Senin, 27 Mei 2013

Kisah Umroh - Umarat's Part 5

Umroh Dari Warung Padang Part 5 (Madinah I’m in Love)

Rombongan Umroh Cahaya Gelap Tour & Travel sampai di Madinah pukul setengah 12 siang. Saat itu, bus kami kesulitan mencari tempat parkir untuk ke hotel karena banyak jalan diblokir. Di kiri-kanan jalan juga terlihat sedang banyak pembangunan gedung-gedung tinggi di kota itu. Kabarnya sih itu semua pembangunan hotel baru. Hampir 30 menit bus kami berputar sebelum akhirnya menemukan tempat parkir yang pas. Aku gemas dibuatnya.

Ternyata saat kami datang, waktu sudah menunjukkan jam shalat Zuhur. Tak ada aktivitas selain lautan manusia berbondong jalan menuju masjid Nabawi. Termasuk dari pihak hotel kami, Ar-Raudhah. Dan saat bus selesai berputar-putar cari parkir, ramai pula orang berbondong-bondong keluar dari masjid Nabawi. Saat itu, aku belum kepikiran, akan seperti apa penampakan masjid Nabawi. Rasa penasaranku begitu menggelora dan tersimpan rapi dalam hati.
Di Depan Hotel bin Losmen Ar-Raudhoh

Alhamdulillah hotel kami Ar Raudhah, terletak tak jauh dari Masjid Nabawi. Hanya sekitar 200-an meter. Namun, begitu turun dari bus, dan sudah masuk ke lobi hotel, ternyata ada masalah yang sangat tidak disangka-sangka.

Ternyata kami belum mendapatkan kamar yang diakui pihak travel sudah dibooking sebelumnya. Hotel Ar Raudhah saat itu sedang penuh. Jemaah dan travel lain juga banyak yang mengantri untuk mendapatkan kamar hotel. Lengah sedikit, meski sudah status booking, bisa lenyap jatah kamar hotel kita. Pihak travel yang diwakili muthawwif (pembimbing), melobi pihak hotel dalam bahasa Arab super cepat. Berkali-kali ia lancarkan negosiasi, dan hasilnya tetap nihil. Kamar Penuh!

Beberapa jemaah mulai terlihat letih. Ada juga yang mulai dihinggapi kecewa. Aku rasanya ingin berbaring saja. Capek. Koper-koper kami sudah masuk ke lobi hotel. Kami menenteng tas masing-masing. Sungguh negosiasi yang cukup alot. Pak Rudi, jemaah senior di rombongan kami, mengajak kami sholat Zuhur dulu di Masjid Nabawi agar lebih tenang. Aku menyambut baik ajakannya itu. Ini kesempatan yang aku tanti jauh hari. Ini perkenalan awalku dengan masjid Nabawi. Aku bawa tas sandangku. Koper tetap kutinggal di lobi hotel. Insya Allah aman. Ada jemaah lain yang menjaga. Aku pergi berempat. Pak Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi dan aku. Kami jalan mendekati Masjid Nabawi.
Subhanallah! Masjid ini megah, indah, dan modern. Itu kesan pertama yang aku tangkap dari fisik Masjid Nabawi. Aku terkagum-kagum. Kami pun bersiap masuk. Aku mencopot sepatu, segera mengikuti langkah pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk terlebih dahulu. Aku dan Mas Edi masuk belakangan. Kami membawa tas sandang agak besar dan berat.

Nah, kejadian tak mengenakkan menimpa kami. Ketika sudah masuk beberapa langkah di pintu masjid dan saat membaca doa masuk masjid dengan penuh khusu’, tiba-tiba tas kami ditarik dari belakang oleh seseorang berperawakan besar, tinggi, berjenggot, berjambang. “Hajji Hajji, la la la,” sambil geleng-geleng kepala tanda melarang sesuatu. Aku kaget. Ia melarang kami masuk masjid membawa tas.

“Limaza? (Kenapa?)” Tanyaku heran. Untung masih bisa bahasa Arab dikit-dikit. Hehehe. Ia menunjuk tas yang kami sandang, yang volumenya cukup besar. Akhirnya kami terpaksa menunggu pak Rudi di pelataran depan masjid. Ternyata mereka itu adalah askar yang mengawasi jemaah. Peraturannya menurut cerita orang-orang di sana sudah sangat jelas. Tidak boleh membawa tas besar ke dalam masjid.

Aku tak tahu, mungkin mereka takut tas itu bisa dimasuki barang-barang dari masjid, atau takut ancaman bom, entahlah. Bahkan, orang yang akan mengambil air zam zam dalam ukuran besar seperti galon juga dilarang. Jemaah hanya boleh mengambil air zam zam dengan menggunakan botol minuman kemasan ukuran kecil sampai sedang. Maksimal botol 1 liter. Aku hanya bisa pasrah.
Pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk duluan, heran, dan ia baru ingat, tak boleh membawa tas ke dalam masjid. Ia dan pak Ahmad sholat Zuhur duluan. Kami bergantian. Saat itu, aku pertama kali minum air zam-zam yang tersedia di masjid Nabawi dalam galon-galon yang disediakan, baik yang dingin maupun yang biasa. Rasa airnya tawar, hambar, tidak berasa. Ini ciri khas air zam zam. Namun, khasiat yang terkandung di dalamnya, luar biasa. Bisa untuk menyehatkan, membuat jadi pintar, membukakan pintu rezeki, dan lain-lain. Akhirnya giliranku tiba untuk sholat jemaah bersama mas Edi. Alhamdulillah.

Setelah selesai shalat Zuhur, kami kembali ke hotel Ar Raudhah. Saat itu, rombongan kami belum juga mendapatkan kamar. Aku heran. Entah ini pihak travel dari Indonesia yang tak kuat lobinya, hingga belum dapat hotel di sini, atau karena memang jemaah umroh sangat penuh dalam periode ini. Entahlah, aku hanya bisa menduga-duga. Booking hotel seperti ngantri beras. Rapat sekali. Koper-koper jemaah lain berseliweran saling keluar-masuk hotel. Ada jemaah yang baru datang, ada yang baru akan keluar. Kami mengincar jemaah yang baru akan keluar, agar kamarnya bisa diperuntukkan bagi kami yang sudah menunggu hampir 2 jam di lobi hotel. Perjuangan yang tak mudah. Badan rasanya letih sekali. Ingin rasanya berbaring. Muthawwif dan jemaah kami, Bayumi—mantan mahasiswa Cairo-Mesir–mencoba terus melobi pihak hotel. Sampai-sampai pihak hotel yang merasa terintimidasi, mengusir mereka dari meja resepsionis. Sama sekali tak ada pelayanan di sana. Mentang-mentang kita yang butuh, songong tuh pihak hotel.

Akhirnya, jam 3 sore kami dapatkan kamar hotel. Aku sempat bingung. Akan sekamar dengan siapa? Aku hanya sendiri. Tidak berkeluarga. Orang lain pergi bareng keluarganya. Alhamdulillah, setelah bercerita dengan Pak Rudi di bandara Brunei kemaren, ia mafhum keadaanku. Ia berinisiatif menempatkanku sekamar dengannya. Kami berempat, terdiri dari Pak Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi, dan aku.

Sungguh senang ada teman sekamar. Ada tempat untuk berbagi cerita. Ketika masuk kamar hotel pertama kali, kami kaget bukan main. Ternyata kamarnya baru saja ditinggal penghuni sebelumnya. Belum dibersihkan, belum diganti selimut, cover bed bau, dan parahnya tak ada handuk. Toilet pun terbatas. Untuk tiga kamar, disediakan 2 toilet yang terletak di luar kamar pula. “Hotel yang bukan hotel,” begitu pikirku dalam hati. Lebih mirip losmen kalau begini caranya.

Tapi kami tetap bersyukur. Kami sudah mendapatkan kamar, sehingga kami bisa segera istirahat. Minimal, kami bisa menaruh barang bawaan yang cukup banyak dan berat. Jadi kami bisa leluasa bergerak ke mana saja. Kami melobi lagi pihak hotel. Lebih tepatnya sih komplain. Kenapa kamarnya belum dibersihkan. Lebih parahnya, toiletnya mampet. Kembali tragedi “Tokai Segede Bagong” nongol dan ngambang di toilet itu. Sangat menghilangkan selera makan. Kotor sekali. Pihak hotel berjanji akan membersihkannya setelah shalat Ashar. Kami pun akhirnya bersih-bersih diri dan bersiap ke masjid untuk shalat Ashar. Alhamdulillah setelah Ashar, kamar sudah dibersihkan petugas kebersihan hotel. Sungguh sistem hotel yang sangat aneh. Aku coba berbaik sangka, mungkin memang jemaah umroh membludak di periode ini. Seharusnya periode umroh dibuka mulai Februari. Tapi tahun 2011 ini mulai dibuka bulan Maret. Jadi jemaah yang terbiasa datang Februari, menumpuk di bulan Maret. Selamat menikMATI! Tak heran juga, pihak hotel kelimpungan.

Aku juga bersyukur karena belakangan baru tahu, ada jemaah dari Indonesia yang tak dapat kamar hotel, dan tasnya ada di lobi hotel sehari semalam. Jemaahnya menyebar ke masjid Nabawi. Tas mereka sudah dipasrahkan dihamparkan di lobi hotel. Kalau mau mandi, tidur, gosok gigi, tergantung kreativitas masing-masing mau memilih di mana. Apakah di masjid atau menumpang di hotel. Nasib mereka terkatung-katung. Nasibku dan rombonganku jauh lebih beruntung dari mereka. Kasihan sekali mereka.

Shalat Jemaah Pertama @Nabawi
Aku akhirnya shalat Ashar pertama kali di Masjid Nabawi. Tak lupa ku selalu mengucapkan doa setiap masuk masjid ini. Ini penting. Di dalam masjid, aku merasa sangat kecil di hadapan Allah. Itu perasaanku setiap masuk masjid Nabawi. Ini perasaan yang selalu datang dan muncul tiba-tiba.
Selesai shalat Ashar, kami berempat (Pak Rudi, Ahmad, Edi dan aku) mengelilingi masjid. Bersama keluarga Pak Rudi yang perempuan, kami duduk-duduk menikmati suasana sore yang indah di pelataran masjid Nabawi. Kami juga menyantap kurma dan air zam zam. Kurma dibagikan gratis dari orang entah dari mana. Tiba-tiba saja seseorang muncul dengan tangan menengadahkan sebuah wadah berisi tumpukan kurma. Kami ditawarinya dengan ramah. “Silahkan dicicip,” mungkin begitu isyarat mata dan gesture yang ia berikan. Tentu peluang itu tak kami sia-siakan. Kurmanya langsung kami sikat bleh. Hehehe.
Ngaso di depan Masjid Nabawi

Pak Rudi mengambilkan kami bergelas-gelas air zam-zam. Jadilah sore itu kami punya sejenis tea time bersama. Oh indahnya. Air zam zam yang kami minum benar-benar pas dengan kurma. Produk minuman lain dijamin kalah karena tak ada faedah meminumnya. Beda dengan air zam zam. Selain bisa menghilangkan dahaga, ia juga bisa menjadi air doa karena sejarah dan jaminan dari Allah. Selalu banyak kejadian mengejutkan di tanah suci, seperti ini contohnya. Keajaiban bisa datang kapan saja, dari mana saja, dan dari berbagai cara. Banyak orang berlomba berbuat baik untuk kebahagiaan orang lain. Selain itu, tentu saja kita harus tetap waspada. Tak jarang juga ada yang jahat.

Menariknya, kami juga sempat menyaksikan katup payung di pelataran masjid Nabawi tertutup perlahan. Aku sempat memotretnya. Pemandangan yang indah. Masjidnya memang berteknologi tinggi. Atap di bagian tengah masjid pun bisa terbuka otomatis untuk memberi penerangan dan sirkulasi udara sewaktu-waktu dibutuhkan. Sungguh teknologi yang mahal dan sekaligus menghibur.
Payung Raksasa Terbuka @ Dpn Masjid Nabawi
Payung Raksasa Mulai Tertutup @Dpn Nabawi
Sepulang dari masjid, kami melihat-lihat pedagang yang ramai berjualan di sekitarnya. Mulai dari buahan, minyak wangi, peci, baju muslim, mainan anak-anak, semuanya ada. Mirip pasar kaget di Indonesia deh kalau mau dibayangkan. Tapi jumlahnya tak seramai di Indonesia karena sewaktu-waktu akan ada razia dari polisi Arab. Kadang, mereka menangkap pedagang itu. Mirip kamtib atau polisi pamong praja di Indonesia.
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Sore itu cukup unik. Kami langsung disuguhi kejadian pengejaran kamtib. Kami berempat dan keluarga pak Rudi lainnya ingin membeli peci haji seharga SR 2. Setelah tawar-menawar, kami pamit untuk menukarkan uang ke money changer. Nah, setelah menukar uang, ketika kami kembali lagi ke pedagang yang menggelar lapaknya itu ternyata sudah tidak ada. Selidik punya selidik, barang dagangannya sedang dikemasi oleh polisi Arab, dan guess what? Pedagangnya sudah berada di dalam mobil polisi. Ada juga pedagang yang kabur dan diuber-uber oleh polisi. Bagi pedagang asongan itu, mending tak tertangkap, karena bayarannya mahal jika tertangkap. Barang dagangan bisa dicari lagi, harganya murah. Kadang miris juga melihat pedagang itu lari terbirit-birit. Aku ingat pedagangan asongan yang juga teraniaya di Indonesia.
Penjual Buah Segar di dpn Masjid Nabawi

Selesai mengitari “pasar kaget” di depan masjid Nabawi, kami sempat pulang ke hotel sebentar saja. Kami mandi bergantian, berpakaian rapi, lalu siap berangkat ke masjid lagi. Memang, ketika umroh atau haji, enaknya tidak usah berlama-lama di hotel. Hotel hanya berfungsi sebagai tempat singgah menaruh barang, tempat istirahat sebentar, lalu tancap gas lagi beribadah penuh di masjid. Bahkan sekadar membaca sirah nabawiyah di masjid pun sudah dianggap ibadah di masjid.

Sungguh sangat disayangkan jika kita umroh atau haji, tapi durasi kita di hotel lebih banyak daripada di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Pulang ke hotel memang banyak menyita waktu. Jika hotelnya katro seperti hotel Ar Raudhoh, mengantri lift saja bisa 20 menit pulang-balik. Belum lagi urusan kunci kamar yang harus diminta dan diantar ke resepsionis. Memakan waktu sekali. Karena jumlah kunci hanya satu, perlu juga diperhatikan bagaimana koordinasi yang baik dengan teman-teman sekamar. Pastikan kunci ada di tangan, atau ada di resepsionis. Jangan pulang manakala tak pasti dimana letak kunci. Bisa-bisa waktu Anda habis untuk mencari kunci saja dan berakibat pada kekesalan.

Kalau bisa, pembagian durasi di hotel (tempat istirahat)-masjid adalah 65%-35%. Jika ini dilakukan, dijamin Anda merasa puas beribadah. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa kesehatan adalah hal utama. Jika memang tidak fit, Anda harus disiplin untuk mengistirahatkan diri terlebih dahulu. Lebih baik fit dalam beribadah, daripada dalam kondisi sakit-sakitan, tapi tetap memaksakan diri ke masjid. Tentu tidak akan khusu’ ibadahnya. Tidak optimal.

Shalat Magrib pertama di Masjid Nabawi berkesan sekali. Aku teringat suasananya meriah, membuat hati senang, tenang. Rasanya teringat saat kecil dulu, ketika Magrib jalan menuju masjid 1 jam sebelum azan berkumandang. Langit terlihat meredup, warna orange langit tanda matahari akan tenggelam menambah suasana syahdu. Burung-burung kecil sejenis burung layang-layang beterbangan di atas atap masjid. Suasana yang sangat merindu. Rindu kepada siapa? Entahlah. Mungkin ini rindu pada Allah dan rasul..

Hampir tiap shalat fardu, aku selalu minum air zam zam terlebih dahulu. Selesai shalat biasanya langsung beser. Memang, aku tipe orang yang tidak bisa menyimpan air dalam jumlah besar di dalam tubuh. Makanya badanku kurus. Begitu masuk, tak berapa lama pasti langsung keluar lagi. Walhasil, aku juga rajin bolak-balik toilet dan tempat wudhu. Ada untungnya, ada ruginya. Untungnya bisa jalan-jalan ke toilet melihat beragam orang, menjalin percakapan dengan mereka ketika antri. Ruginya, ya waktu ibadahku terpotong. Sedang enak-enak doa, ngaji, diskusi, eh harus pergi ke toilet. Cara mensiasatinya adalah minum air zam-zamnya dikurangi, hanya sedikit sebelum shalat, lalu selesai shalat barulah dilibas cukup banyak. Jadi pas shalat tidak tiba-tiba ada panggilan alam ke toilet.

Madinah I’m in Love
Perlahan, keadaan mulai settle di Madinah. Kamar hotel sudah nyaman karena sudah dibersihkan. Kalaupun minus, mungkin karena tak disediakan handuk dari hotel. Dalam pikiranku, “hotel macam apa ini tak ada handuk?” Tapi ya sudahlah. Kembali fokus ke ibadah saja. Komplain dikesampingkan saja biar hati tetap terjaga.

Shalat Isya pertama di Masjid Nabawi juga begitu berkesan. Badanku mulai letih. Hari pertama saja aku sudah menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kamar hotel. Terjadi penurunan kondisi badan. Memang hanya capek biasa. Setelah shalat Isya, ketika sedang dzikir, aku diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Akhirnya diniatkanlah tidur sambil duduk dan sambil dzikir. Hehehe.

Tak berapa lama ketika kantuk mulai bisa dinikmati bersama alam mimpi yang datang silih berganti, tiba-tiba aku dengar suara, “Assalamu’alaikum!”. Tiba-tiba di sampingku telah hadir sesosok manusia berperawakan seperti orang Pakistan, Afganistan, atau India, dan ia menyapaku. Aku tak terlalu pasti negeri asalnya saat itu sampai ia perkenalkan dirinya. “Kenapa orang lagi ngantuk dan setengah tidur diajak kenalan sih. Tidak pengertian banget,” begitu pikirku agak keberatan. Aku yang baru masuk bab 1 mimpi di malam hari sambil duduk, terpaksa meladeni obrolan yang dia lontarkan. Kami berkenalan. Tapi aku lupa namanya. Namanya orang setengah sadar, ya wajar tak ingat saat diajak bicara, mendadak pula. Kami berbasa-basi seputar daerah asal dan identitas. Akhirnya kata kunci dari mulutnya keluar.

“Sebenarnya saya sedang ada masalah keluarga,” begitu jelasnya padaku dalam bahasa Inggris terpatah-patah. Ia menceritakan masalah finansial adalah pangkalnya. Percakapan itu masih belum aku tangkap apa tujuan akhirnya. Namun beberapa kalimat terakhir membuatku tersentak.
Aku ingat pesan beberapa teman di Indonesia, akan ada orang yang minta-minta. Mulai dari cara halus, sampai cara kasar. Benar saja. Agaknya orang ini masuk kategori peminta-minta tapi cara halus. Ia minta dibantu SR 100. Setara dengan Rp 250 ribu. Aku berpikir sejenak. Otak masih lemot karena baru bangun tidur. Tapi harus segera sadar karena jika tidak, aku akan tergencet situasi. Aku berusaha untuk tidak berbohong atau ngeles. Ini tanah suci. Jika kita bilang tak punya uang, bisa saja ucapan kita langsung jadi kenyataan. Entah uang kita di koper atau di dompet bisa hilang semua, tercecer, atau bagaimanalah. Aku tak mau hal itu menimpaku. Mulutmu adalah harimaumu. Pepatah itu benar-benar berlaku di tanah suci.

Jadi, aku agak berbicara diplomatis padanya. Aku katakan bahwa ini adalah umroh pertamaku, dan aku belum yakin, apakah uang yang aku bawa cukup dipakai sampai akhir umroh nanti. Aku bilang, aku sendiri belum menjalani umroh ke Mekkah dan baru sampai di Madinah. Perjalananku masih panjang. Ia pun tak kehabisan akal. Ia menawar. “Kalau gitu SR 50 deh,” katanya. Hmmm minta-minta bisa ditawar begini ya? Aku membalasnya dalam bahasa Arab, “’afwan akhir, lam astathi’ al’aan (maaf saudaraku, saat ini aku belum bisa).”

Ia segera bergegas pergi dengan pamit sekadarnya. Beberapa detik kemudian, aku lihat ke belakang, orang itu lenyap secepat kilat. “Entahlah, apakah ia malaikat yang sedang mencoba hamba Allah atau bukan. Tapi aku minta maaf kepada Allah, bukannya aku pelit. Tapi aku rasional untuk tidak bisa membantunya kali ini.”

Memang, uniknya kalau di tanah suci, kita tidak tahu, apakah orang yang datang pada kita adalah malaikat yang menyamar, atau orang jahat. Tidak ada yang tahu. Semua serba dibungkus dengan dua kata: misteri ilahi. Yang terpenting adalah kita harus selalu ikhlas, jujur, dan tampil apa adanya. Tidak perlu takut untuk diberi cobaan oleh Allah, tapi juga jangan sombong atau menantang Allah. Lepaskan, lepaskan beban dan pikiran tentang dunia. Ini saatnya urusan akhirat benar-benar direnungkan, diresapi maknanya.

Setelah kejadian didatangi orang minta uang itu, aku benar-benar “bangun” dari tidur dan rasa kantuk hilang serta merta. Mungkin itu teguran dari Allah. Sudah jauh-jauh datang ke Madinah, hanya untuk tidur di masjid-Nya. Terus terang, aku sedikit takut setelah itu. Ada kecemasan aku akan jadi korban minta-minta seperti itu tadi di kesempatan berikutnya. Aku pikir-pikir lagi, apakah tampangku terlalu kekanak-kanakan alias imut-imut sehingga disamperin oleh orang tadi? Entahlah. Terus terang, ada sedikit rasa trauma. Bagaimana jika orang yang meminta menggunakan cara-cara kasar? Bagaimana jika memang benar dia butuh bantuan? Bagaimana jika orang itu adalah malaikat? Analisa-analisa tak penting, mulai merasuk dalam hatiku. Aku gundah malam itu. Tapi paling tidak aku sudah melakukan hal benar. Tidak berbohong, dan menolak secara halus terhadap sesuatu yang belum bisa kita lakukan untuk orang lain.

Selesai shalat Isya, aku kembali ke hotel untuk makan malam. Makan malam di hotel disediakan setelah shalat Isya sekitar pukul 8 malam. Kali ini aku bersyukur sekali bisa memakan makanan khas Indonesia, meski banyak sekali kekurangannya. Ar Raudhah, hotel di tempat kami menginap, menyediakan satu ruang makan yang terdiri dari 3 travel khusus jemaah Indonesia. Kalau dihitung-hitung, sebenarnya kapasitasnya tak cukup menampung jemaah 3 travel itu. Bayangkan saja, makan harus antri betul untuk bisa dapat tempat duduk. Walhasil, banyak juga jemaah yang membawa makanannya ke luar ruangan. Kadang ada yang ngemper di sela-sela lorong hotel. Kadang miris juga melihatnya. Hal seperti itu justru merendahkan diri sendiri di hadapan orang Arab selaku pemilik hotel. Kita dianggap kurang tertib.

Lauk yang disediakan katering hasil kerjasama dengan pihak travel tergolong sangat sederhana. Yang penting ada nuansa Indonesianya. Entah itu kerupuk, nasi goreng, atau apapun yang masakan Indonesia yang murah meriah. Tak jarang, karena kualitasnya kurang bagus, nasi goreng masakan katering itu tak ubahnya nasi putih biasa yang diberi kecap. Lalu tidak digoreng sampai matang layaknya nasi goreng. Rasanya hambar. Tapi mau protes bagaimana, ke siapa? Di sana hanya petugas jaga saja. Terpaksa terima saja apa adanya agar tak buang tenaga. Yang penting masih bisa makan, meski berbekal nasi plus sambel encer yang tidak pedas.

Terlepas dari kekurangannya, sebenarnya aku cukup bersyukur. Kalau harus makan makanan khas Arab, aku mungkin tak sanggup. Makanan Arab umumnya berminyak. Minyaknya seperti “banjir” di tiap makanan. Entah itu ayam, kambing, atau bebek. Semua berminyak-nyak-nyak. Untunglah di hotel tempatku menginap, tempat makan orang Arab dan Indonesia dipisah.

Menurut pengamatanku, berbisnis katering di Arab Saudi bisa jadi menguntungkan. Dalam hal ini, umumnya pelayanan adalah nomor kesekian. Yang penting lidah jemaah Indonesia dicolek dengan sentuhan makanan Indonesia, entah itu kualitasnya bagus atau tidak, bukan jadi soal. Mungkin tak semua katering seperti itu. Ada juga yang bagus. Tapi syaangnya, tak berjodoh denganku katering yang enak saat aku di Madinah. Dan biasanya, jemaah Indonesia nrimo-nrimo saja, dan sedikit sekali komplain.

Kondisi di ruang makan khusus jemaah Indonesia itu chaos sekali. Padat. Tidak layak. Apalagi ditambah budaya jemaah Indonesia yang terkenal grasa-grusu rebutan makan. Padahal makanan masih ada dan masih banyak. Entah apa yang dirisaukan hingga desak-desakan dan dorong-dorongan. Heran.

Aku perbanyak minum air saat di ruang makan hotel. Namun, ada kesalahan yang belakangan aku sesali. Aku terlalu banyak minum es sirup warna orange. Hal ini membuat badanku terasa tak enak. Sudahlah makanannya kering, minum pakai air sirup. Sesuatu yang tak sehat. Harusnya aku perbanyak minum air putih saja. Air putih hangat kalau bisa. Lebih baik lagi, jika Anda membawa botol minuman kemasan, bisa isi air zam zam. Makan dan minum hendaknya full disosor dengan air zam zam. Kapan lagi kan punya kesempatan langka minum air zam zam yang menyehatkan sepuasnya, termasuk saat makan nasi? Memang sih rasanya jadi agak aneh. Hehehe.

Malam itu, aku tutup kegiatan dengan tidur di kamar hotel setelah selesai makan malam. Meski dengan tempe goreng dan sambal. Rasa makanan itu tetap nikmat kalau dinikmati dari hati. Bagi Anda yang punya masalah dengan makanan yang berbeda negara, atau masakan non-rumahan, jangan sampai menghujat makanan. Apalagi di tanah suci. Jika sempat saja menghina makanan, “tidak enak”, “bosan”, atau kalimat meremehkan lainnya, Anda siap-siap saja menerima konsekuensi atas sikap tidak bersyukur tersebut.

Aku menemukan seorang perempuan di rombonganku yang selalu mengeluh tentang makanan yang ia tak suka yang selalu tak dimakannya. Katanya “tak berselera”. Akhirnya, tiap makanan yang ada di hadapannya selalu ia komentari, “tak berselera”. Entahlah ini seperti hukuman dari Allah atau tidak. Selera makannya di tanah suci dipersulit. Semua serba tak enak. Walhasil, ia keluar ongkos untuk beli makanan alternatif kesukaannya. Jangan sampai kejadian ini menimpa Anda. Tujuan utama kita ke Mekkah-Madinah adalah ibadah. Untuk ibadah, kita butuh energi. Energi datang dari makanan. Jangan terlalu picky-picky. Jangan pula sampai telat makan. Makan harus teratur. Jika bisa, perbanyak minum air putih atau zam zam. Perbanyak konsumsi buahan yang dijual murah di sekitar kompleks masjid Nabawi.

Raudhoh, Tempat Mustajab Berdoa
Aku dan teman sekamar berempat tidur jam 10 malam. Nyenyak sekali tidur kami malam itu. Namun, kami sudah bangun pukul 02.30 pagi menggunakan alarm hp. Kami lalu berwudhu dan berangkat ke Masjid Nabawi. Kami ingin shalat di Raudhoh (merupakan tempat yang berada di antara rumah Rasulullah dan Mimbar Rasulullah) dan juga ingin shalat tahajud di masjid yang menyediakan pahala berlipat bagi jemaahnya. Menurut salah satu hadist Rasulullah, “Diantara rumah dan mimbarku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku” (HR.Abu Hurairoh. RA).

Dini hari terasa dingin. Kami menembus dinginnya tengah malam dengan melapisi badan menggunakan jaket. Jaket adalah benda penting untuk dibawa ketika ke Arab Saudi. Udara malam hari bisa menjadi sangat dingin, meski di siang hari terhitung panas terik.
Pak Rudi berperan sebagai komandan kami saat itu. Tiga orang lainnya, termasuk aku, baru pertama kali umroh. Jadi belum tahu tempat dan letak dimana Raudhoh. Pak Rudi menuntun kami dan memberitahu kami mana batasan Raudhoh dan non-Raudhoh. Karpet area Raudhoh adalah berwarna hijau tua. Jika bukan warna hijau tua, berarti Anda belum masuk area Raudhoh. Raudhoh bagi perempuan dibedakan dengan laki-laki. Tempatnya ada di bagian agak belakang Raudhoh laki-laki. Bagi perempuan, Raudhoh mereka ada pagarnya. Di Raudhoh setiap doa diijabah Allah dengan kepastian tingkat tinggi. Ini sesuatu yang mahal, menarik, dan luar biasa. Tak heran, banyak orang yang berebut ke sana.

Teknik yang diajarkan oleh Pak Rudi adalah berani mengambil kesempatan dan jalan menuju shaf depan, tepat di depan simbol Raudhoh. Di sanalah disunnahkan shalat 2 rakaat dan berdoa setelahnya.
Aku mengucap bismillahirrahmanirrahim dalam hati, agar dimudahkan segala urusan. Kami bergerak satu persatu dalam jarak dekat, menuju shaf depan. Kami terpaksa harus melangkahi jemaah yang sedang duduk. Mata kami harus liar, mencari celah, mana shaf kosong, mana jemaah yang sudah selesai shalat sunnah 2 rakaat untuk kami take-over tempatnya.
Suasana di Raudhoh Masjid Nabawi (taken from http://www.google.co.id)

Alhamdulillah, kebulatan niat dan kekuatan tekad, mengantarkan kami sampai di depan simbol Raudhoh. Aku berada 2 shaf di belakang jemaah yang siap untuk shalat 2 rakaat. Tak berapa lama, tibalah giliranku. Aku juga ingat pesan temanku, Irvan Hermala. “Maksimalkan doa saat shalat,” ungkap Irvan memberi tips padaku sebelum berangkat umroh. Aku benar-benar memegang kata-kata itu. Aku praktekkan. Ketika shalat, di sujud terakhir aku perbanyak doa di dalam hati seputar keinginanku. Aku yakin, hal itu lebih efektif, daripada berdoa setelah shalat.

Mengapa? Karena jika sesudah shalat, kita akan “diusir-usir” oleh jemaah lain yang sudah tak sabar mengantri. Kadang askarnya juga membatasi lama waktu orang shalat sunnah. Jika ada yang sudah terlalu lama dan ditambah berdoa dengan durasi lama setelah shalat sunnah, ia akan bertindak, mengusir Anda. Tak boleh berdoa terlalu lama karena antrian membludak. Dari kesimpulanku shalat di sana, ada beberapa pelajaran yang didapat. Shalat sunnah di Raudhoh adalah sarana melatih kita untuk bisa baca peluang, berani ambil tindakan, yakin, dan ikhlas. Mata harus jeli melihat tempat kosong, gerak pun harus gesit. Itu pelajaran hidupnya.

Dini hari itu jadi saksi bagiku betapa aku takjub melihat antusiasme orang muslim untuk shalat di Raudhoh. Begitu kuat keinginan mereka sampai berebutan. Aku membayangkan, kenapa orang di Indonesia tak pernah punya perasaan ingin rebutan shalat di masjid seperti rebutan shalat di Raudhoh? Jika perasaan itu ada, tentu masjid-masjid di Indonesia sudah penuh ketika shalat 5 waktu. Terlebih saat subuh. Alangkah indahnya jika spirit shalat di Raudhoh bisa itu ditransfer ke Indonesia. Aku jadi berpikir, menarik juga membuat gerakan sosial untuk shalat jemaah di masjid. Aku jadi ingat gerakan Jemaah Tabligh di Indonesia. Pernah sekali waktu aku melihat mereka datang dari rumah ke rumah untuk mengajak orang shalat di masjid. Sungguh, sekarang aku baru tahu, bagaimana pentingnya shalat jemaah di masjid itu. Aku baru tahu, mengapa orang Islam Jemaah itu begitu menggebu-gebu mengajak orang lain untuk shalat jemaah di masjid. Ia tahu ilmunya, ia juga pernah merasakan sensasi shalat sunnah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

Usai shalat dua rakaat di depan Raudhoh, aku beranjak pergi. Kali ini aku mengisi dinginnya malam dengan shalat tahajjud dan shalat witir. Aku memilih shalat di shaf terdepan, dekat dengan imam. Aku penasaran, bagaimana sih bentuk fisik para imam di masjid besar seperti Nabawi itu. Meski harus rebutan, alhamdulillah aku selalu mendapatkan tempat di shaf 3 di belakang imam. Lokasi tepat di belakang imam adalah khusus diperuntukkan bagi imam masjid Nabawi lainnya alias ulama-ulama besar di sana. Tempat ini dijaga betul oleh Askar. Jika ada jemaah yang duduk di sana, ia akan menegur. Jika tak mempan, ia akan mengusir orang yang berani menempati shaf yang telah dibooking itu.

Setelah shalat tahajjud dan witir, aku mengaji. Membaca Al-quran yang aku bawa dari Indonesia. Jika Anda berkeinginan membawa Al-quran dari Indonesia, cukup bawa yang kecil dan yang ada terjemahannya. Terjemahan menjadi penting agar Anda tak hanya sekadar membaca Al-quran, tapi juga paham makna dari apa yang dibaca. Di masjid-masjid seperti Masjid Nabawi sebenarnya juga tersedia Al-quran dengan tafsir Indonesia. Namun butuh kesabaran juga mencarinya di berbagai rak Al-quran, karena hampir semua translasi bahasa dari Al-quran tersedia di sana. Jadi, muslim dari berbagai negeri tak perlu khawatir.

Wah, tak terasa, aku sudah panjang lebar bercerita. Saatnya break ya. Kapan-kapan aku lanjutkan lagi. Kalau kepanjangan, nanti pembaca blogku bisa bosan. Ini baru hari kedua di Madinah. Dan aku sudah jatuh cinta dengan atmosfer kotanya yang tenang dan nyaman. Tak ada yang lebih indah selain melupakan kehidupan dunia sejenak, lalu mengerahkan diri berpikir tentang akhirat. Ada titik kepuasan yang aku rasakan.

What next? Masih banyak dan panjang ceritanya. Bagaimana sandalku hilang di masjid Nabawi? Bagaimana cerita lengkapnya aku nyeker dari masjid ke hotel lalu dipelototi oleh orang banyak? Lalu bagaimana kisah pertemuanku dengan mahasiswa asal Niger yang kelak mengajakku berpetualang kesana-kemari di Madinah? Nantikan cerita lengkapnya di episode “Umroh Dari Warung Padang Part 6”. Don’t miss it.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar