Senin, 27 Mei 2013

Kisah Umroh - Umarat's Part 4

Umroh Dari Warung Padang Part 4 (Akhirnya Berangkat Juga)

Setelah menjalani penantian panjang, akhirnya doaku terjawab. Aku dan rombongan umrohku yang berjumlah 25 orang berangkat tgl 29 Maret 2011. Kami berangkat dengan maskapai Royal Brunei. Namun, kami harus transit terlebih dahulu ke Brunei. Lumayanlah, jalan-jalan dulu ke negeri orang. Yang penting bagiku adalah berangkat umroh. Mau cara transit, langsung, tak masalah. Aku searching di internet, ternyata Royal Brunei kelasnya masih di bawah maskapai Ettihad dan Emirates dalam hal pelayanan. Tak apalah. Mudah-mudahan sekarang sudah berubah. Aku berdoa saja.

Aku datang tepat jam 13.00 dan menunggu di bandara agak lama, 2 jam sebelum boarding. Saat pertama kali turun taksi, aku lihat orang berseragam batik yang coraknya sama. Aku tersenyum pada si bapak yang “ahli rokok” bas-bis-bus itu. Ia membalas senyumku. Kelak ia jadi “gila rokok” di tanah suci.

Sebelum terbang, aku beli voucher Simpati di ATM BCA Rp 100.000,00. Gunanya buat jaga-jaga saja. Setelah sejam menunggu, akhirnya passport kami dibagikan oleh pihak travel, lengkap. Kali ini tak perlu bayar fiskal karena sudah tidak berlaku lagi. Sudah ada NPWP. Lumayan hemat Rp 2,5 juta.
Cerita menegangkan pun dimulai. Aku sudah antri panjang di keimigrasian, ternyata aku belum dapat kartu keberangkatan ke luar negeri. Travel Cahaya Gelap memang kurang profesional. Untung ada orang baik. Bayumi, seorang bapak-bapak lulusan Cairo-Mesir, menelpon orang travel untuk memberikan aku kartu keberangkatan. Aku selalu dibuat deg-degan oleh Travel ini. Untung orang travelnya segera datang dan langsung menuliskan kartu keberangkatanku.

Bukan kali ini saja aku dikecewakan oleh Travel Cahaya Gelap. Aku juga tidak dapat tas selempangan untuk membawa passport. Mereka menjanjikan akan membagikannya di bandara karena mengaku stok habis. Tapi ternyata aku tak dikasih. Saat di bandara jelang keberangkatan, sengaja aku tidak minta hakku. Sebelum berangkat ke bandara aku sudah bawel nelpon ke pihak travel bahwa aku belum dapat tas selempangan buat passport. Mereka berjanji akan memberikannya di bandara. Aku nantikan. Tapi tak ada itikad baik. Sudah kadung malas menghadapi mereka. Yang penting berangkat umroh. Tas selempangan bisa aku ganti dengan milik pribadi, Kebetulan ada tas kecil Alpina yang muat untuk passport. Tas itu milik adikku Uul.

Pesawat Mewah
Pukul 16.00 aku sudah harus naik pesawat Royal Brunei. Awalnya sempat merasa cemas naik pesawat ini. Menurut hasil penelusuran google, pelayanan Royal Brunei masih termasuk kelas 3, di bawah Etihad. Awalnya aku dan rombongan akan berangkat umroh tgl 15 Maret 2011. Namun karena ada kendala visa online dari kedutaan Arab Saudi, maka berangkatnya ditunda. Tiket pesawat Ettihad yang sudah dibooking terpaksa hangus. Visa baru keluar tgl 15 Maret 2011 pukul 22.00. Padahal tiket pesawat seharusnya berangkat hari itu pukul 17.00. Agaknya Travel Cahaya Gelap terlalu mepet memasukkan aplikasi visa onlinenya. Sehingga mereka salah perhitungan ketika terjadi kemacetan.

Kesan pertama naik Royal Brunei cukup bagus. Pesawat cukup besar, dan pramugarinya lumayan cantik dan ramah, khas anak Melayu. Jadi familiar dengan wajah-wajah seperti itu. Muka khas Melayu. Pertama kali naik, sebelum take off, kami disuguhi sejenis sapu tangan kecil yang sudah didinginkan dengan es dan baunya wangi. Sapu tangan itu bisa dipakai untuk menyeka wajah dan leher serta tangan. Setelah menyeka menggunakan sapu tangan itu, badan terasa fresh. Wajah juga terasa fresh. Siap untuk terbang bersama Royal Brunei. Sapu tangan yang kecil bentuknya, tapi memberi kesan segar dan aura positif sebelum take-off. Saat itu, penilaian terhadap Royal Brunei perlahan mulai positif. Setelah terbang 20 menit, kami disuguhi makanan berat, yaitu nasi beserta lauk. Kali ini aku memilih lauk ayam penyet, lembut, disertai sayur pucuk ubi. Makanannya khas masakan Melayu. Banyak santan dan berkuah sedikit pada sayurnya. Jadi teringat masakan mama sore itu.

Pramugara Membagikan “Sapu Tangan Ajaib”

Saat naik pesawat yang canggih, aku jadi manusia katro. Di depan tempat duduk ada tv. Namun, karena aku belum biasa menggunakannya, aku mencoba pencet berapa tombol sambil melihat apakah terjadi perubahan di layar. Tak dinyana, aku memencet tombol yang membuat pramugari datang. Ia bertanya sekiranya ada yang bisa dibantu. Aku bilang salah pencet. Ia membalas, jangan memencet tombol itu lagi. Setelah itu, teman di sebelahku yang juga sama katronya memencet tombol yang sama. Walhasil kita terkesan “ngerjain” pramugarinya. Si pramugari cantik itu datang lagi. Tapi kali ini teman sebelahku yang berulah. Hahahaha. Untuk pramugari itu meski wajahnya agak kesel, tapi tetap terlihat cantik. Jadi tidak membuat pusing melihatnya. Hahahaha.

Menikmati film di pesawat

Sesampainya di Bandara Brunei, aku cukup terkesan. Bandaranya kecil, tapi lux. Di kiri-kanan jalan menuju tempat transit, kami disuguhi foto-foto binatang unik yang ada di Brunei. Ada juga foto pemandangan dan tempat wisata. Berbeda sekali dengan di Bandara Soekarno Hatta yang banyak iklan produk daripada promo daerah wisata seperti di Bandara Brunei.

Aku sempat keliling-keliling menunggu 3 jam transit di sana. Selain shalat, aku juga mencari kesibukan. Mengakrabkan diri dengan jemaah lain dan mencari teman baru. Aku takjub melihat ada gadis kecil bule yang berpakaian sejenis kebaya warna hijau terang. Ia terlihat sangat cantik. Gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Akhirnya aku ngobrol dengannya. Ramah tamah menyapanya dan orangtuanya. Ternyata ia dan keluarganya baru saja berlibur di Brunei. Mereka keluarga Australia. Aku menyempatkan diri berfoto bersamanya karena aku lihat senyumnya indah sekali. Malam itu aku melatih kepercayaan diri dengan chit chat bersama bule Australia. Lumayan mengasyikkan setelah menempuh perjalanan 2 jam di pesawat dan butuh refreshing.

Turis Australia

Ramah Tamah dgn “Bidadari Kecil” Australia

Aku juga mulai pedekate dengan jemaah satu rombongan. Jumlahnya ada 25 orang, termasuk diriku. Aku pilih mendekati satu keluarga. Keluarga Bayumi, yang tadi menolongku menelpon pihak travel. Dari obrolan itu ternyata terungkap fakta bahwa aku ternyata membayar lebih murah dibandingkan mereka. Aku hanya membayar USD 1450. Sementara mereka membayar USD 1620. Ada selisih sekitar USD 170. Mereka rata-rata diminta uang lebih USD 200 karena terjadi perubahan keberangkatan dan tiket pesawat hangus.

Jemaah lain adalah Pak Rudi. Ia sempat aku hubungi sebelum berangkat dan saat negosiasi dengan Travel Cahaya Gelap. Saat di Bandara Brunei, aku ngobrol banyak juga dengan pak Rudi. Aku ceritakan bahwa ini umroh perdanaku. Ia menyambut baik keberadaanku dan turut senang. Ia sudah haji sekali dan umroh berkali-kali. Aku kagum padanya. Ia pengusaha yang mengaku berbisni receh. Ia menggeluti mulai dari bisnis katering, pelaminan, toilet, dan lainnya. Memang, menurutku, pintu rezeki yang paling besar itu datang lebih besar jika kita jadi pengusaha. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan pada ummatnya agar menjadi pengusaha agar cepat kaya. Sehingga Pak Rudi bisa bebas mengatur jadwal dan bisa umroh berkali-kali jika sedang ingin umroh. Kami saling ngobrol seputar masalah agama. Posisi saya adalah jadi pembelajar. Saya mendengarkan saja apa yang dinasehatkan pak Rudi seputar pengalaman umrohnya.

Sekitar 2 jam menunggu, kami sudah harus bersiap-siap naik pesawat. Alhamduilllah aku mengetahui bahwa aku akan naik pesawat Boeing 777. Kata penumpang lain, di Indonesia saja meskipun sekelas Garuda Indonesia, belum ada pesawat jenis ini. Entah benar atau tidak kicauan orang itu. Tapi paling tidak aku bersyukur. Ternyata ada berkah lain di balik kesabaran menanti keberangkatan umroh yang tertunda. Pesawatnya besar, agak luas. Pesawat terbesar yang pernah aku naiki selama ini.

Masuk ke pesawat Royal Brunei, aku senang sekali. Akhirnya akan berangkat juga ke Mekkah. Tapi sebelumnya sempat melihat pemandangan yang agak mengganggu. Jemaah Indonesia yang umumnya terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek berebut antri untuk masuk ke ruang tunggu boarding. Selain antrian acakadul, jemaah Indonesia norak. Mereka seperti takut ketinggalan pesawat. Padahal jadwal keberangkatan masih satu jam lagi. Akses jalan di lorong menuju ruang boarding tertutup. Antrian seperti antri minyak tanah di Riau, atau antri menerima zakat di rumah orang kaya jelang lebaran. Sangat berdesakan. Kapten pilot pesawat sampai harus minta mohon dibukakan jalan agar bisa jalan menuju pesawatnya. “Minta lalu (numpang lewat),” ujarnya bersama kru pramugari dan pramugaranya. Jemaah asal Indonesia tetap menutupi jalan orang lewat. Itulah jemaah Indonesia. Aku hanya bisa tersenyum miring melihat kejadian itu.

Hal agak konyol juga saya saksikan lagi. Ketika melewati metal detector, banyak jemaah Indonesia yang kurang tertib dalam antrian dan terlihat grasak-grusuk. Banyak yang gagal melewati metal detector dengan status clear. Alatnya selalu berbunyi.

Ada cerita lucu. Seorang kakek dibuat frustasi oleh petugas dan metal detector yang resek dan sok kuasa plus bawel. Sudah berkali-kali melewati alat itu, tetap saja bunyi alatnya. Si kakek mengulang melewati alat itu berkali-kali. Sampai akhirnya ia terlihat frustasi. Ia buka ikat pinggangnya. Lalu diletakkan di samping, di sebuah keranjang. Dan seketika itu juga alatnya tak bunyi. Namun karena celananya kendor, dan ikat pinggang sudah dicopot, celana si kakek melorot. Ketika ia tak sadar celananya sudah melorot, ia juga memaksakan diri membuka bajunya. Ia kira bajunya juga sumber masalah sama seperti ikat pinggangnya. Namun buru-buru jemaah lain melarangnya. “Pak, celananya melorot, baju ga perlu dibuka. Ikat pinggang saja yang dibuka.”  ujar jemaah lain yang ada di antrian berikutnya. Aku tanya, ternyata jemaah itu dari rombongan orang Jambi. Pantas saja masih ada logat Melayunya, ujarku dalam hati.

Ketika naik pesawat, aku kembali disuguhi sapu tangan dingin favoritku. Sapu tangan putih itu dingin dan menyegarkan ketika diseka ke wajah kita. “Aku siap terbang.” Mungkin itu kata yang tepat setelah menyeka wajah dengan sapu tangan itu. Segar sekali.

Sapu Tangan Ajaib, Bikin Seger
Ketika masuk pesawat, jemaah Indonesia juga masih belum tertib. Mereka menduduki tempat duduk sembarangan, seenak hati. Jika ada tempat duduk yang dekat dengan suaminya, mereka akan pilih tempat duduk itu tanpa peduli seat berapa yang tertulis di tiketnya. Akibatnya, penumpang lain banyak yang kebingungan. Si jemaah tidak mau pindah, sementara jemaah lain bingung mau cari tempat pengganti dimana. Saking banyaknya perpindahan secara sepihak itu, pramugari yang dimintai tolong oleh banyak jemaah kebingungan. Puncaknya, pramugari bernama Aisyah sampai sedikit emosi. Seorang penumpang dari Brunei bertanya kepada pramugari, dimana ia harus duduk, semua seat sudah diduduki. Pramugari memperlihatkan ia stres menghadapi ini. “Chaotik, I’m sorry sir,” ucapnya menjelaskan pada penumpang. “Banyak penumpang pindah tempat tanpa beritahu.” Akhirnya penumpang asal Brunei itu diantar oleh pramugari lain untuk duduk di bagian paling belakang. Bagian yang paling tidak enak menurut saya. Tapi apa boleh buat, jemaah Indonesia memang paling berkuasa di pesawat Royal Brunei. Mereka takut berpisah dari istri/ suaminya.

Tempat duduk di pesawat Royal Brunei yang saya naiki ada 9 seat di tiap satu deretnya (komposisi 3-3-3). Saya duduk di bagian tengah. Di samping kanan saya ibu-ibu berumur. Samping kanan adalah bapak Syahrun yang ternyata sudah berkali-kali umroh. Sepanjang perjalanan saya membaca buku, terkadang nonton film, terkadang ganti mendengarkan qiroah CD yang tersedia di pesawat. Aku masih ingin mempersiapkan diri untuk menjalani umroh ini dengan sempurna. Jadi, harus tahu betul ilmunya secara sempurna.

Pak Syahrun jemaah yang biasa umroh 3-4 kali setahun itu tidur gelisah. Ia selalu komplain terhadap pelayanan pramugari. Mulai dari tempat makan yang tidak segera diangkut, sampai pada posisi kursi yang menurutnya tidak nyaman dipakai untuk tidur. Kerap kali aku mendengar ucapan tanda menggerutu, “Ckk ckk ckk”. Kupingku pengang juga lama-lama mendengar komplainnya. Ia tidur tak nyaman. Geser gaya serong ke kiri, kanan, dan masih disertai gerutuan. Aku tetap baca buku, menggunakan lampu baca. Sampai akhirnya tertidur. Aku sempat dimarahi oleh Pak Syahrun agar mematikan lampu baca jika sudah tidak dipakai. Tapi menurutku, lampu baca itu sifatnya pribadi. Lampu itu diarahkan tepat ke masing-masing penumpang. Jadi jika ia tetap menyala, harusnya tetangga tempat duduk tak perlu komplain.

Menjadi Juru Bersih
Aku mendapatkan makan berat dua kali dan makan ringan sekali selama perjalanan Brunei-Jeddah. Aku memesan makanan yang paling aman bagiku, ayam. Rasa ayamnya lezat. Aku penasaran karena selama perjalanan aku biasanya suka beser. Tapi kali ini aku jarang ke toilet. Kayaknya semua cairan yang masuk ke perut diserap dengan baik. Pada 3 jam terakhir perjalanan, aku ke toilet juga akhirnya. Ingin buang air dan membasuh wajah agar lebih fresh ketika membaca buku.

Aku langkahkan kaki ke toilet, dan terlihat penumpang lain sedang tidur pulas. Ternyata di toilet harus ngantri. Ya harus sabar menanti. Begitu seorang ibu tua keluar dari toilet. aku senang bukan kepalang. Alhamdulillah tak terlalu lama menunggu. Si ibu tua segera keluar dan berlalu pergi. Begitu saya masuk ke toilet, alangkah kagetnya saya. Pemandangan yang luaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr biasaaaaa!
Tisu berwarna kuning, basah, dan agak berbau, berserakan di lantai, westafel, dan tempat yang paling parah, diselipkan di tempat tisu bersih berada.
“Mati aku!”

Kalau aku keluar dari toilet dan kondisinya begini, tentu aku yang jadi tersangka sebagai pembuat kotor toilet. Aku juga berpikir kasihan sekali ibu-ibu yang masuk sebelumnya. Entah dia atau bukan pelakunya, yang pasti, pelakunya adalah orang yang tak bisa bahasa Inggris dan tak mengerti harus buang sampah dimana. Tempat sampah sebenarnya ada, tapi bertuliskan bahasa Inggris dan harus ditekan dulu agar terbuka. Agaknya orang yang membuang sampah sembarangan itu tak tahu dan panik. Jadinya sampah dibuang kemana-mana.  Aku mikir di dalam toilet. Harapanku cuma satu. Semoga hal ini tidak dilakukan oleh Mama-Papaku yang pergi haji tahun 2011. Semoga mereka cukup paham.

Perhatikan Ilustrasi Westafel Royal Brunei (Diambil Saat Naik Pesawat Pulang Ke Indonesia)

Akhirnya aku singsingkan lengan baju. Aku ambil tisu bersih yang belum terkontaminasi tisu kotor, lalu satu persatu tisu kotor, berwarna kuning dan berbau itu aku ambil dan masukkan ke tempat sampah. Rasa jijik sih ada dalam hati. Bayangkan saja, tisu kotor, warna kuning, bau, kira-kira dipakai buat apakah? Tapi berangkat umroh ini harus bisa mengubah diri. Kurangi komplain, perbanyak ibadah dan amal baik. Semoga Allah menghitung aksi bersih-bersih toilet itu sebagai amalan.

Sebenarnya aku malu sebagai orang Indonesia, jika membiarkan toilet itu tetap kotor. Pasti nanti nama jemaah Indonesia jadi jelek dan dicap jorok. Mungkin ini cara membela nama bangsa dalam wujud paling kecil. Aku cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Berkali-kali aku bercermin dan berkata pada diri, “I can’t believe on what I have done!” Akhirnya kembali ke tempat duduk dengan perasaan senang. Senang karena setelah melakukan kebaikan, biasanya hati menjadi turut senang. Target saya cuma satu, melakukan kebaikan kapanpun, dimanapun. Terlebih saat akan berangkat umroh.

Aku melanjutkan kembali membaca buku hingga tertidur. Itu cara ampuh membunuh waktu agar tak terasa lama di perjalanan. Tak terasa jarak sudah semakin dekat dengan Jeddah. Hal ini bisa dilihat dari layar yang memuat hasil GPS di pesawat. Estimasi jarak tempuh juga tertera di sana. Pilot segera mengumumkan bahwa dari daerah ini jemaah bisa memulai berniat umroh karena sudah memasuki wilayah miqat untuk umroh, bagi yang ingin langsung pergi umroh begitu tiba di Jeddah. Jangan lupa juga untuk menanyakan kapan waktu shalat subuh kepada pramugari atau pramugara. Jika mereka tidak tahu, bisa tanya ke orang yang berpengalaman. Waktu itu, saya akhirnya shalat subuh di Bandara setelah menjalani pemeriksaan imigrasi di bandara haji Jeddah.

Saat turun dari pesawat Royal Brunei, ada kejadian menarik. Kami sudah disambut bus bandara. Ketika hampir semua penumpang naik, ada segerombolan jemaah umroh dari satu travel yang tidak mau naik ke bus. Akhirnya seorang petugas bandara berperawakan Arab, menegur mereka kenapa tidak langsung masuk ke bus karena bus akan segera berangkat. Para jemaah ngotot tidak mau dipaksa masuk. Petugas bandara meladeni mereka dari sabar hingga emosi. Ia heran dan geleng-geleng kepala. Aku juga heran, mengapa mereka tidak mau naik bus. Ternyata setelah aku tanyakan apa penyebabnya, salah satu dari jemaah asal Sulawesi itu menjawab takut naik bus karena belum pasti pembimbingnya ikut bus yang sama. Mereka takut berpisah. Beberapa jemaah menjelaskan bahwa nanti juga akan ketemu di ruang tunggu imigrasi, jadi tidak akan terpisah. Jemaah asal Sulawesi itu tetap tak hirau. Sampai akhirnya pembimbing yang mereka tunggu keluar dari pintu pesawat. Jemaah tersebut lega. Mereka teriak-teriak memanggil nama pembimbingnya sembari melambaikan tangan. Setelah pembimbingnya naik bus, barulah mereka naik bus. Aku terkekeh dalam hati. Segitunya jemaah asal Sulawesi ini. Antara katro, norak, kurang pengetahuan, atau terlalu taat sama pembimbing. Entahlah. Silahkan nilai sendiri.

Tragedi “Pisang Ambon”
Sesampainya di ruang tunggu imigrasi, aku langsung ke toilet. Aku ingin tahu bagaimana toilet di Arab Saudi. “Pasti bersih nih toilet,” ujarku yakin. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman. Pasti diterapkan di negeri Arab ini. Namun betapa kagetnya aku. Begitu masuk ke toilet, aku melihat seonggok benda warna cokelat tua, utuh, sebesar pisang Ambon, beraroma tak sedap, sedang terapung di toilet yang pintunya ternganga. Jumlahnya aku hitung sekitar 4 onggok “pisang Ambon”. Tiga yang ukuran jumbo, dan satu lagi yang ukuran sempalan alias kecil. Masih dalam suasana jetlag, aku mual, ingin muntah seketika. Dalam hatiku berujar, “Inilah dia tokai Arab. Besar dan mantap!” Sebuah sambutan yang sangat “elegan”. Aku coba nyalakan flush nya, tidak nyala. Tapi kalaupun nyala, air penyiramnya tidak akan kuat mendorong tokai itu, karena segede bagong banget. Ndak bisa diutak-atik. Untungnya belum ada orang di belakangnya. Segera saja aku keluar dari toilet itu. Takut dikira aku pula yang menjadi pelaku peristiwa tokai Pisang Ambon itu. Akhirya ngantri di toilet sebelahnya yang sedang ada orang di dalamnya.

Ilustrasi “Toilet Penuh” (taken from google.co.id)

Kemudian aku kembali ke ruang tunggu. Berbondong petugas sejenis OB (Office boy) datang ke ruang tunggu menawarkan kartu perdana. “Kartu-kartu,” begitu tawar mereka mantap dalam logat Bahasa Indonesia. Untuk urusan jual-beli, orang Indonesia yang datang ke Arab Saudi dianggap sebagai calon kuat pembeli kartu perdana. Tawar menawar pun sangat mudah dilakukan karena mereka bisa menggunakan bahasa Indonesia dalam hitungan. Misalnya 20, 30, 50 mereka mampu menyebutkannya dengan fasih. Jadi jangan heran jika menemukan banyak pedagang di sana bisa berbahasa Indonesia karena orang Indonesia terkenal sebagai orang yang doyan belanja.

Sebuah label yang negatif dan merugikan. Belakangan, aku main ke toko buku di sekitar Masjidil Haram. Ketika aku tanyakan Al-quran terjemahan Bahasa Inggris, penjual mengatakan harganya SR 75. Namun, ketika ia tawarkan Al-quran terjemahan bahasa Indonesia, harganya malah mahal, SR 100 (sekitar 250 ribu). Aku protes. “Kenapa mahal?” tanyaku dalam bahasa Inggris. Jawabannya mengejutkan. “Indonesia banyak duit,” ucapnya polos. Menurut pengamatanku, ada dua label yang disematkan ke orang Indonesia. Jika bukan TKI yang identik dengan profesi pembantu, maka orang Indonesia adalah orang kaya yang sedang umroh.

Diskriminasi oleh Petugas Imigrasi
Aku dan rombongan akhirnya dipersilahkan antri menuju pemeriksaan dokumen imigrasi. Namun, aku melihat ada diskriminasi dari petugas terhadap jemaah Indonesia. Orang Indonesia disuruh berkumpul di depan tangga, menunggu entah apa, lalu orang Arab yang masih ada di barisan belakang disuruh lewat ke pintu imigrasi terlebih dahulu tanpa diperiksa. Kalau Indonesia, nanti dulu. Kami menunggu sekitar 20 menit berdiri di antrian yang tak jelas kapan harus mulai cek dokumen imigrasi. Akhirnya kami pun bisa melewati imigrasi setelah ikut antrian dan setelah orang keturunan Arab selesai proses imigrasi.

Contoh Jemaah Tertib

Contoh Jemaah Berdesakan Melewati Garis Merah

Jemaah Indonesia memang serba tidak sabar. Mereka kerap antri terlalu mepet. Seperti takut tidak kebagian jatah. Padahal tidak ada yang perlu diperebutkan. Desak-desakan tak karuan, membuat petugas imigrasi marah. Jemaah Indonesia diminta agar tidak melewati batas garis merah dalam antrian. Petugas Arab itu menunjukkan kebengisannya. Aku tak suka melihat cara dia menatap jemaah Indonesia. Seperti melihat penjahat saja. Padahal kalau mau hitung-hitungan, karena umroh dan haji orang Indonesia-lah Arab Saudi bisa meraup untung devisa berlipat ganda.

Sebelum antri, saya sempat berwudhu di toilet pertama kali sampai. Saya wudhu di westafel karena antrian panjang. Ada juga orang Arab entah dari negara mana. Ia sudah memakai pakaian Ihram. Ia nekat wudhu di westafel. Ketika membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, tak masalah. Namun, ketika ingin membasuh kaki, ia kesulitan sekali. Karena memakai pakaian ihram, ia tak menggunakan “dalaman” sama sekali. Memang begitulah keistimewaan dan keunikan pakaian Ihram. Ia mengharuskan manusia untuk menggunakan dua helai pakaian tak berjahit sebagai pertanda betapa manusia itu nanti juga akan membawa beberapa helai pakaian putih saja ke liang kuburnya. Kembali ke kisah wudhunya orang berperawakan Arab tadi. Karena ia sedikit agak tua dan sudah beruban, geraknya agak sulit. Ia angkat kaki kanannya. Namun hanya bisa sampai setengah jalan. Macet lalu ia turunkan lagi. Sampai akhirnya ia paksakan mengangkat kakinya ke westafel tentu dengan resiko ia menyingsingkan pakaian ihram bagian bawahnya. Walhasil, kami yang ada di ruang toilet ternganga. Selanjutnya, terbukalah tabir yang tak boleh dilihat. Sensor!

Perjalanan Jeddah-Madinah

Entah karena saat itu jemaah umroh sangat banyak, maka kami turun di Bandara khusus haji di Jeddah. Menurut jemaah yang biasa umroh, ini unik. Biasanya di musim umroh, jarang ada pengalihan seperti itu. Mungkin diperkirakan load jemaah umroh saat itu sedang sangat padat. Jadilah aku berada di bandara haji Jeddah.
Perjalananku dari Bandara haji Jeddah ke Madinah cukup panjang. Kami berangkat pukul 7 pagi dari Jeddah. Butuh waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di Madinah. Alhamdulillah supir kami, Ahmad–orang Mesir—bisa ngebut dan menghemat waktu. Kondisi jalan di Arab Saudi sungguh enak. Selain lebar, track-nya juga lurus, konturnya rata, tidak bergelombang, apalagi berlobang seperti di Indonesia. Seandainya si supir tidur sekalipun, sambil menginjak pedal gas, kondisi bisa tetap aman. Itu perumpamaan hiperbolanya. Hehehe.

Di sepanjang perjalanan aku berkontemplasi, merenung, membayangkan, bagaimana mungkin Rasulullah menempuh perjalanan dari Mekkah ke Madinah, dengan rute seperti ini. Kondisi di kiri-kanan jalan yang aku amati adalah panas, gersang, padang pasir, yang diselingi bebatuan warna hitam. Kalau Rasulullah hijrah, sudah tentu butuh banyak pengorbanan waktu, tenaga, darah dan air mata. Belum lagi, jika di tengah perjalanan diserang angin gurun, atau angin pusing yang kerap dijumpai dan datang tanpa diduga. Betapa berat perjuangan Rasulullah SAW dan sahabatnya saat itu. Kalau dikomparasikan dengan jemaah umroh atau haji, tentu belum ada apa-apanya. Jemaah umroh atau haji sekarang selalu disediakan bus ber-AC kelas satu, tempat duduk model reclining seat, dan disediakan snack serta minuman. Jika masih komplain dan mengeluh, tentu harusnya malu dengan Rasulullah yang jalan kaki dan kadang naik unta.

Tepat pukul 10 pagi,  kami melakukan pit stop di sebuah restoran. Aku lupa namanya. Namun, semua bus berhenti di sana. Layaknya restoran persinggahan, kami mengusahakan istirahat, melihat-lihat jalanan sekitar. Ada jemaah yang membeli minuman, makanan, dan bahkan ada yang beli kartu perdana agar bisa mudah berkomunikasi dengan sesama jemaah, maupun dengan keluarga di Indonesia. Ketika melihat ada yang beli minuman super segar warna orange, Aku sempat ngiler. Alhamdulillah jemaah lain baik banget. Mereka pengertian dan mau berbagi. Sebenarnya aku ingin sekali membeli minuman serupa. Namun uang yang aku bawa terbatas, jadi harus hemat dari awal. Padahal udah mupeng (muka pengen) banget. Cuaca panas, disuguhi minuman segar. Amboi, itu momen paling nikmat. Mungkin bayangan nikmatnya senikmat iklan-iklan minuman bersoda yang kerap ada di layar kaca. Konon, di Arab Saudi minuman segar itu harganya murah. Sekitar SR 2-3, atau kalau dikonversikan sekitar Rp 7.500 per botol. Arab Saudi biasanya mengimpor makanan dan minuman berkualitas. Kalau di Indonesia minumannya sejenis Sunkis gitulah. Saat itu aku sempat mengecek uang di saku. Aku membawa uang pecahan SR 500. Rasanya sayang aja memecahkan uang sebesar itu untuk membeli minuman seharga SR 2. Udahlah, aku lanjutkan dengan meminum air putih kemasan yang dibagikan gratis oleh supir bus di awal perjalanan. Begitu pikirku dalam hati
.
Aku alihkan pandangaku ke sekitar restoran. Ternyata ada pom bensin di sebelah resto ini.Obrol punya obrol, harga Pertamax di Arab Saudi cukup mengejutkan. Harganya SR 0.7 per liter. Kalau dikonversi ke Rupiah adalah sekitar 1.750. Sangat murah bukan? Coba Anda bandingkan dengan Indonesia yang sampai di atas 5.000-an. Harga Pertamax di Arab itu, lebih murah daripada harga beli air kemasan botol di sana. Menarik sekali fenomena ini. Ini bukti bahwa Arab Saudi memang negara super kaya. Hampir semua barang serba impor. Mobil-mobil mewah, makanan-minuman kemasan, buah-buahan, hampir semua diimpor. Selain selalu dicari produk yang bagus, ia juga tanpa dikenai pajak pula. Bukankah hal seperti itu menggiurkan bagi masyarakatnya?

Bus kami melanjutkan perjalanannya. Namun, hal mengejutkan terjadi baru beberapa meter setelah bus memutarkan rodanya. Seorang jemaah yang baru saja membeli kartu perdana dengan jumlah pulsa SR 30, setelah dicek, ternyata isi pulsanya hanya SR 10. Ia positif kena tipu oleh penjual kartu perdana asongan berseliweran di restoran itu. Akhirnya, petugas dari travel bernama Ahmad—seorang Madura—membantu jemaah yang kena musibah itu. Ia mengembalikan kartu perdana yang menyesatkan itu kepada penjualnya. Ia minta diganti pulsa sesuai dengan yang telah dibayarkan sebelumnya. Sempat terjadi perdebatan. Ahmad selaku muthawwif kami “menceramahi” orang itu agar tidak berlaku curang seraya mengeluarkan kutipan ayat Al-quran dan hadist. Akhirnya pedagang jahil itu memberikan kartu perdana yang sebenarnya. Sungguh kejadian itu jadi pengalaman yang seru dan membawa hikmah. Ternyata, di Arab Saudi, tak semua orang baik. Bukan berarti mentang-mentang negerinya Nabi Muhammad, semua orang kita anggap baik. Banyak juga penipu. Maka kita harus berhati-hati. Tetap waspada. Jemaah yang kena tipu itu pun akhirnya senang. Ia berterima kasih pada muthawwif kami karena telah dibantu, diselamatkan dari penipuan. Lumayan kan, terhindar dari kerugian SAR 20 = sekitar Rp 50.000.

Bus kami melaju kencang di atas jalan aspal kelas satu. Kondisi badanku terasa mulai aneh. Cuaca di sini panasnya aneh. Ia bikin sesak napas karena banyak debu. Aku perbanyak minum saja, biar badan tetap segar. Di sepanjang perjalanan, aku membaca buku panduan umroh. Aku ingin perjalanan ini perfect. Aku ingin semua doa yang ada, sudah aku hapal sebelum ritual umroh dilangsungkan. Jika sudah bosan baca buku, biasanya aku terkantuk-kantuk dan tertidur. Ketika bangun lagi, aku mulai lagi membaca buku, dan kadang diselingi obrolan dengan jemaah umroh lainnya. Kebetulan, diantara 24 jemaah lain itu, ada 1 orang mantan murid di Universitas Al-Azhar Cairo. Jadi ia punya banyak cerita untuk dibagi-bagi kepada jemaah lainnya. Ia selalu menceritakan petualangannya di masa muda ketika masih di Cairo dulu. Hingga kini pun, ia masih tetap kontak dengan teman-temannya dulu. Teman Arab-nya banyak, terutama yang dekat dengan manajer-manajer hotel di Madinah dan Mekkah. Ini menunjukkan bahwa ia punya keluwesan dalam bergaul dan membangun serta menjaga jaringan sosialnya.

Setelah satu setengah jam perjalanan, kami berhenti lagi di sebuah musholla pinggir jalan. Beberapa jemaah pergi ke toilet untuk buang air. Beberapa jemaah meregangkan badannya agar tidak kaku. Unik juga. Di tengah padang pasir, kita bisa temukan ada masjid atau musholla. Entah siapa yang sholat rutin di sana. Aku sedang berpikir, bagaimana masyarakat di sini ke masjid? Mungkin hanya musafir yang sholat di musholla kecil itu. Setiap orang Arab yang hendak bepergian, mungkin harus punya mobil sendiri agar bebas bepergian. Jarang aku lihat ada taksi, angkot, atau sejenisnya. Lagian, menurut kabarnya, harga mobil di sana cukup murah. Temanku, Kuswantoro, mahasiswa King Abdul Aziz University, sudah berangan-angan membeli mobil dan mengajakku membuka usaha di sana.
Perjalanan masih menempuh waktu 45 menit lagi kata supir kami yang orang Mesir itu. Aku coba bercakap-cakap dengannya. Aku tanyakan kabar negaranya yang sempat chaos dan ia jawab, “baik-baik saja.” Kami lalu melanjutkan perjalanan. Dan tak berapa lama, akhirnya kami memasuki kota Madinah. Sepintas, kesan pertama yang aku tangkap dari kota ini adalah kota yang tenang, damai, adem, ayem, dan sepi. Para jemaah dituntun oleh pihak travel (muthawwif) untuk membacakan shalawat badar yang dibacakan penduduk Madinah kepada Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Aku membayangkan, bagaimana kira-kira Rasulullah disambut di Madinah setelah perjalanan jauh nan melelahkan. Sungguh, aku tak tega dan tak sanggup membayangkan betapa letihnya perjalanan di gurun dengan unta, berpuluh-puluh kilometer, dan tentunya itu bukan perkara gampang. Butuh perjuangan keras. Saat itu, detik itu juga, bulu kudukku merinding. Kekagumanku pada Rasulullah meluap-luap dalam hati. Aku hanya ikut bershalawat badar dalam hati. Bagiku, aku cukup paham dengan arti tiap kata dalam shalawat badar. Tak perlu rasanya aku lafazkan keras-keras seperti jemaah lain. Aku larut dalam kontemplasi ke dalam diri.

Apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana ketika kamar hotelku masih dihuni pelanggan lain? Apa kisah menarik di Madinah? Bagaimana serunya datang ke Raudhoh? Bagaimana sensasi ketemu orang dari berbagai belahan benua dan berakrab ria dengan mereka? Nantikan ceritanya di “Umroh Dari Warung Padang Part 5” hanya di www.umarat.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar