ia jadi “gila rokok” di tanah suci.
Sebelum terbang, aku beli voucher Simpati
di ATM BCA Rp 100.000,00. Gunanya buat jaga-jaga saja. Setelah sejam
menunggu, akhirnya passport kami dibagikan oleh pihak travel, lengkap.
Kali ini tak perlu bayar fiskal karena sudah tidak berlaku lagi. Sudah
ada NPWP. Lumayan hemat Rp 2,5 juta.
Cerita menegangkan pun dimulai. Aku sudah
antri panjang di keimigrasian, ternyata aku belum dapat kartu
keberangkatan ke luar negeri. Travel Cahaya Gelap memang kurang
profesional. Untung ada orang baik. Bayumi, seorang bapak-bapak lulusan
Cairo-Mesir, menelpon orang travel untuk memberikan aku kartu
keberangkatan. Aku selalu dibuat deg-degan oleh Travel ini. Untung orang
travelnya segera datang dan langsung menuliskan kartu keberangkatanku.
Bukan kali ini saja aku dikecewakan oleh
Travel Cahaya Gelap. Aku juga tidak dapat tas selempangan untuk membawa
passport. Mereka menjanjikan akan membagikannya di bandara karena
mengaku stok habis. Tapi ternyata aku tak dikasih. Saat di bandara
jelang keberangkatan, sengaja aku tidak minta hakku. Sebelum berangkat
ke bandara aku sudah bawel nelpon ke pihak travel bahwa aku belum dapat
tas selempangan buat passport. Mereka berjanji akan memberikannya di
bandara. Aku nantikan. Tapi tak ada itikad baik. Sudah kadung malas
menghadapi mereka. Yang penting berangkat umroh. Tas selempangan bisa
aku ganti dengan milik pribadi, Kebetulan ada tas kecil Alpina yang muat
untuk passport. Tas itu milik adikku Uul.
Pesawat Mewah
Pukul 16.00 aku sudah harus naik pesawat
Royal Brunei. Awalnya sempat merasa cemas naik pesawat ini. Menurut
hasil penelusuran google, pelayanan Royal Brunei masih termasuk kelas 3,
di bawah Etihad. Awalnya aku dan rombongan akan berangkat umroh tgl 15
Maret 2011. Namun karena ada kendala visa online dari kedutaan Arab
Saudi, maka berangkatnya ditunda. Tiket pesawat Ettihad yang sudah
dibooking terpaksa hangus. Visa baru keluar tgl 15 Maret 2011 pukul
22.00. Padahal tiket pesawat seharusnya berangkat hari itu pukul 17.00.
Agaknya Travel Cahaya Gelap terlalu mepet memasukkan aplikasi visa
onlinenya. Sehingga mereka salah perhitungan ketika terjadi kemacetan.
Kesan pertama naik Royal Brunei cukup
bagus. Pesawat cukup besar, dan pramugarinya lumayan cantik dan ramah,
khas anak Melayu. Jadi familiar dengan wajah-wajah seperti itu. Muka
khas Melayu. Pertama kali naik, sebelum take off, kami disuguhi
sejenis sapu tangan kecil yang sudah didinginkan dengan es dan baunya
wangi. Sapu tangan itu bisa dipakai untuk menyeka wajah dan leher serta
tangan. Setelah menyeka menggunakan sapu tangan itu, badan terasa fresh. Wajah juga terasa fresh. Siap untuk terbang bersama Royal Brunei. Sapu tangan yang kecil bentuknya, tapi memberi kesan segar dan aura positif sebelum take-off.
Saat itu, penilaian terhadap Royal Brunei perlahan mulai positif.
Setelah terbang 20 menit, kami disuguhi makanan berat, yaitu nasi
beserta lauk. Kali ini aku memilih lauk ayam penyet, lembut, disertai
sayur pucuk ubi. Makanannya khas masakan Melayu. Banyak santan dan
berkuah sedikit pada sayurnya. Jadi teringat masakan mama sore itu.
Saat naik pesawat yang canggih, aku jadi
manusia katro. Di depan tempat duduk ada tv. Namun, karena aku belum
biasa menggunakannya, aku mencoba pencet berapa tombol sambil melihat
apakah terjadi perubahan di layar. Tak dinyana, aku memencet tombol yang
membuat pramugari datang. Ia bertanya sekiranya ada yang bisa dibantu.
Aku bilang salah pencet. Ia membalas, jangan memencet tombol itu lagi.
Setelah itu, teman di sebelahku yang juga sama katronya memencet tombol
yang sama. Walhasil kita terkesan “ngerjain” pramugarinya. Si pramugari
cantik itu datang lagi. Tapi kali ini teman sebelahku yang berulah.
Hahahaha. Untuk pramugari itu meski wajahnya agak kesel, tapi tetap
terlihat cantik. Jadi tidak membuat pusing melihatnya. Hahahaha.
Sesampainya di Bandara Brunei, aku cukup terkesan. Bandaranya kecil, tapi lux.
Di kiri-kanan jalan menuju tempat transit, kami disuguhi foto-foto
binatang unik yang ada di Brunei. Ada juga foto pemandangan dan tempat
wisata. Berbeda sekali dengan di Bandara Soekarno Hatta yang banyak
iklan produk daripada promo daerah wisata seperti di Bandara Brunei.
Aku sempat keliling-keliling menunggu 3
jam transit di sana. Selain shalat, aku juga mencari kesibukan.
Mengakrabkan diri dengan jemaah lain dan mencari teman baru. Aku takjub
melihat ada gadis kecil bule yang berpakaian sejenis kebaya warna hijau
terang. Ia terlihat sangat cantik. Gadis kecil yang cantik dan
menggemaskan. Akhirnya aku ngobrol dengannya. Ramah tamah menyapanya dan
orangtuanya. Ternyata ia dan keluarganya baru saja berlibur di Brunei.
Mereka keluarga Australia. Aku menyempatkan diri berfoto bersamanya
karena aku lihat senyumnya indah sekali. Malam itu aku melatih
kepercayaan diri dengan chit chat bersama bule Australia. Lumayan
mengasyikkan setelah menempuh perjalanan 2 jam di pesawat dan butuh refreshing.
Aku juga mulai pedekate dengan jemaah satu rombongan. Jumlahnya ada
25 orang, termasuk diriku. Aku pilih mendekati satu keluarga. Keluarga
Bayumi, yang tadi menolongku menelpon pihak travel. Dari obrolan itu
ternyata terungkap fakta bahwa aku ternyata membayar lebih murah
dibandingkan mereka. Aku hanya membayar USD 1450. Sementara mereka
membayar USD 1620. Ada selisih sekitar USD 170. Mereka rata-rata diminta
uang lebih USD 200 karena terjadi perubahan keberangkatan dan tiket
pesawat hangus.
Jemaah lain adalah Pak Rudi. Ia sempat
aku hubungi sebelum berangkat dan saat negosiasi dengan Travel Cahaya
Gelap. Saat di Bandara Brunei, aku ngobrol banyak juga dengan pak Rudi.
Aku ceritakan bahwa ini umroh perdanaku. Ia menyambut baik keberadaanku
dan turut senang. Ia sudah haji sekali dan umroh berkali-kali. Aku kagum
padanya. Ia pengusaha yang mengaku berbisni receh. Ia menggeluti mulai
dari bisnis katering, pelaminan, toilet, dan lainnya. Memang, menurutku,
pintu rezeki yang paling besar itu datang lebih besar jika kita jadi
pengusaha. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan pada ummatnya agar
menjadi pengusaha agar cepat kaya. Sehingga Pak Rudi bisa bebas mengatur
jadwal dan bisa umroh berkali-kali jika sedang ingin umroh. Kami saling
ngobrol seputar masalah agama. Posisi saya adalah jadi pembelajar. Saya
mendengarkan saja apa yang dinasehatkan pak Rudi seputar pengalaman
umrohnya.
Sekitar 2 jam menunggu, kami sudah harus
bersiap-siap naik pesawat. Alhamduilllah aku mengetahui bahwa aku akan
naik pesawat Boeing 777. Kata penumpang lain, di Indonesia saja meskipun
sekelas Garuda Indonesia, belum ada pesawat jenis ini. Entah benar atau
tidak kicauan orang itu. Tapi paling tidak aku bersyukur. Ternyata ada
berkah lain di balik kesabaran menanti keberangkatan umroh yang
tertunda. Pesawatnya besar, agak luas. Pesawat terbesar yang pernah aku
naiki selama ini.
Masuk ke pesawat Royal Brunei, aku senang
sekali. Akhirnya akan berangkat juga ke Mekkah. Tapi sebelumnya sempat
melihat pemandangan yang agak mengganggu. Jemaah Indonesia yang umumnya
terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek berebut antri untuk masuk ke
ruang tunggu boarding. Selain antrian acakadul, jemaah
Indonesia norak. Mereka seperti takut ketinggalan pesawat. Padahal
jadwal keberangkatan masih satu jam lagi. Akses jalan di lorong menuju
ruang boarding tertutup. Antrian seperti antri minyak tanah di Riau,
atau antri menerima zakat di rumah orang kaya jelang lebaran. Sangat
berdesakan. Kapten pilot pesawat sampai harus minta mohon dibukakan
jalan agar bisa jalan menuju pesawatnya. “Minta lalu (numpang lewat),”
ujarnya bersama kru pramugari dan pramugaranya. Jemaah asal Indonesia
tetap menutupi jalan orang lewat. Itulah jemaah Indonesia. Aku hanya
bisa tersenyum miring melihat kejadian itu.
Hal agak konyol juga saya saksikan lagi.
Ketika melewati metal detector, banyak jemaah Indonesia yang kurang
tertib dalam antrian dan terlihat grasak-grusuk. Banyak yang gagal melewati metal detector dengan status clear. Alatnya selalu berbunyi.
Ada cerita lucu. Seorang kakek dibuat frustasi oleh petugas dan metal detector yang
resek dan sok kuasa plus bawel. Sudah berkali-kali melewati alat itu,
tetap saja bunyi alatnya. Si kakek mengulang melewati alat itu
berkali-kali. Sampai akhirnya ia terlihat frustasi. Ia buka ikat
pinggangnya. Lalu diletakkan di samping, di sebuah keranjang. Dan
seketika itu juga alatnya tak bunyi. Namun karena celananya kendor, dan
ikat pinggang sudah dicopot, celana si kakek melorot. Ketika ia tak
sadar celananya sudah melorot, ia juga memaksakan diri membuka bajunya.
Ia kira bajunya juga sumber masalah sama seperti ikat pinggangnya. Namun
buru-buru jemaah lain melarangnya. “Pak, celananya melorot, baju ga
perlu dibuka. Ikat pinggang saja yang dibuka.” ujar jemaah lain yang
ada di antrian berikutnya. Aku tanya, ternyata jemaah itu dari rombongan
orang Jambi. Pantas saja masih ada logat Melayunya, ujarku dalam hati.
Ketika naik pesawat, aku kembali disuguhi
sapu tangan dingin favoritku. Sapu tangan putih itu dingin dan
menyegarkan ketika diseka ke wajah kita. “Aku siap terbang.” Mungkin itu
kata yang tepat setelah menyeka wajah dengan sapu tangan itu. Segar
sekali.
Ketika masuk pesawat, jemaah Indonesia
juga masih belum tertib. Mereka menduduki tempat duduk sembarangan,
seenak hati. Jika ada tempat duduk yang dekat dengan suaminya, mereka
akan pilih tempat duduk itu tanpa peduli seat berapa yang
tertulis di tiketnya. Akibatnya, penumpang lain banyak yang kebingungan.
Si jemaah tidak mau pindah, sementara jemaah lain bingung mau cari
tempat pengganti dimana. Saking banyaknya perpindahan secara sepihak
itu, pramugari yang dimintai tolong oleh banyak jemaah kebingungan.
Puncaknya, pramugari bernama Aisyah sampai sedikit emosi. Seorang
penumpang dari Brunei bertanya kepada pramugari, dimana ia harus duduk,
semua seat sudah diduduki. Pramugari memperlihatkan ia stres
menghadapi ini. “Chaotik, I’m sorry sir,” ucapnya menjelaskan pada
penumpang. “Banyak penumpang pindah tempat tanpa beritahu.” Akhirnya
penumpang asal Brunei itu diantar oleh pramugari lain untuk duduk di
bagian paling belakang. Bagian yang paling tidak enak menurut saya. Tapi
apa boleh buat, jemaah Indonesia memang paling berkuasa di pesawat
Royal Brunei. Mereka takut berpisah dari istri/ suaminya.
Tempat duduk di pesawat Royal Brunei yang saya naiki ada 9 seat
di tiap satu deretnya (komposisi 3-3-3). Saya duduk di bagian tengah.
Di samping kanan saya ibu-ibu berumur. Samping kanan adalah bapak
Syahrun yang ternyata sudah berkali-kali umroh. Sepanjang perjalanan
saya membaca buku, terkadang nonton film, terkadang ganti mendengarkan
qiroah CD yang tersedia di pesawat. Aku masih ingin mempersiapkan diri
untuk menjalani umroh ini dengan sempurna. Jadi, harus tahu betul
ilmunya secara sempurna.
Pak Syahrun jemaah yang biasa umroh 3-4
kali setahun itu tidur gelisah. Ia selalu komplain terhadap pelayanan
pramugari. Mulai dari tempat makan yang tidak segera diangkut, sampai
pada posisi kursi yang menurutnya tidak nyaman dipakai untuk tidur.
Kerap kali aku mendengar ucapan tanda menggerutu, “Ckk ckk ckk”.
Kupingku pengang juga lama-lama mendengar komplainnya. Ia tidur tak
nyaman. Geser gaya serong ke kiri, kanan, dan masih disertai gerutuan.
Aku tetap baca buku, menggunakan lampu baca. Sampai akhirnya tertidur.
Aku sempat dimarahi oleh Pak Syahrun agar mematikan lampu baca jika
sudah tidak dipakai. Tapi menurutku, lampu baca itu sifatnya pribadi.
Lampu itu diarahkan tepat ke masing-masing penumpang. Jadi jika ia tetap
menyala, harusnya tetangga tempat duduk tak perlu komplain.
Menjadi Juru Bersih
Aku mendapatkan makan berat dua kali dan
makan ringan sekali selama perjalanan Brunei-Jeddah. Aku memesan makanan
yang paling aman bagiku, ayam. Rasa ayamnya lezat. Aku penasaran karena
selama perjalanan aku biasanya suka beser. Tapi kali ini aku jarang ke
toilet. Kayaknya semua cairan yang masuk ke perut diserap dengan baik.
Pada 3 jam terakhir perjalanan, aku ke toilet juga akhirnya. Ingin buang
air dan membasuh wajah agar lebih fresh ketika membaca buku.
Aku langkahkan kaki ke toilet, dan
terlihat penumpang lain sedang tidur pulas. Ternyata di toilet harus
ngantri. Ya harus sabar menanti. Begitu seorang ibu tua keluar dari
toilet. aku senang bukan kepalang. Alhamdulillah tak terlalu lama
menunggu. Si ibu tua segera keluar dan berlalu pergi. Begitu saya masuk
ke toilet, alangkah kagetnya saya. Pemandangan yang
luaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr biasaaaaa!
Tisu berwarna kuning, basah, dan agak
berbau, berserakan di lantai, westafel, dan tempat yang paling parah,
diselipkan di tempat tisu bersih berada.
“Mati aku!”
Kalau aku keluar dari toilet dan
kondisinya begini, tentu aku yang jadi tersangka sebagai pembuat kotor
toilet. Aku juga berpikir kasihan sekali ibu-ibu yang masuk sebelumnya.
Entah dia atau bukan pelakunya, yang pasti, pelakunya adalah orang yang
tak bisa bahasa Inggris dan tak mengerti harus buang sampah dimana.
Tempat sampah sebenarnya ada, tapi bertuliskan bahasa Inggris dan harus
ditekan dulu agar terbuka. Agaknya orang yang membuang sampah
sembarangan itu tak tahu dan panik. Jadinya sampah dibuang kemana-mana.
Aku mikir di dalam toilet. Harapanku cuma satu. Semoga hal ini tidak
dilakukan oleh Mama-Papaku yang pergi haji tahun 2011. Semoga mereka
cukup paham.
Akhirnya aku singsingkan lengan baju. Aku
ambil tisu bersih yang belum terkontaminasi tisu kotor, lalu satu
persatu tisu kotor, berwarna kuning dan berbau itu aku ambil dan
masukkan ke tempat sampah. Rasa jijik sih ada dalam hati. Bayangkan
saja, tisu kotor, warna kuning, bau, kira-kira dipakai buat apakah? Tapi
berangkat umroh ini harus bisa mengubah diri. Kurangi komplain,
perbanyak ibadah dan amal baik. Semoga Allah menghitung aksi
bersih-bersih toilet itu sebagai amalan.
Sebenarnya aku malu sebagai orang
Indonesia, jika membiarkan toilet itu tetap kotor. Pasti nanti nama
jemaah Indonesia jadi jelek dan dicap jorok. Mungkin ini cara membela
nama bangsa dalam wujud paling kecil. Aku cuci tangan dengan sabun
sampai bersih. Berkali-kali aku bercermin dan berkata pada diri, “I
can’t believe on what I have done!” Akhirnya kembali ke tempat duduk
dengan perasaan senang. Senang karena setelah melakukan kebaikan,
biasanya hati menjadi turut senang. Target saya cuma satu, melakukan
kebaikan kapanpun, dimanapun. Terlebih saat akan berangkat umroh.
Aku melanjutkan kembali membaca buku
hingga tertidur. Itu cara ampuh membunuh waktu agar tak terasa lama di
perjalanan. Tak terasa jarak sudah semakin dekat dengan Jeddah. Hal ini
bisa dilihat dari layar yang memuat hasil GPS di pesawat. Estimasi jarak
tempuh juga tertera di sana. Pilot segera mengumumkan bahwa dari daerah
ini jemaah bisa memulai berniat umroh karena sudah memasuki wilayah
miqat untuk umroh, bagi yang ingin langsung pergi umroh begitu tiba di
Jeddah. Jangan lupa juga untuk menanyakan kapan waktu shalat subuh
kepada pramugari atau pramugara. Jika mereka tidak tahu, bisa tanya ke
orang yang berpengalaman. Waktu itu, saya akhirnya shalat subuh di
Bandara setelah menjalani pemeriksaan imigrasi di bandara haji Jeddah.
Saat turun dari pesawat Royal Brunei, ada
kejadian menarik. Kami sudah disambut bus bandara. Ketika hampir semua
penumpang naik, ada segerombolan jemaah umroh dari satu travel yang
tidak mau naik ke bus. Akhirnya seorang petugas bandara berperawakan
Arab, menegur mereka kenapa tidak langsung masuk ke bus karena bus akan
segera berangkat. Para jemaah ngotot tidak mau dipaksa masuk. Petugas
bandara meladeni mereka dari sabar hingga emosi. Ia heran dan
geleng-geleng kepala. Aku juga heran, mengapa mereka tidak mau naik bus.
Ternyata setelah aku tanyakan apa penyebabnya, salah satu dari jemaah
asal Sulawesi itu menjawab takut naik bus karena belum pasti
pembimbingnya ikut bus yang sama. Mereka takut berpisah. Beberapa jemaah
menjelaskan bahwa nanti juga akan ketemu di ruang tunggu imigrasi, jadi
tidak akan terpisah. Jemaah asal Sulawesi itu tetap tak hirau. Sampai
akhirnya pembimbing yang mereka tunggu keluar dari pintu pesawat. Jemaah
tersebut lega. Mereka teriak-teriak memanggil nama pembimbingnya
sembari melambaikan tangan. Setelah pembimbingnya naik bus, barulah
mereka naik bus. Aku terkekeh dalam hati. Segitunya jemaah asal Sulawesi
ini. Antara katro, norak, kurang pengetahuan, atau terlalu taat sama
pembimbing. Entahlah. Silahkan nilai sendiri.
Tragedi “Pisang Ambon”
Sesampainya di ruang tunggu imigrasi, aku
langsung ke toilet. Aku ingin tahu bagaimana toilet di Arab Saudi.
“Pasti bersih nih toilet,” ujarku yakin. Bukankah kebersihan itu
sebagian dari iman. Pasti diterapkan di negeri Arab ini. Namun betapa
kagetnya aku. Begitu masuk ke toilet, aku melihat seonggok benda warna
cokelat tua, utuh, sebesar pisang Ambon, beraroma tak sedap, sedang
terapung di toilet yang pintunya ternganga. Jumlahnya aku hitung sekitar
4 onggok “pisang Ambon”. Tiga yang ukuran jumbo, dan satu lagi yang
ukuran sempalan alias kecil. Masih dalam suasana jetlag, aku mual, ingin
muntah seketika. Dalam hatiku berujar, “Inilah dia tokai Arab. Besar
dan mantap!” Sebuah sambutan yang sangat “elegan”. Aku coba nyalakan flush
nya, tidak nyala. Tapi kalaupun nyala, air penyiramnya tidak akan kuat
mendorong tokai itu, karena segede bagong banget. Ndak bisa diutak-atik.
Untungnya belum ada orang di belakangnya. Segera saja aku keluar dari
toilet itu. Takut dikira aku pula yang menjadi pelaku peristiwa tokai
Pisang Ambon itu. Akhirya ngantri di toilet sebelahnya yang sedang ada
orang di dalamnya.
Kemudian aku kembali ke ruang tunggu.
Berbondong petugas sejenis OB (Office boy) datang ke ruang tunggu
menawarkan kartu perdana. “Kartu-kartu,” begitu tawar mereka mantap
dalam logat Bahasa Indonesia. Untuk urusan jual-beli, orang Indonesia
yang datang ke Arab Saudi dianggap sebagai calon kuat pembeli kartu
perdana. Tawar menawar pun sangat mudah dilakukan karena mereka bisa
menggunakan bahasa Indonesia dalam hitungan. Misalnya 20, 30, 50 mereka
mampu menyebutkannya dengan fasih. Jadi jangan heran jika menemukan
banyak pedagang di sana bisa berbahasa Indonesia karena orang Indonesia
terkenal sebagai orang yang doyan belanja.
Sebuah label yang negatif dan merugikan.
Belakangan, aku main ke toko buku di sekitar Masjidil Haram. Ketika aku
tanyakan Al-quran terjemahan Bahasa Inggris, penjual mengatakan harganya
SR 75. Namun, ketika ia tawarkan Al-quran terjemahan bahasa Indonesia,
harganya malah mahal, SR 100 (sekitar 250 ribu). Aku protes. “Kenapa
mahal?” tanyaku dalam bahasa Inggris. Jawabannya mengejutkan. “Indonesia
banyak duit,” ucapnya polos. Menurut pengamatanku, ada dua label yang
disematkan ke orang Indonesia. Jika bukan TKI yang identik dengan
profesi pembantu, maka orang Indonesia adalah orang kaya yang sedang
umroh.
Diskriminasi oleh Petugas Imigrasi
Aku dan rombongan akhirnya dipersilahkan
antri menuju pemeriksaan dokumen imigrasi. Namun, aku melihat ada
diskriminasi dari petugas terhadap jemaah Indonesia. Orang Indonesia
disuruh berkumpul di depan tangga, menunggu entah apa, lalu orang Arab
yang masih ada di barisan belakang disuruh lewat ke pintu imigrasi
terlebih dahulu tanpa diperiksa. Kalau Indonesia, nanti dulu. Kami
menunggu sekitar 20 menit berdiri di antrian yang tak jelas kapan harus
mulai cek dokumen imigrasi. Akhirnya kami pun bisa melewati imigrasi
setelah ikut antrian dan setelah orang keturunan Arab selesai proses
imigrasi.
Jemaah Indonesia memang serba tidak
sabar. Mereka kerap antri terlalu mepet. Seperti takut tidak kebagian
jatah. Padahal tidak ada yang perlu diperebutkan. Desak-desakan tak
karuan, membuat petugas imigrasi marah. Jemaah Indonesia diminta agar
tidak melewati batas garis merah dalam antrian. Petugas Arab itu
menunjukkan kebengisannya. Aku tak suka melihat cara dia menatap jemaah
Indonesia. Seperti melihat penjahat saja. Padahal kalau mau
hitung-hitungan, karena umroh dan haji orang Indonesia-lah Arab Saudi
bisa meraup untung devisa berlipat ganda.
Sebelum antri, saya sempat berwudhu di
toilet pertama kali sampai. Saya wudhu di westafel karena antrian
panjang. Ada juga orang Arab entah dari negara mana. Ia sudah memakai
pakaian Ihram. Ia nekat wudhu di westafel. Ketika membasuh wajah,
tangan, kepala, telinga, tak masalah. Namun, ketika ingin membasuh kaki,
ia kesulitan sekali. Karena memakai pakaian ihram, ia tak menggunakan
“dalaman” sama sekali. Memang begitulah keistimewaan dan keunikan
pakaian Ihram. Ia mengharuskan manusia untuk menggunakan dua helai
pakaian tak berjahit sebagai pertanda betapa manusia itu nanti juga akan
membawa beberapa helai pakaian putih saja ke liang kuburnya. Kembali ke
kisah wudhunya orang berperawakan Arab tadi. Karena ia sedikit agak tua
dan sudah beruban, geraknya agak sulit. Ia angkat kaki kanannya. Namun
hanya bisa sampai setengah jalan. Macet lalu ia turunkan lagi. Sampai
akhirnya ia paksakan mengangkat kakinya ke westafel tentu dengan resiko
ia menyingsingkan pakaian ihram bagian bawahnya. Walhasil, kami yang ada
di ruang toilet ternganga. Selanjutnya, terbukalah tabir yang tak boleh
dilihat. Sensor!
Perjalanan Jeddah-Madinah
Entah karena saat itu jemaah umroh sangat
banyak, maka kami turun di Bandara khusus haji di Jeddah. Menurut
jemaah yang biasa umroh, ini unik. Biasanya di musim umroh, jarang ada
pengalihan seperti itu. Mungkin diperkirakan load jemaah umroh saat itu
sedang sangat padat. Jadilah aku berada di bandara haji Jeddah.
Perjalananku dari Bandara haji Jeddah ke
Madinah cukup panjang. Kami berangkat pukul 7 pagi dari Jeddah. Butuh
waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di Madinah. Alhamdulillah supir kami,
Ahmad–orang Mesir—bisa ngebut dan menghemat waktu. Kondisi jalan di
Arab Saudi sungguh enak. Selain lebar, track-nya juga lurus, konturnya
rata, tidak bergelombang, apalagi berlobang seperti di Indonesia.
Seandainya si supir tidur sekalipun, sambil menginjak pedal gas, kondisi
bisa tetap aman. Itu perumpamaan hiperbolanya. Hehehe.
Di sepanjang perjalanan aku
berkontemplasi, merenung, membayangkan, bagaimana mungkin Rasulullah
menempuh perjalanan dari Mekkah ke Madinah, dengan rute seperti ini.
Kondisi di kiri-kanan jalan yang aku amati adalah panas, gersang, padang
pasir, yang diselingi bebatuan warna hitam. Kalau Rasulullah hijrah,
sudah tentu butuh banyak pengorbanan waktu, tenaga, darah dan air mata.
Belum lagi, jika di tengah perjalanan diserang angin gurun, atau angin
pusing yang kerap dijumpai dan datang tanpa diduga. Betapa berat
perjuangan Rasulullah SAW dan sahabatnya saat itu. Kalau dikomparasikan
dengan jemaah umroh atau haji, tentu belum ada apa-apanya. Jemaah umroh
atau haji sekarang selalu disediakan bus ber-AC kelas satu, tempat duduk
model reclining seat, dan disediakan snack serta minuman. Jika
masih komplain dan mengeluh, tentu harusnya malu dengan Rasulullah yang
jalan kaki dan kadang naik unta.
Tepat pukul 10 pagi, kami melakukan pit
stop di sebuah restoran. Aku lupa namanya. Namun, semua bus berhenti di
sana. Layaknya restoran persinggahan, kami mengusahakan istirahat,
melihat-lihat jalanan sekitar. Ada jemaah yang membeli minuman, makanan,
dan bahkan ada yang beli kartu perdana agar bisa mudah berkomunikasi
dengan sesama jemaah, maupun dengan keluarga di Indonesia. Ketika
melihat ada yang beli minuman super segar warna orange, Aku sempat ngiler.
Alhamdulillah jemaah lain baik banget. Mereka pengertian dan mau
berbagi. Sebenarnya aku ingin sekali membeli minuman serupa. Namun uang
yang aku bawa terbatas, jadi harus hemat dari awal. Padahal udah mupeng
(muka pengen) banget. Cuaca panas, disuguhi minuman segar. Amboi, itu
momen paling nikmat. Mungkin bayangan nikmatnya senikmat iklan-iklan
minuman bersoda yang kerap ada di layar kaca. Konon, di Arab Saudi
minuman segar itu harganya murah. Sekitar SR 2-3, atau kalau
dikonversikan sekitar Rp 7.500 per botol. Arab Saudi biasanya mengimpor
makanan dan minuman berkualitas. Kalau di Indonesia minumannya sejenis
Sunkis gitulah. Saat itu aku sempat mengecek uang di saku. Aku membawa
uang pecahan SR 500. Rasanya sayang aja memecahkan uang sebesar itu
untuk membeli minuman seharga SR 2. Udahlah, aku lanjutkan dengan
meminum air putih kemasan yang dibagikan gratis oleh supir bus di awal
perjalanan. Begitu pikirku dalam hati
.
Aku alihkan pandangaku ke sekitar
restoran. Ternyata ada pom bensin di sebelah resto ini.Obrol punya
obrol, harga Pertamax di Arab Saudi cukup mengejutkan. Harganya SR 0.7
per liter. Kalau dikonversi ke Rupiah adalah sekitar 1.750. Sangat murah
bukan? Coba Anda bandingkan dengan Indonesia yang sampai di atas
5.000-an. Harga Pertamax di Arab itu, lebih murah daripada harga beli
air kemasan botol di sana. Menarik sekali fenomena ini. Ini bukti bahwa
Arab Saudi memang negara super kaya. Hampir semua barang serba impor.
Mobil-mobil mewah, makanan-minuman kemasan, buah-buahan, hampir semua
diimpor. Selain selalu dicari produk yang bagus, ia juga tanpa dikenai
pajak pula. Bukankah hal seperti itu menggiurkan bagi masyarakatnya?
Bus kami melanjutkan perjalanannya.
Namun, hal mengejutkan terjadi baru beberapa meter setelah bus
memutarkan rodanya. Seorang jemaah yang baru saja membeli kartu perdana
dengan jumlah pulsa SR 30, setelah dicek, ternyata isi pulsanya hanya SR
10. Ia positif kena tipu oleh penjual kartu perdana asongan
berseliweran di restoran itu. Akhirnya, petugas dari travel bernama
Ahmad—seorang Madura—membantu jemaah yang kena musibah itu. Ia
mengembalikan kartu perdana yang menyesatkan itu kepada penjualnya. Ia
minta diganti pulsa sesuai dengan yang telah dibayarkan sebelumnya.
Sempat terjadi perdebatan. Ahmad selaku muthawwif kami “menceramahi”
orang itu agar tidak berlaku curang seraya mengeluarkan kutipan ayat
Al-quran dan hadist. Akhirnya pedagang jahil itu memberikan kartu
perdana yang sebenarnya. Sungguh kejadian itu jadi pengalaman yang seru
dan membawa hikmah. Ternyata, di Arab Saudi, tak semua orang baik. Bukan
berarti mentang-mentang negerinya Nabi Muhammad, semua orang kita
anggap baik. Banyak juga penipu. Maka kita harus berhati-hati. Tetap
waspada. Jemaah yang kena tipu itu pun akhirnya senang. Ia berterima
kasih pada muthawwif kami karena telah dibantu, diselamatkan dari
penipuan. Lumayan kan, terhindar dari kerugian SAR 20 = sekitar Rp
50.000.
Bus kami melaju kencang di atas jalan
aspal kelas satu. Kondisi badanku terasa mulai aneh. Cuaca di sini
panasnya aneh. Ia bikin sesak napas karena banyak debu. Aku perbanyak
minum saja, biar badan tetap segar. Di sepanjang perjalanan, aku membaca
buku panduan umroh. Aku ingin perjalanan ini perfect. Aku
ingin semua doa yang ada, sudah aku hapal sebelum ritual umroh
dilangsungkan. Jika sudah bosan baca buku, biasanya aku terkantuk-kantuk
dan tertidur. Ketika bangun lagi, aku mulai lagi membaca buku, dan
kadang diselingi obrolan dengan jemaah umroh lainnya. Kebetulan,
diantara 24 jemaah lain itu, ada 1 orang mantan murid di Universitas
Al-Azhar Cairo. Jadi ia punya banyak cerita untuk dibagi-bagi kepada
jemaah lainnya. Ia selalu menceritakan petualangannya di masa muda
ketika masih di Cairo dulu. Hingga kini pun, ia masih tetap kontak
dengan teman-temannya dulu. Teman Arab-nya banyak, terutama yang dekat
dengan manajer-manajer hotel di Madinah dan Mekkah. Ini menunjukkan
bahwa ia punya keluwesan dalam bergaul dan membangun serta menjaga
jaringan sosialnya.
Setelah satu setengah jam perjalanan,
kami berhenti lagi di sebuah musholla pinggir jalan. Beberapa jemaah
pergi ke toilet untuk buang air. Beberapa jemaah meregangkan badannya
agar tidak kaku. Unik juga. Di tengah padang pasir, kita bisa temukan
ada masjid atau musholla. Entah siapa yang sholat rutin di sana. Aku
sedang berpikir, bagaimana masyarakat di sini ke masjid? Mungkin hanya
musafir yang sholat di musholla kecil itu. Setiap orang Arab yang hendak
bepergian, mungkin harus punya mobil sendiri agar bebas bepergian.
Jarang aku lihat ada taksi, angkot, atau sejenisnya. Lagian, menurut
kabarnya, harga mobil di sana cukup murah. Temanku, Kuswantoro,
mahasiswa King Abdul Aziz University, sudah berangan-angan membeli mobil
dan mengajakku membuka usaha di sana.
Perjalanan masih menempuh waktu 45 menit
lagi kata supir kami yang orang Mesir itu. Aku coba bercakap-cakap
dengannya. Aku tanyakan kabar negaranya yang sempat chaos dan
ia jawab, “baik-baik saja.” Kami lalu melanjutkan perjalanan. Dan tak
berapa lama, akhirnya kami memasuki kota Madinah. Sepintas, kesan
pertama yang aku tangkap dari kota ini adalah kota yang tenang, damai,
adem, ayem, dan sepi. Para jemaah dituntun oleh pihak travel (muthawwif)
untuk membacakan shalawat badar yang dibacakan penduduk Madinah kepada
Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Aku membayangkan, bagaimana
kira-kira Rasulullah disambut di Madinah setelah perjalanan jauh nan
melelahkan. Sungguh, aku tak tega dan tak sanggup membayangkan betapa
letihnya perjalanan di gurun dengan unta, berpuluh-puluh kilometer, dan
tentunya itu bukan perkara gampang. Butuh perjuangan keras. Saat itu,
detik itu juga, bulu kudukku merinding. Kekagumanku pada Rasulullah
meluap-luap dalam hati. Aku hanya ikut bershalawat badar dalam hati.
Bagiku, aku cukup paham dengan arti tiap kata dalam shalawat badar. Tak
perlu rasanya aku lafazkan keras-keras seperti jemaah lain. Aku larut
dalam kontemplasi ke dalam diri.
Apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana
ketika kamar hotelku masih dihuni pelanggan lain? Apa kisah menarik di
Madinah? Bagaimana serunya datang ke Raudhoh? Bagaimana sensasi ketemu
orang dari berbagai belahan benua dan berakrab ria dengan mereka?
Nantikan ceritanya di “Umroh Dari Warung Padang Part 5” hanya di www.umarat.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar