Senin, 27 Mei 2013

"Ketika Hati-hati ini Sudah Bersatu diatas Cinta" | by @ridlwanjogja

Rabu, 22 Mei 2013





@ridlwanjogja
jurnalis




Apa sih yang menyebabkan seorang mau bekerja dengan tulus dan ikhlas? Salah satunya: ketenangan hati.

Di dunia kerja, kalau hati karyawan udah dipegang bos, tanpa harus diperintah pun akan kerja dengan happy dan riang.

Di dunia bisnis, kalau hati konsumen udah kepegang, nggak perlu iklan juga akan mborong produk kita.

Di sekolah, kalau hati murid udah mencintai guru betapa senang dan semangatnya mereka mengerjakan PR.

Kalau guru idaman hati belum datang, murid malah gelisah. Ada rasa kangen.

Di masyarakat, aktivis dakwah pun dinilai dari ketulusan hatinya. Ketulusan hati bisa mengalahkan Fulus.

Begitulah. Komando tubuh datang dari hati. Kita setiap hari berhubungan dengan hati-hati manusia yang bermacam2 karakternya.

Dalam mengajak kebaikan, Syekh Abbas As Sisi mengingatkan kita dalam bukunya At-Tariq Ilal Qulub, jalan menuju hati.

Ada tiga objek dakwah yang kita ajak dalam kebaikan. Ibarat memilih buah apel. Ada yg mentah, matang siap panen , dan apel busuk.

Hati yang hidup adalah hati yang sehat dan bersih, selamat dari berbagai syahwat yang menyalahi perintah dan larangan Allah.

Hati ini selamat dari penghambaan kepada selain Allah, selamat dari berhukum kepada selain hukum Allah.

Bersih dalam mencintai Allah dan mengikuti Rasulullah.

Wah ini prioritas dakwah. Ibarat buah apel siap panen, mereka siap diajak bergabung dalam kebaikan.

Yang kedua, hati yang sakit . Di antara tanda sakitnya adalah pemiliknya tidak merasa risih dg kebodohannya terhadap kebenaran.

Tanda yang lain, pemiliknya lalai dari nutrisi hati yang bermanfaat, misal : membaca Al Quran.

Hati yang seperti ini membutuhkan mau’izhah (pengarahan) hasanah (yang baik). Ibarat apel, mentah. Prioritas kedua.

Yang ketiga , hati yang mati. Hati yang tidak mengenal Tuhannya, tidak menyembah-Nya sesuai dg yg diridhai-Nya. Naudzubillahimindzalik.

Hati mati ini juga selalu menuruti keinginan nafsu dan kelezatan dunia. Hati mati ini menghamba kepada selain Allah.

Celakalah bagi mereka yang tidak memiliki hati, yaitu hati yang tidak bisa mengenal manakah kebaikan dan manakah keburukan.”

Yang lebih parah, orang yang hatinya mati tetapi ia tidak merasakan kematian hatinya. Ibarat, apel, ini sudah busuk dg ulat2.

Waktu kita terbatas. Ada begitu banyak hati yang hidup yang siap diajak berbuat kebaikan. Itulah pentingnya fiqh prioritas.

Melayani haters, pemfitnah dan para pembenci bukan tidak perlu namun khawatirnya apel-apel yang sudah siap panen justru kita lalaikan.

Saya ajak hati saya, mari fokus pada amal-amal kebaikan. Dalam hal-hal sederhana sehari-hari. #NTMS (Note to My Self).

Berjabat tangan, menebarkan salam, menghafal nama, memberi tempat duduk, senyum. Semuanya melembutkan hati.

Ketika hati-hati sudah bersatu, takliful qulub, maka jangan tanyakan lagi kekokohan bangunan ukhuwahnya. Jangankan cuma berita.

Dibunuhi satu-satu pun, tetap kokoh. Ini bukan gendam dan pelet bung. Ini kesatuan hati.

Dakwah diikat dengan kesatuan hati. Setiap langkahnya berdasarkan dengan landasan cinta.

Bertemu dengan landasan cinta (2:165); berjumpa dalam rangka taat (3:32); saling bersatu untuk dakwah (41:33).

Hasilnya, selalu diberikan cinta (5:54); diberikan bimbingan jalan-jalan keselamatan (5:16; 29:69); dipenuhi cahaya (2:257; 24:35-37).

Dilapangkan dadanya (6:125); dibangkitkan dengan makrifatullah (6:122; 42:52-53); dan diwafatkan dalam keadaan syahid (3:154).

Kukuhkanlah, ya Allah, ikatannya. Kekalkanlah cintanya. Tunjukilah jalan-jalannya.

Penuhilah hati-hati ini dengan nur cahayaMu yang tiada pernah pudar.

Lapangkanlah dada-dada kami dengan limpahan keimanan kepadaMu dan keindahan bertawakkal kepadaMu.

Nyalakanlah hati kami dengan berma’rifat padaMu. Matikanlah kami dalam syahid di jalanMu. 

Matikanlah kami dalam syahid di jalanMu.

Amiin. Selamat berkarya dan menyentuh hati, dengan cinta!
sumber: http://www.pkspiyungan.org/2013/05/ketika-hati-hati-ini-sudah-bersatu.html

Kisah Umroh - Umarat's Part 5

Umroh Dari Warung Padang Part 5 (Madinah I’m in Love)

Rombongan Umroh Cahaya Gelap Tour & Travel sampai di Madinah pukul setengah 12 siang. Saat itu, bus kami kesulitan mencari tempat parkir untuk ke hotel karena banyak jalan diblokir. Di kiri-kanan jalan juga terlihat sedang banyak pembangunan gedung-gedung tinggi di kota itu. Kabarnya sih itu semua pembangunan hotel baru. Hampir 30 menit bus kami berputar sebelum akhirnya menemukan tempat parkir yang pas. Aku gemas dibuatnya.

Ternyata saat kami datang, waktu sudah menunjukkan jam shalat Zuhur. Tak ada aktivitas selain lautan manusia berbondong jalan menuju masjid Nabawi. Termasuk dari pihak hotel kami, Ar-Raudhah. Dan saat bus selesai berputar-putar cari parkir, ramai pula orang berbondong-bondong keluar dari masjid Nabawi. Saat itu, aku belum kepikiran, akan seperti apa penampakan masjid Nabawi. Rasa penasaranku begitu menggelora dan tersimpan rapi dalam hati.
Di Depan Hotel bin Losmen Ar-Raudhoh

Alhamdulillah hotel kami Ar Raudhah, terletak tak jauh dari Masjid Nabawi. Hanya sekitar 200-an meter. Namun, begitu turun dari bus, dan sudah masuk ke lobi hotel, ternyata ada masalah yang sangat tidak disangka-sangka.

Ternyata kami belum mendapatkan kamar yang diakui pihak travel sudah dibooking sebelumnya. Hotel Ar Raudhah saat itu sedang penuh. Jemaah dan travel lain juga banyak yang mengantri untuk mendapatkan kamar hotel. Lengah sedikit, meski sudah status booking, bisa lenyap jatah kamar hotel kita. Pihak travel yang diwakili muthawwif (pembimbing), melobi pihak hotel dalam bahasa Arab super cepat. Berkali-kali ia lancarkan negosiasi, dan hasilnya tetap nihil. Kamar Penuh!

Beberapa jemaah mulai terlihat letih. Ada juga yang mulai dihinggapi kecewa. Aku rasanya ingin berbaring saja. Capek. Koper-koper kami sudah masuk ke lobi hotel. Kami menenteng tas masing-masing. Sungguh negosiasi yang cukup alot. Pak Rudi, jemaah senior di rombongan kami, mengajak kami sholat Zuhur dulu di Masjid Nabawi agar lebih tenang. Aku menyambut baik ajakannya itu. Ini kesempatan yang aku tanti jauh hari. Ini perkenalan awalku dengan masjid Nabawi. Aku bawa tas sandangku. Koper tetap kutinggal di lobi hotel. Insya Allah aman. Ada jemaah lain yang menjaga. Aku pergi berempat. Pak Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi dan aku. Kami jalan mendekati Masjid Nabawi.
Subhanallah! Masjid ini megah, indah, dan modern. Itu kesan pertama yang aku tangkap dari fisik Masjid Nabawi. Aku terkagum-kagum. Kami pun bersiap masuk. Aku mencopot sepatu, segera mengikuti langkah pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk terlebih dahulu. Aku dan Mas Edi masuk belakangan. Kami membawa tas sandang agak besar dan berat.

Nah, kejadian tak mengenakkan menimpa kami. Ketika sudah masuk beberapa langkah di pintu masjid dan saat membaca doa masuk masjid dengan penuh khusu’, tiba-tiba tas kami ditarik dari belakang oleh seseorang berperawakan besar, tinggi, berjenggot, berjambang. “Hajji Hajji, la la la,” sambil geleng-geleng kepala tanda melarang sesuatu. Aku kaget. Ia melarang kami masuk masjid membawa tas.

“Limaza? (Kenapa?)” Tanyaku heran. Untung masih bisa bahasa Arab dikit-dikit. Hehehe. Ia menunjuk tas yang kami sandang, yang volumenya cukup besar. Akhirnya kami terpaksa menunggu pak Rudi di pelataran depan masjid. Ternyata mereka itu adalah askar yang mengawasi jemaah. Peraturannya menurut cerita orang-orang di sana sudah sangat jelas. Tidak boleh membawa tas besar ke dalam masjid.

Aku tak tahu, mungkin mereka takut tas itu bisa dimasuki barang-barang dari masjid, atau takut ancaman bom, entahlah. Bahkan, orang yang akan mengambil air zam zam dalam ukuran besar seperti galon juga dilarang. Jemaah hanya boleh mengambil air zam zam dengan menggunakan botol minuman kemasan ukuran kecil sampai sedang. Maksimal botol 1 liter. Aku hanya bisa pasrah.
Pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk duluan, heran, dan ia baru ingat, tak boleh membawa tas ke dalam masjid. Ia dan pak Ahmad sholat Zuhur duluan. Kami bergantian. Saat itu, aku pertama kali minum air zam-zam yang tersedia di masjid Nabawi dalam galon-galon yang disediakan, baik yang dingin maupun yang biasa. Rasa airnya tawar, hambar, tidak berasa. Ini ciri khas air zam zam. Namun, khasiat yang terkandung di dalamnya, luar biasa. Bisa untuk menyehatkan, membuat jadi pintar, membukakan pintu rezeki, dan lain-lain. Akhirnya giliranku tiba untuk sholat jemaah bersama mas Edi. Alhamdulillah.

Setelah selesai shalat Zuhur, kami kembali ke hotel Ar Raudhah. Saat itu, rombongan kami belum juga mendapatkan kamar. Aku heran. Entah ini pihak travel dari Indonesia yang tak kuat lobinya, hingga belum dapat hotel di sini, atau karena memang jemaah umroh sangat penuh dalam periode ini. Entahlah, aku hanya bisa menduga-duga. Booking hotel seperti ngantri beras. Rapat sekali. Koper-koper jemaah lain berseliweran saling keluar-masuk hotel. Ada jemaah yang baru datang, ada yang baru akan keluar. Kami mengincar jemaah yang baru akan keluar, agar kamarnya bisa diperuntukkan bagi kami yang sudah menunggu hampir 2 jam di lobi hotel. Perjuangan yang tak mudah. Badan rasanya letih sekali. Ingin rasanya berbaring. Muthawwif dan jemaah kami, Bayumi—mantan mahasiswa Cairo-Mesir–mencoba terus melobi pihak hotel. Sampai-sampai pihak hotel yang merasa terintimidasi, mengusir mereka dari meja resepsionis. Sama sekali tak ada pelayanan di sana. Mentang-mentang kita yang butuh, songong tuh pihak hotel.

Akhirnya, jam 3 sore kami dapatkan kamar hotel. Aku sempat bingung. Akan sekamar dengan siapa? Aku hanya sendiri. Tidak berkeluarga. Orang lain pergi bareng keluarganya. Alhamdulillah, setelah bercerita dengan Pak Rudi di bandara Brunei kemaren, ia mafhum keadaanku. Ia berinisiatif menempatkanku sekamar dengannya. Kami berempat, terdiri dari Pak Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi, dan aku.

Sungguh senang ada teman sekamar. Ada tempat untuk berbagi cerita. Ketika masuk kamar hotel pertama kali, kami kaget bukan main. Ternyata kamarnya baru saja ditinggal penghuni sebelumnya. Belum dibersihkan, belum diganti selimut, cover bed bau, dan parahnya tak ada handuk. Toilet pun terbatas. Untuk tiga kamar, disediakan 2 toilet yang terletak di luar kamar pula. “Hotel yang bukan hotel,” begitu pikirku dalam hati. Lebih mirip losmen kalau begini caranya.

Tapi kami tetap bersyukur. Kami sudah mendapatkan kamar, sehingga kami bisa segera istirahat. Minimal, kami bisa menaruh barang bawaan yang cukup banyak dan berat. Jadi kami bisa leluasa bergerak ke mana saja. Kami melobi lagi pihak hotel. Lebih tepatnya sih komplain. Kenapa kamarnya belum dibersihkan. Lebih parahnya, toiletnya mampet. Kembali tragedi “Tokai Segede Bagong” nongol dan ngambang di toilet itu. Sangat menghilangkan selera makan. Kotor sekali. Pihak hotel berjanji akan membersihkannya setelah shalat Ashar. Kami pun akhirnya bersih-bersih diri dan bersiap ke masjid untuk shalat Ashar. Alhamdulillah setelah Ashar, kamar sudah dibersihkan petugas kebersihan hotel. Sungguh sistem hotel yang sangat aneh. Aku coba berbaik sangka, mungkin memang jemaah umroh membludak di periode ini. Seharusnya periode umroh dibuka mulai Februari. Tapi tahun 2011 ini mulai dibuka bulan Maret. Jadi jemaah yang terbiasa datang Februari, menumpuk di bulan Maret. Selamat menikMATI! Tak heran juga, pihak hotel kelimpungan.

Aku juga bersyukur karena belakangan baru tahu, ada jemaah dari Indonesia yang tak dapat kamar hotel, dan tasnya ada di lobi hotel sehari semalam. Jemaahnya menyebar ke masjid Nabawi. Tas mereka sudah dipasrahkan dihamparkan di lobi hotel. Kalau mau mandi, tidur, gosok gigi, tergantung kreativitas masing-masing mau memilih di mana. Apakah di masjid atau menumpang di hotel. Nasib mereka terkatung-katung. Nasibku dan rombonganku jauh lebih beruntung dari mereka. Kasihan sekali mereka.

Shalat Jemaah Pertama @Nabawi
Aku akhirnya shalat Ashar pertama kali di Masjid Nabawi. Tak lupa ku selalu mengucapkan doa setiap masuk masjid ini. Ini penting. Di dalam masjid, aku merasa sangat kecil di hadapan Allah. Itu perasaanku setiap masuk masjid Nabawi. Ini perasaan yang selalu datang dan muncul tiba-tiba.
Selesai shalat Ashar, kami berempat (Pak Rudi, Ahmad, Edi dan aku) mengelilingi masjid. Bersama keluarga Pak Rudi yang perempuan, kami duduk-duduk menikmati suasana sore yang indah di pelataran masjid Nabawi. Kami juga menyantap kurma dan air zam zam. Kurma dibagikan gratis dari orang entah dari mana. Tiba-tiba saja seseorang muncul dengan tangan menengadahkan sebuah wadah berisi tumpukan kurma. Kami ditawarinya dengan ramah. “Silahkan dicicip,” mungkin begitu isyarat mata dan gesture yang ia berikan. Tentu peluang itu tak kami sia-siakan. Kurmanya langsung kami sikat bleh. Hehehe.
Ngaso di depan Masjid Nabawi

Pak Rudi mengambilkan kami bergelas-gelas air zam-zam. Jadilah sore itu kami punya sejenis tea time bersama. Oh indahnya. Air zam zam yang kami minum benar-benar pas dengan kurma. Produk minuman lain dijamin kalah karena tak ada faedah meminumnya. Beda dengan air zam zam. Selain bisa menghilangkan dahaga, ia juga bisa menjadi air doa karena sejarah dan jaminan dari Allah. Selalu banyak kejadian mengejutkan di tanah suci, seperti ini contohnya. Keajaiban bisa datang kapan saja, dari mana saja, dan dari berbagai cara. Banyak orang berlomba berbuat baik untuk kebahagiaan orang lain. Selain itu, tentu saja kita harus tetap waspada. Tak jarang juga ada yang jahat.

Menariknya, kami juga sempat menyaksikan katup payung di pelataran masjid Nabawi tertutup perlahan. Aku sempat memotretnya. Pemandangan yang indah. Masjidnya memang berteknologi tinggi. Atap di bagian tengah masjid pun bisa terbuka otomatis untuk memberi penerangan dan sirkulasi udara sewaktu-waktu dibutuhkan. Sungguh teknologi yang mahal dan sekaligus menghibur.
Payung Raksasa Terbuka @ Dpn Masjid Nabawi
Payung Raksasa Mulai Tertutup @Dpn Nabawi
Sepulang dari masjid, kami melihat-lihat pedagang yang ramai berjualan di sekitarnya. Mulai dari buahan, minyak wangi, peci, baju muslim, mainan anak-anak, semuanya ada. Mirip pasar kaget di Indonesia deh kalau mau dibayangkan. Tapi jumlahnya tak seramai di Indonesia karena sewaktu-waktu akan ada razia dari polisi Arab. Kadang, mereka menangkap pedagang itu. Mirip kamtib atau polisi pamong praja di Indonesia.
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Sore itu cukup unik. Kami langsung disuguhi kejadian pengejaran kamtib. Kami berempat dan keluarga pak Rudi lainnya ingin membeli peci haji seharga SR 2. Setelah tawar-menawar, kami pamit untuk menukarkan uang ke money changer. Nah, setelah menukar uang, ketika kami kembali lagi ke pedagang yang menggelar lapaknya itu ternyata sudah tidak ada. Selidik punya selidik, barang dagangannya sedang dikemasi oleh polisi Arab, dan guess what? Pedagangnya sudah berada di dalam mobil polisi. Ada juga pedagang yang kabur dan diuber-uber oleh polisi. Bagi pedagang asongan itu, mending tak tertangkap, karena bayarannya mahal jika tertangkap. Barang dagangan bisa dicari lagi, harganya murah. Kadang miris juga melihat pedagang itu lari terbirit-birit. Aku ingat pedagangan asongan yang juga teraniaya di Indonesia.
Penjual Buah Segar di dpn Masjid Nabawi

Selesai mengitari “pasar kaget” di depan masjid Nabawi, kami sempat pulang ke hotel sebentar saja. Kami mandi bergantian, berpakaian rapi, lalu siap berangkat ke masjid lagi. Memang, ketika umroh atau haji, enaknya tidak usah berlama-lama di hotel. Hotel hanya berfungsi sebagai tempat singgah menaruh barang, tempat istirahat sebentar, lalu tancap gas lagi beribadah penuh di masjid. Bahkan sekadar membaca sirah nabawiyah di masjid pun sudah dianggap ibadah di masjid.

Sungguh sangat disayangkan jika kita umroh atau haji, tapi durasi kita di hotel lebih banyak daripada di Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Pulang ke hotel memang banyak menyita waktu. Jika hotelnya katro seperti hotel Ar Raudhoh, mengantri lift saja bisa 20 menit pulang-balik. Belum lagi urusan kunci kamar yang harus diminta dan diantar ke resepsionis. Memakan waktu sekali. Karena jumlah kunci hanya satu, perlu juga diperhatikan bagaimana koordinasi yang baik dengan teman-teman sekamar. Pastikan kunci ada di tangan, atau ada di resepsionis. Jangan pulang manakala tak pasti dimana letak kunci. Bisa-bisa waktu Anda habis untuk mencari kunci saja dan berakibat pada kekesalan.

Kalau bisa, pembagian durasi di hotel (tempat istirahat)-masjid adalah 65%-35%. Jika ini dilakukan, dijamin Anda merasa puas beribadah. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa kesehatan adalah hal utama. Jika memang tidak fit, Anda harus disiplin untuk mengistirahatkan diri terlebih dahulu. Lebih baik fit dalam beribadah, daripada dalam kondisi sakit-sakitan, tapi tetap memaksakan diri ke masjid. Tentu tidak akan khusu’ ibadahnya. Tidak optimal.

Shalat Magrib pertama di Masjid Nabawi berkesan sekali. Aku teringat suasananya meriah, membuat hati senang, tenang. Rasanya teringat saat kecil dulu, ketika Magrib jalan menuju masjid 1 jam sebelum azan berkumandang. Langit terlihat meredup, warna orange langit tanda matahari akan tenggelam menambah suasana syahdu. Burung-burung kecil sejenis burung layang-layang beterbangan di atas atap masjid. Suasana yang sangat merindu. Rindu kepada siapa? Entahlah. Mungkin ini rindu pada Allah dan rasul..

Hampir tiap shalat fardu, aku selalu minum air zam zam terlebih dahulu. Selesai shalat biasanya langsung beser. Memang, aku tipe orang yang tidak bisa menyimpan air dalam jumlah besar di dalam tubuh. Makanya badanku kurus. Begitu masuk, tak berapa lama pasti langsung keluar lagi. Walhasil, aku juga rajin bolak-balik toilet dan tempat wudhu. Ada untungnya, ada ruginya. Untungnya bisa jalan-jalan ke toilet melihat beragam orang, menjalin percakapan dengan mereka ketika antri. Ruginya, ya waktu ibadahku terpotong. Sedang enak-enak doa, ngaji, diskusi, eh harus pergi ke toilet. Cara mensiasatinya adalah minum air zam-zamnya dikurangi, hanya sedikit sebelum shalat, lalu selesai shalat barulah dilibas cukup banyak. Jadi pas shalat tidak tiba-tiba ada panggilan alam ke toilet.

Madinah I’m in Love
Perlahan, keadaan mulai settle di Madinah. Kamar hotel sudah nyaman karena sudah dibersihkan. Kalaupun minus, mungkin karena tak disediakan handuk dari hotel. Dalam pikiranku, “hotel macam apa ini tak ada handuk?” Tapi ya sudahlah. Kembali fokus ke ibadah saja. Komplain dikesampingkan saja biar hati tetap terjaga.

Shalat Isya pertama di Masjid Nabawi juga begitu berkesan. Badanku mulai letih. Hari pertama saja aku sudah menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kamar hotel. Terjadi penurunan kondisi badan. Memang hanya capek biasa. Setelah shalat Isya, ketika sedang dzikir, aku diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Akhirnya diniatkanlah tidur sambil duduk dan sambil dzikir. Hehehe.

Tak berapa lama ketika kantuk mulai bisa dinikmati bersama alam mimpi yang datang silih berganti, tiba-tiba aku dengar suara, “Assalamu’alaikum!”. Tiba-tiba di sampingku telah hadir sesosok manusia berperawakan seperti orang Pakistan, Afganistan, atau India, dan ia menyapaku. Aku tak terlalu pasti negeri asalnya saat itu sampai ia perkenalkan dirinya. “Kenapa orang lagi ngantuk dan setengah tidur diajak kenalan sih. Tidak pengertian banget,” begitu pikirku agak keberatan. Aku yang baru masuk bab 1 mimpi di malam hari sambil duduk, terpaksa meladeni obrolan yang dia lontarkan. Kami berkenalan. Tapi aku lupa namanya. Namanya orang setengah sadar, ya wajar tak ingat saat diajak bicara, mendadak pula. Kami berbasa-basi seputar daerah asal dan identitas. Akhirnya kata kunci dari mulutnya keluar.

“Sebenarnya saya sedang ada masalah keluarga,” begitu jelasnya padaku dalam bahasa Inggris terpatah-patah. Ia menceritakan masalah finansial adalah pangkalnya. Percakapan itu masih belum aku tangkap apa tujuan akhirnya. Namun beberapa kalimat terakhir membuatku tersentak.
Aku ingat pesan beberapa teman di Indonesia, akan ada orang yang minta-minta. Mulai dari cara halus, sampai cara kasar. Benar saja. Agaknya orang ini masuk kategori peminta-minta tapi cara halus. Ia minta dibantu SR 100. Setara dengan Rp 250 ribu. Aku berpikir sejenak. Otak masih lemot karena baru bangun tidur. Tapi harus segera sadar karena jika tidak, aku akan tergencet situasi. Aku berusaha untuk tidak berbohong atau ngeles. Ini tanah suci. Jika kita bilang tak punya uang, bisa saja ucapan kita langsung jadi kenyataan. Entah uang kita di koper atau di dompet bisa hilang semua, tercecer, atau bagaimanalah. Aku tak mau hal itu menimpaku. Mulutmu adalah harimaumu. Pepatah itu benar-benar berlaku di tanah suci.

Jadi, aku agak berbicara diplomatis padanya. Aku katakan bahwa ini adalah umroh pertamaku, dan aku belum yakin, apakah uang yang aku bawa cukup dipakai sampai akhir umroh nanti. Aku bilang, aku sendiri belum menjalani umroh ke Mekkah dan baru sampai di Madinah. Perjalananku masih panjang. Ia pun tak kehabisan akal. Ia menawar. “Kalau gitu SR 50 deh,” katanya. Hmmm minta-minta bisa ditawar begini ya? Aku membalasnya dalam bahasa Arab, “’afwan akhir, lam astathi’ al’aan (maaf saudaraku, saat ini aku belum bisa).”

Ia segera bergegas pergi dengan pamit sekadarnya. Beberapa detik kemudian, aku lihat ke belakang, orang itu lenyap secepat kilat. “Entahlah, apakah ia malaikat yang sedang mencoba hamba Allah atau bukan. Tapi aku minta maaf kepada Allah, bukannya aku pelit. Tapi aku rasional untuk tidak bisa membantunya kali ini.”

Memang, uniknya kalau di tanah suci, kita tidak tahu, apakah orang yang datang pada kita adalah malaikat yang menyamar, atau orang jahat. Tidak ada yang tahu. Semua serba dibungkus dengan dua kata: misteri ilahi. Yang terpenting adalah kita harus selalu ikhlas, jujur, dan tampil apa adanya. Tidak perlu takut untuk diberi cobaan oleh Allah, tapi juga jangan sombong atau menantang Allah. Lepaskan, lepaskan beban dan pikiran tentang dunia. Ini saatnya urusan akhirat benar-benar direnungkan, diresapi maknanya.

Setelah kejadian didatangi orang minta uang itu, aku benar-benar “bangun” dari tidur dan rasa kantuk hilang serta merta. Mungkin itu teguran dari Allah. Sudah jauh-jauh datang ke Madinah, hanya untuk tidur di masjid-Nya. Terus terang, aku sedikit takut setelah itu. Ada kecemasan aku akan jadi korban minta-minta seperti itu tadi di kesempatan berikutnya. Aku pikir-pikir lagi, apakah tampangku terlalu kekanak-kanakan alias imut-imut sehingga disamperin oleh orang tadi? Entahlah. Terus terang, ada sedikit rasa trauma. Bagaimana jika orang yang meminta menggunakan cara-cara kasar? Bagaimana jika memang benar dia butuh bantuan? Bagaimana jika orang itu adalah malaikat? Analisa-analisa tak penting, mulai merasuk dalam hatiku. Aku gundah malam itu. Tapi paling tidak aku sudah melakukan hal benar. Tidak berbohong, dan menolak secara halus terhadap sesuatu yang belum bisa kita lakukan untuk orang lain.

Selesai shalat Isya, aku kembali ke hotel untuk makan malam. Makan malam di hotel disediakan setelah shalat Isya sekitar pukul 8 malam. Kali ini aku bersyukur sekali bisa memakan makanan khas Indonesia, meski banyak sekali kekurangannya. Ar Raudhah, hotel di tempat kami menginap, menyediakan satu ruang makan yang terdiri dari 3 travel khusus jemaah Indonesia. Kalau dihitung-hitung, sebenarnya kapasitasnya tak cukup menampung jemaah 3 travel itu. Bayangkan saja, makan harus antri betul untuk bisa dapat tempat duduk. Walhasil, banyak juga jemaah yang membawa makanannya ke luar ruangan. Kadang ada yang ngemper di sela-sela lorong hotel. Kadang miris juga melihatnya. Hal seperti itu justru merendahkan diri sendiri di hadapan orang Arab selaku pemilik hotel. Kita dianggap kurang tertib.

Lauk yang disediakan katering hasil kerjasama dengan pihak travel tergolong sangat sederhana. Yang penting ada nuansa Indonesianya. Entah itu kerupuk, nasi goreng, atau apapun yang masakan Indonesia yang murah meriah. Tak jarang, karena kualitasnya kurang bagus, nasi goreng masakan katering itu tak ubahnya nasi putih biasa yang diberi kecap. Lalu tidak digoreng sampai matang layaknya nasi goreng. Rasanya hambar. Tapi mau protes bagaimana, ke siapa? Di sana hanya petugas jaga saja. Terpaksa terima saja apa adanya agar tak buang tenaga. Yang penting masih bisa makan, meski berbekal nasi plus sambel encer yang tidak pedas.

Terlepas dari kekurangannya, sebenarnya aku cukup bersyukur. Kalau harus makan makanan khas Arab, aku mungkin tak sanggup. Makanan Arab umumnya berminyak. Minyaknya seperti “banjir” di tiap makanan. Entah itu ayam, kambing, atau bebek. Semua berminyak-nyak-nyak. Untunglah di hotel tempatku menginap, tempat makan orang Arab dan Indonesia dipisah.

Menurut pengamatanku, berbisnis katering di Arab Saudi bisa jadi menguntungkan. Dalam hal ini, umumnya pelayanan adalah nomor kesekian. Yang penting lidah jemaah Indonesia dicolek dengan sentuhan makanan Indonesia, entah itu kualitasnya bagus atau tidak, bukan jadi soal. Mungkin tak semua katering seperti itu. Ada juga yang bagus. Tapi syaangnya, tak berjodoh denganku katering yang enak saat aku di Madinah. Dan biasanya, jemaah Indonesia nrimo-nrimo saja, dan sedikit sekali komplain.

Kondisi di ruang makan khusus jemaah Indonesia itu chaos sekali. Padat. Tidak layak. Apalagi ditambah budaya jemaah Indonesia yang terkenal grasa-grusu rebutan makan. Padahal makanan masih ada dan masih banyak. Entah apa yang dirisaukan hingga desak-desakan dan dorong-dorongan. Heran.

Aku perbanyak minum air saat di ruang makan hotel. Namun, ada kesalahan yang belakangan aku sesali. Aku terlalu banyak minum es sirup warna orange. Hal ini membuat badanku terasa tak enak. Sudahlah makanannya kering, minum pakai air sirup. Sesuatu yang tak sehat. Harusnya aku perbanyak minum air putih saja. Air putih hangat kalau bisa. Lebih baik lagi, jika Anda membawa botol minuman kemasan, bisa isi air zam zam. Makan dan minum hendaknya full disosor dengan air zam zam. Kapan lagi kan punya kesempatan langka minum air zam zam yang menyehatkan sepuasnya, termasuk saat makan nasi? Memang sih rasanya jadi agak aneh. Hehehe.

Malam itu, aku tutup kegiatan dengan tidur di kamar hotel setelah selesai makan malam. Meski dengan tempe goreng dan sambal. Rasa makanan itu tetap nikmat kalau dinikmati dari hati. Bagi Anda yang punya masalah dengan makanan yang berbeda negara, atau masakan non-rumahan, jangan sampai menghujat makanan. Apalagi di tanah suci. Jika sempat saja menghina makanan, “tidak enak”, “bosan”, atau kalimat meremehkan lainnya, Anda siap-siap saja menerima konsekuensi atas sikap tidak bersyukur tersebut.

Aku menemukan seorang perempuan di rombonganku yang selalu mengeluh tentang makanan yang ia tak suka yang selalu tak dimakannya. Katanya “tak berselera”. Akhirnya, tiap makanan yang ada di hadapannya selalu ia komentari, “tak berselera”. Entahlah ini seperti hukuman dari Allah atau tidak. Selera makannya di tanah suci dipersulit. Semua serba tak enak. Walhasil, ia keluar ongkos untuk beli makanan alternatif kesukaannya. Jangan sampai kejadian ini menimpa Anda. Tujuan utama kita ke Mekkah-Madinah adalah ibadah. Untuk ibadah, kita butuh energi. Energi datang dari makanan. Jangan terlalu picky-picky. Jangan pula sampai telat makan. Makan harus teratur. Jika bisa, perbanyak minum air putih atau zam zam. Perbanyak konsumsi buahan yang dijual murah di sekitar kompleks masjid Nabawi.

Raudhoh, Tempat Mustajab Berdoa
Aku dan teman sekamar berempat tidur jam 10 malam. Nyenyak sekali tidur kami malam itu. Namun, kami sudah bangun pukul 02.30 pagi menggunakan alarm hp. Kami lalu berwudhu dan berangkat ke Masjid Nabawi. Kami ingin shalat di Raudhoh (merupakan tempat yang berada di antara rumah Rasulullah dan Mimbar Rasulullah) dan juga ingin shalat tahajud di masjid yang menyediakan pahala berlipat bagi jemaahnya. Menurut salah satu hadist Rasulullah, “Diantara rumah dan mimbarku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku di atas telagaku” (HR.Abu Hurairoh. RA).

Dini hari terasa dingin. Kami menembus dinginnya tengah malam dengan melapisi badan menggunakan jaket. Jaket adalah benda penting untuk dibawa ketika ke Arab Saudi. Udara malam hari bisa menjadi sangat dingin, meski di siang hari terhitung panas terik.
Pak Rudi berperan sebagai komandan kami saat itu. Tiga orang lainnya, termasuk aku, baru pertama kali umroh. Jadi belum tahu tempat dan letak dimana Raudhoh. Pak Rudi menuntun kami dan memberitahu kami mana batasan Raudhoh dan non-Raudhoh. Karpet area Raudhoh adalah berwarna hijau tua. Jika bukan warna hijau tua, berarti Anda belum masuk area Raudhoh. Raudhoh bagi perempuan dibedakan dengan laki-laki. Tempatnya ada di bagian agak belakang Raudhoh laki-laki. Bagi perempuan, Raudhoh mereka ada pagarnya. Di Raudhoh setiap doa diijabah Allah dengan kepastian tingkat tinggi. Ini sesuatu yang mahal, menarik, dan luar biasa. Tak heran, banyak orang yang berebut ke sana.

Teknik yang diajarkan oleh Pak Rudi adalah berani mengambil kesempatan dan jalan menuju shaf depan, tepat di depan simbol Raudhoh. Di sanalah disunnahkan shalat 2 rakaat dan berdoa setelahnya.
Aku mengucap bismillahirrahmanirrahim dalam hati, agar dimudahkan segala urusan. Kami bergerak satu persatu dalam jarak dekat, menuju shaf depan. Kami terpaksa harus melangkahi jemaah yang sedang duduk. Mata kami harus liar, mencari celah, mana shaf kosong, mana jemaah yang sudah selesai shalat sunnah 2 rakaat untuk kami take-over tempatnya.
Suasana di Raudhoh Masjid Nabawi (taken from http://www.google.co.id)

Alhamdulillah, kebulatan niat dan kekuatan tekad, mengantarkan kami sampai di depan simbol Raudhoh. Aku berada 2 shaf di belakang jemaah yang siap untuk shalat 2 rakaat. Tak berapa lama, tibalah giliranku. Aku juga ingat pesan temanku, Irvan Hermala. “Maksimalkan doa saat shalat,” ungkap Irvan memberi tips padaku sebelum berangkat umroh. Aku benar-benar memegang kata-kata itu. Aku praktekkan. Ketika shalat, di sujud terakhir aku perbanyak doa di dalam hati seputar keinginanku. Aku yakin, hal itu lebih efektif, daripada berdoa setelah shalat.

Mengapa? Karena jika sesudah shalat, kita akan “diusir-usir” oleh jemaah lain yang sudah tak sabar mengantri. Kadang askarnya juga membatasi lama waktu orang shalat sunnah. Jika ada yang sudah terlalu lama dan ditambah berdoa dengan durasi lama setelah shalat sunnah, ia akan bertindak, mengusir Anda. Tak boleh berdoa terlalu lama karena antrian membludak. Dari kesimpulanku shalat di sana, ada beberapa pelajaran yang didapat. Shalat sunnah di Raudhoh adalah sarana melatih kita untuk bisa baca peluang, berani ambil tindakan, yakin, dan ikhlas. Mata harus jeli melihat tempat kosong, gerak pun harus gesit. Itu pelajaran hidupnya.

Dini hari itu jadi saksi bagiku betapa aku takjub melihat antusiasme orang muslim untuk shalat di Raudhoh. Begitu kuat keinginan mereka sampai berebutan. Aku membayangkan, kenapa orang di Indonesia tak pernah punya perasaan ingin rebutan shalat di masjid seperti rebutan shalat di Raudhoh? Jika perasaan itu ada, tentu masjid-masjid di Indonesia sudah penuh ketika shalat 5 waktu. Terlebih saat subuh. Alangkah indahnya jika spirit shalat di Raudhoh bisa itu ditransfer ke Indonesia. Aku jadi berpikir, menarik juga membuat gerakan sosial untuk shalat jemaah di masjid. Aku jadi ingat gerakan Jemaah Tabligh di Indonesia. Pernah sekali waktu aku melihat mereka datang dari rumah ke rumah untuk mengajak orang shalat di masjid. Sungguh, sekarang aku baru tahu, bagaimana pentingnya shalat jemaah di masjid itu. Aku baru tahu, mengapa orang Islam Jemaah itu begitu menggebu-gebu mengajak orang lain untuk shalat jemaah di masjid. Ia tahu ilmunya, ia juga pernah merasakan sensasi shalat sunnah di masjid Nabawi dan Masjidil Haram.

Usai shalat dua rakaat di depan Raudhoh, aku beranjak pergi. Kali ini aku mengisi dinginnya malam dengan shalat tahajjud dan shalat witir. Aku memilih shalat di shaf terdepan, dekat dengan imam. Aku penasaran, bagaimana sih bentuk fisik para imam di masjid besar seperti Nabawi itu. Meski harus rebutan, alhamdulillah aku selalu mendapatkan tempat di shaf 3 di belakang imam. Lokasi tepat di belakang imam adalah khusus diperuntukkan bagi imam masjid Nabawi lainnya alias ulama-ulama besar di sana. Tempat ini dijaga betul oleh Askar. Jika ada jemaah yang duduk di sana, ia akan menegur. Jika tak mempan, ia akan mengusir orang yang berani menempati shaf yang telah dibooking itu.

Setelah shalat tahajjud dan witir, aku mengaji. Membaca Al-quran yang aku bawa dari Indonesia. Jika Anda berkeinginan membawa Al-quran dari Indonesia, cukup bawa yang kecil dan yang ada terjemahannya. Terjemahan menjadi penting agar Anda tak hanya sekadar membaca Al-quran, tapi juga paham makna dari apa yang dibaca. Di masjid-masjid seperti Masjid Nabawi sebenarnya juga tersedia Al-quran dengan tafsir Indonesia. Namun butuh kesabaran juga mencarinya di berbagai rak Al-quran, karena hampir semua translasi bahasa dari Al-quran tersedia di sana. Jadi, muslim dari berbagai negeri tak perlu khawatir.

Wah, tak terasa, aku sudah panjang lebar bercerita. Saatnya break ya. Kapan-kapan aku lanjutkan lagi. Kalau kepanjangan, nanti pembaca blogku bisa bosan. Ini baru hari kedua di Madinah. Dan aku sudah jatuh cinta dengan atmosfer kotanya yang tenang dan nyaman. Tak ada yang lebih indah selain melupakan kehidupan dunia sejenak, lalu mengerahkan diri berpikir tentang akhirat. Ada titik kepuasan yang aku rasakan.

What next? Masih banyak dan panjang ceritanya. Bagaimana sandalku hilang di masjid Nabawi? Bagaimana cerita lengkapnya aku nyeker dari masjid ke hotel lalu dipelototi oleh orang banyak? Lalu bagaimana kisah pertemuanku dengan mahasiswa asal Niger yang kelak mengajakku berpetualang kesana-kemari di Madinah? Nantikan cerita lengkapnya di episode “Umroh Dari Warung Padang Part 6”. Don’t miss it.

Kisah Umroh - Umarat's Part 4

Umroh Dari Warung Padang Part 4 (Akhirnya Berangkat Juga)

Setelah menjalani penantian panjang, akhirnya doaku terjawab. Aku dan rombongan umrohku yang berjumlah 25 orang berangkat tgl 29 Maret 2011. Kami berangkat dengan maskapai Royal Brunei. Namun, kami harus transit terlebih dahulu ke Brunei. Lumayanlah, jalan-jalan dulu ke negeri orang. Yang penting bagiku adalah berangkat umroh. Mau cara transit, langsung, tak masalah. Aku searching di internet, ternyata Royal Brunei kelasnya masih di bawah maskapai Ettihad dan Emirates dalam hal pelayanan. Tak apalah. Mudah-mudahan sekarang sudah berubah. Aku berdoa saja.

Aku datang tepat jam 13.00 dan menunggu di bandara agak lama, 2 jam sebelum boarding. Saat pertama kali turun taksi, aku lihat orang berseragam batik yang coraknya sama. Aku tersenyum pada si bapak yang “ahli rokok” bas-bis-bus itu. Ia membalas senyumku. Kelak ia jadi “gila rokok” di tanah suci.

Sebelum terbang, aku beli voucher Simpati di ATM BCA Rp 100.000,00. Gunanya buat jaga-jaga saja. Setelah sejam menunggu, akhirnya passport kami dibagikan oleh pihak travel, lengkap. Kali ini tak perlu bayar fiskal karena sudah tidak berlaku lagi. Sudah ada NPWP. Lumayan hemat Rp 2,5 juta.
Cerita menegangkan pun dimulai. Aku sudah antri panjang di keimigrasian, ternyata aku belum dapat kartu keberangkatan ke luar negeri. Travel Cahaya Gelap memang kurang profesional. Untung ada orang baik. Bayumi, seorang bapak-bapak lulusan Cairo-Mesir, menelpon orang travel untuk memberikan aku kartu keberangkatan. Aku selalu dibuat deg-degan oleh Travel ini. Untung orang travelnya segera datang dan langsung menuliskan kartu keberangkatanku.

Bukan kali ini saja aku dikecewakan oleh Travel Cahaya Gelap. Aku juga tidak dapat tas selempangan untuk membawa passport. Mereka menjanjikan akan membagikannya di bandara karena mengaku stok habis. Tapi ternyata aku tak dikasih. Saat di bandara jelang keberangkatan, sengaja aku tidak minta hakku. Sebelum berangkat ke bandara aku sudah bawel nelpon ke pihak travel bahwa aku belum dapat tas selempangan buat passport. Mereka berjanji akan memberikannya di bandara. Aku nantikan. Tapi tak ada itikad baik. Sudah kadung malas menghadapi mereka. Yang penting berangkat umroh. Tas selempangan bisa aku ganti dengan milik pribadi, Kebetulan ada tas kecil Alpina yang muat untuk passport. Tas itu milik adikku Uul.

Pesawat Mewah
Pukul 16.00 aku sudah harus naik pesawat Royal Brunei. Awalnya sempat merasa cemas naik pesawat ini. Menurut hasil penelusuran google, pelayanan Royal Brunei masih termasuk kelas 3, di bawah Etihad. Awalnya aku dan rombongan akan berangkat umroh tgl 15 Maret 2011. Namun karena ada kendala visa online dari kedutaan Arab Saudi, maka berangkatnya ditunda. Tiket pesawat Ettihad yang sudah dibooking terpaksa hangus. Visa baru keluar tgl 15 Maret 2011 pukul 22.00. Padahal tiket pesawat seharusnya berangkat hari itu pukul 17.00. Agaknya Travel Cahaya Gelap terlalu mepet memasukkan aplikasi visa onlinenya. Sehingga mereka salah perhitungan ketika terjadi kemacetan.

Kesan pertama naik Royal Brunei cukup bagus. Pesawat cukup besar, dan pramugarinya lumayan cantik dan ramah, khas anak Melayu. Jadi familiar dengan wajah-wajah seperti itu. Muka khas Melayu. Pertama kali naik, sebelum take off, kami disuguhi sejenis sapu tangan kecil yang sudah didinginkan dengan es dan baunya wangi. Sapu tangan itu bisa dipakai untuk menyeka wajah dan leher serta tangan. Setelah menyeka menggunakan sapu tangan itu, badan terasa fresh. Wajah juga terasa fresh. Siap untuk terbang bersama Royal Brunei. Sapu tangan yang kecil bentuknya, tapi memberi kesan segar dan aura positif sebelum take-off. Saat itu, penilaian terhadap Royal Brunei perlahan mulai positif. Setelah terbang 20 menit, kami disuguhi makanan berat, yaitu nasi beserta lauk. Kali ini aku memilih lauk ayam penyet, lembut, disertai sayur pucuk ubi. Makanannya khas masakan Melayu. Banyak santan dan berkuah sedikit pada sayurnya. Jadi teringat masakan mama sore itu.

Pramugara Membagikan “Sapu Tangan Ajaib”

Saat naik pesawat yang canggih, aku jadi manusia katro. Di depan tempat duduk ada tv. Namun, karena aku belum biasa menggunakannya, aku mencoba pencet berapa tombol sambil melihat apakah terjadi perubahan di layar. Tak dinyana, aku memencet tombol yang membuat pramugari datang. Ia bertanya sekiranya ada yang bisa dibantu. Aku bilang salah pencet. Ia membalas, jangan memencet tombol itu lagi. Setelah itu, teman di sebelahku yang juga sama katronya memencet tombol yang sama. Walhasil kita terkesan “ngerjain” pramugarinya. Si pramugari cantik itu datang lagi. Tapi kali ini teman sebelahku yang berulah. Hahahaha. Untuk pramugari itu meski wajahnya agak kesel, tapi tetap terlihat cantik. Jadi tidak membuat pusing melihatnya. Hahahaha.

Menikmati film di pesawat

Sesampainya di Bandara Brunei, aku cukup terkesan. Bandaranya kecil, tapi lux. Di kiri-kanan jalan menuju tempat transit, kami disuguhi foto-foto binatang unik yang ada di Brunei. Ada juga foto pemandangan dan tempat wisata. Berbeda sekali dengan di Bandara Soekarno Hatta yang banyak iklan produk daripada promo daerah wisata seperti di Bandara Brunei.

Aku sempat keliling-keliling menunggu 3 jam transit di sana. Selain shalat, aku juga mencari kesibukan. Mengakrabkan diri dengan jemaah lain dan mencari teman baru. Aku takjub melihat ada gadis kecil bule yang berpakaian sejenis kebaya warna hijau terang. Ia terlihat sangat cantik. Gadis kecil yang cantik dan menggemaskan. Akhirnya aku ngobrol dengannya. Ramah tamah menyapanya dan orangtuanya. Ternyata ia dan keluarganya baru saja berlibur di Brunei. Mereka keluarga Australia. Aku menyempatkan diri berfoto bersamanya karena aku lihat senyumnya indah sekali. Malam itu aku melatih kepercayaan diri dengan chit chat bersama bule Australia. Lumayan mengasyikkan setelah menempuh perjalanan 2 jam di pesawat dan butuh refreshing.

Turis Australia

Ramah Tamah dgn “Bidadari Kecil” Australia

Aku juga mulai pedekate dengan jemaah satu rombongan. Jumlahnya ada 25 orang, termasuk diriku. Aku pilih mendekati satu keluarga. Keluarga Bayumi, yang tadi menolongku menelpon pihak travel. Dari obrolan itu ternyata terungkap fakta bahwa aku ternyata membayar lebih murah dibandingkan mereka. Aku hanya membayar USD 1450. Sementara mereka membayar USD 1620. Ada selisih sekitar USD 170. Mereka rata-rata diminta uang lebih USD 200 karena terjadi perubahan keberangkatan dan tiket pesawat hangus.

Jemaah lain adalah Pak Rudi. Ia sempat aku hubungi sebelum berangkat dan saat negosiasi dengan Travel Cahaya Gelap. Saat di Bandara Brunei, aku ngobrol banyak juga dengan pak Rudi. Aku ceritakan bahwa ini umroh perdanaku. Ia menyambut baik keberadaanku dan turut senang. Ia sudah haji sekali dan umroh berkali-kali. Aku kagum padanya. Ia pengusaha yang mengaku berbisni receh. Ia menggeluti mulai dari bisnis katering, pelaminan, toilet, dan lainnya. Memang, menurutku, pintu rezeki yang paling besar itu datang lebih besar jika kita jadi pengusaha. Nabi Muhammad SAW juga mencontohkan pada ummatnya agar menjadi pengusaha agar cepat kaya. Sehingga Pak Rudi bisa bebas mengatur jadwal dan bisa umroh berkali-kali jika sedang ingin umroh. Kami saling ngobrol seputar masalah agama. Posisi saya adalah jadi pembelajar. Saya mendengarkan saja apa yang dinasehatkan pak Rudi seputar pengalaman umrohnya.

Sekitar 2 jam menunggu, kami sudah harus bersiap-siap naik pesawat. Alhamduilllah aku mengetahui bahwa aku akan naik pesawat Boeing 777. Kata penumpang lain, di Indonesia saja meskipun sekelas Garuda Indonesia, belum ada pesawat jenis ini. Entah benar atau tidak kicauan orang itu. Tapi paling tidak aku bersyukur. Ternyata ada berkah lain di balik kesabaran menanti keberangkatan umroh yang tertunda. Pesawatnya besar, agak luas. Pesawat terbesar yang pernah aku naiki selama ini.

Masuk ke pesawat Royal Brunei, aku senang sekali. Akhirnya akan berangkat juga ke Mekkah. Tapi sebelumnya sempat melihat pemandangan yang agak mengganggu. Jemaah Indonesia yang umumnya terdiri dari kakek-kakek dan nenek-nenek berebut antri untuk masuk ke ruang tunggu boarding. Selain antrian acakadul, jemaah Indonesia norak. Mereka seperti takut ketinggalan pesawat. Padahal jadwal keberangkatan masih satu jam lagi. Akses jalan di lorong menuju ruang boarding tertutup. Antrian seperti antri minyak tanah di Riau, atau antri menerima zakat di rumah orang kaya jelang lebaran. Sangat berdesakan. Kapten pilot pesawat sampai harus minta mohon dibukakan jalan agar bisa jalan menuju pesawatnya. “Minta lalu (numpang lewat),” ujarnya bersama kru pramugari dan pramugaranya. Jemaah asal Indonesia tetap menutupi jalan orang lewat. Itulah jemaah Indonesia. Aku hanya bisa tersenyum miring melihat kejadian itu.

Hal agak konyol juga saya saksikan lagi. Ketika melewati metal detector, banyak jemaah Indonesia yang kurang tertib dalam antrian dan terlihat grasak-grusuk. Banyak yang gagal melewati metal detector dengan status clear. Alatnya selalu berbunyi.

Ada cerita lucu. Seorang kakek dibuat frustasi oleh petugas dan metal detector yang resek dan sok kuasa plus bawel. Sudah berkali-kali melewati alat itu, tetap saja bunyi alatnya. Si kakek mengulang melewati alat itu berkali-kali. Sampai akhirnya ia terlihat frustasi. Ia buka ikat pinggangnya. Lalu diletakkan di samping, di sebuah keranjang. Dan seketika itu juga alatnya tak bunyi. Namun karena celananya kendor, dan ikat pinggang sudah dicopot, celana si kakek melorot. Ketika ia tak sadar celananya sudah melorot, ia juga memaksakan diri membuka bajunya. Ia kira bajunya juga sumber masalah sama seperti ikat pinggangnya. Namun buru-buru jemaah lain melarangnya. “Pak, celananya melorot, baju ga perlu dibuka. Ikat pinggang saja yang dibuka.”  ujar jemaah lain yang ada di antrian berikutnya. Aku tanya, ternyata jemaah itu dari rombongan orang Jambi. Pantas saja masih ada logat Melayunya, ujarku dalam hati.

Ketika naik pesawat, aku kembali disuguhi sapu tangan dingin favoritku. Sapu tangan putih itu dingin dan menyegarkan ketika diseka ke wajah kita. “Aku siap terbang.” Mungkin itu kata yang tepat setelah menyeka wajah dengan sapu tangan itu. Segar sekali.

Sapu Tangan Ajaib, Bikin Seger
Ketika masuk pesawat, jemaah Indonesia juga masih belum tertib. Mereka menduduki tempat duduk sembarangan, seenak hati. Jika ada tempat duduk yang dekat dengan suaminya, mereka akan pilih tempat duduk itu tanpa peduli seat berapa yang tertulis di tiketnya. Akibatnya, penumpang lain banyak yang kebingungan. Si jemaah tidak mau pindah, sementara jemaah lain bingung mau cari tempat pengganti dimana. Saking banyaknya perpindahan secara sepihak itu, pramugari yang dimintai tolong oleh banyak jemaah kebingungan. Puncaknya, pramugari bernama Aisyah sampai sedikit emosi. Seorang penumpang dari Brunei bertanya kepada pramugari, dimana ia harus duduk, semua seat sudah diduduki. Pramugari memperlihatkan ia stres menghadapi ini. “Chaotik, I’m sorry sir,” ucapnya menjelaskan pada penumpang. “Banyak penumpang pindah tempat tanpa beritahu.” Akhirnya penumpang asal Brunei itu diantar oleh pramugari lain untuk duduk di bagian paling belakang. Bagian yang paling tidak enak menurut saya. Tapi apa boleh buat, jemaah Indonesia memang paling berkuasa di pesawat Royal Brunei. Mereka takut berpisah dari istri/ suaminya.

Tempat duduk di pesawat Royal Brunei yang saya naiki ada 9 seat di tiap satu deretnya (komposisi 3-3-3). Saya duduk di bagian tengah. Di samping kanan saya ibu-ibu berumur. Samping kanan adalah bapak Syahrun yang ternyata sudah berkali-kali umroh. Sepanjang perjalanan saya membaca buku, terkadang nonton film, terkadang ganti mendengarkan qiroah CD yang tersedia di pesawat. Aku masih ingin mempersiapkan diri untuk menjalani umroh ini dengan sempurna. Jadi, harus tahu betul ilmunya secara sempurna.

Pak Syahrun jemaah yang biasa umroh 3-4 kali setahun itu tidur gelisah. Ia selalu komplain terhadap pelayanan pramugari. Mulai dari tempat makan yang tidak segera diangkut, sampai pada posisi kursi yang menurutnya tidak nyaman dipakai untuk tidur. Kerap kali aku mendengar ucapan tanda menggerutu, “Ckk ckk ckk”. Kupingku pengang juga lama-lama mendengar komplainnya. Ia tidur tak nyaman. Geser gaya serong ke kiri, kanan, dan masih disertai gerutuan. Aku tetap baca buku, menggunakan lampu baca. Sampai akhirnya tertidur. Aku sempat dimarahi oleh Pak Syahrun agar mematikan lampu baca jika sudah tidak dipakai. Tapi menurutku, lampu baca itu sifatnya pribadi. Lampu itu diarahkan tepat ke masing-masing penumpang. Jadi jika ia tetap menyala, harusnya tetangga tempat duduk tak perlu komplain.

Menjadi Juru Bersih
Aku mendapatkan makan berat dua kali dan makan ringan sekali selama perjalanan Brunei-Jeddah. Aku memesan makanan yang paling aman bagiku, ayam. Rasa ayamnya lezat. Aku penasaran karena selama perjalanan aku biasanya suka beser. Tapi kali ini aku jarang ke toilet. Kayaknya semua cairan yang masuk ke perut diserap dengan baik. Pada 3 jam terakhir perjalanan, aku ke toilet juga akhirnya. Ingin buang air dan membasuh wajah agar lebih fresh ketika membaca buku.

Aku langkahkan kaki ke toilet, dan terlihat penumpang lain sedang tidur pulas. Ternyata di toilet harus ngantri. Ya harus sabar menanti. Begitu seorang ibu tua keluar dari toilet. aku senang bukan kepalang. Alhamdulillah tak terlalu lama menunggu. Si ibu tua segera keluar dan berlalu pergi. Begitu saya masuk ke toilet, alangkah kagetnya saya. Pemandangan yang luaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrrrrrrrrrr biasaaaaa!
Tisu berwarna kuning, basah, dan agak berbau, berserakan di lantai, westafel, dan tempat yang paling parah, diselipkan di tempat tisu bersih berada.
“Mati aku!”

Kalau aku keluar dari toilet dan kondisinya begini, tentu aku yang jadi tersangka sebagai pembuat kotor toilet. Aku juga berpikir kasihan sekali ibu-ibu yang masuk sebelumnya. Entah dia atau bukan pelakunya, yang pasti, pelakunya adalah orang yang tak bisa bahasa Inggris dan tak mengerti harus buang sampah dimana. Tempat sampah sebenarnya ada, tapi bertuliskan bahasa Inggris dan harus ditekan dulu agar terbuka. Agaknya orang yang membuang sampah sembarangan itu tak tahu dan panik. Jadinya sampah dibuang kemana-mana.  Aku mikir di dalam toilet. Harapanku cuma satu. Semoga hal ini tidak dilakukan oleh Mama-Papaku yang pergi haji tahun 2011. Semoga mereka cukup paham.

Perhatikan Ilustrasi Westafel Royal Brunei (Diambil Saat Naik Pesawat Pulang Ke Indonesia)

Akhirnya aku singsingkan lengan baju. Aku ambil tisu bersih yang belum terkontaminasi tisu kotor, lalu satu persatu tisu kotor, berwarna kuning dan berbau itu aku ambil dan masukkan ke tempat sampah. Rasa jijik sih ada dalam hati. Bayangkan saja, tisu kotor, warna kuning, bau, kira-kira dipakai buat apakah? Tapi berangkat umroh ini harus bisa mengubah diri. Kurangi komplain, perbanyak ibadah dan amal baik. Semoga Allah menghitung aksi bersih-bersih toilet itu sebagai amalan.

Sebenarnya aku malu sebagai orang Indonesia, jika membiarkan toilet itu tetap kotor. Pasti nanti nama jemaah Indonesia jadi jelek dan dicap jorok. Mungkin ini cara membela nama bangsa dalam wujud paling kecil. Aku cuci tangan dengan sabun sampai bersih. Berkali-kali aku bercermin dan berkata pada diri, “I can’t believe on what I have done!” Akhirnya kembali ke tempat duduk dengan perasaan senang. Senang karena setelah melakukan kebaikan, biasanya hati menjadi turut senang. Target saya cuma satu, melakukan kebaikan kapanpun, dimanapun. Terlebih saat akan berangkat umroh.

Aku melanjutkan kembali membaca buku hingga tertidur. Itu cara ampuh membunuh waktu agar tak terasa lama di perjalanan. Tak terasa jarak sudah semakin dekat dengan Jeddah. Hal ini bisa dilihat dari layar yang memuat hasil GPS di pesawat. Estimasi jarak tempuh juga tertera di sana. Pilot segera mengumumkan bahwa dari daerah ini jemaah bisa memulai berniat umroh karena sudah memasuki wilayah miqat untuk umroh, bagi yang ingin langsung pergi umroh begitu tiba di Jeddah. Jangan lupa juga untuk menanyakan kapan waktu shalat subuh kepada pramugari atau pramugara. Jika mereka tidak tahu, bisa tanya ke orang yang berpengalaman. Waktu itu, saya akhirnya shalat subuh di Bandara setelah menjalani pemeriksaan imigrasi di bandara haji Jeddah.

Saat turun dari pesawat Royal Brunei, ada kejadian menarik. Kami sudah disambut bus bandara. Ketika hampir semua penumpang naik, ada segerombolan jemaah umroh dari satu travel yang tidak mau naik ke bus. Akhirnya seorang petugas bandara berperawakan Arab, menegur mereka kenapa tidak langsung masuk ke bus karena bus akan segera berangkat. Para jemaah ngotot tidak mau dipaksa masuk. Petugas bandara meladeni mereka dari sabar hingga emosi. Ia heran dan geleng-geleng kepala. Aku juga heran, mengapa mereka tidak mau naik bus. Ternyata setelah aku tanyakan apa penyebabnya, salah satu dari jemaah asal Sulawesi itu menjawab takut naik bus karena belum pasti pembimbingnya ikut bus yang sama. Mereka takut berpisah. Beberapa jemaah menjelaskan bahwa nanti juga akan ketemu di ruang tunggu imigrasi, jadi tidak akan terpisah. Jemaah asal Sulawesi itu tetap tak hirau. Sampai akhirnya pembimbing yang mereka tunggu keluar dari pintu pesawat. Jemaah tersebut lega. Mereka teriak-teriak memanggil nama pembimbingnya sembari melambaikan tangan. Setelah pembimbingnya naik bus, barulah mereka naik bus. Aku terkekeh dalam hati. Segitunya jemaah asal Sulawesi ini. Antara katro, norak, kurang pengetahuan, atau terlalu taat sama pembimbing. Entahlah. Silahkan nilai sendiri.

Tragedi “Pisang Ambon”
Sesampainya di ruang tunggu imigrasi, aku langsung ke toilet. Aku ingin tahu bagaimana toilet di Arab Saudi. “Pasti bersih nih toilet,” ujarku yakin. Bukankah kebersihan itu sebagian dari iman. Pasti diterapkan di negeri Arab ini. Namun betapa kagetnya aku. Begitu masuk ke toilet, aku melihat seonggok benda warna cokelat tua, utuh, sebesar pisang Ambon, beraroma tak sedap, sedang terapung di toilet yang pintunya ternganga. Jumlahnya aku hitung sekitar 4 onggok “pisang Ambon”. Tiga yang ukuran jumbo, dan satu lagi yang ukuran sempalan alias kecil. Masih dalam suasana jetlag, aku mual, ingin muntah seketika. Dalam hatiku berujar, “Inilah dia tokai Arab. Besar dan mantap!” Sebuah sambutan yang sangat “elegan”. Aku coba nyalakan flush nya, tidak nyala. Tapi kalaupun nyala, air penyiramnya tidak akan kuat mendorong tokai itu, karena segede bagong banget. Ndak bisa diutak-atik. Untungnya belum ada orang di belakangnya. Segera saja aku keluar dari toilet itu. Takut dikira aku pula yang menjadi pelaku peristiwa tokai Pisang Ambon itu. Akhirya ngantri di toilet sebelahnya yang sedang ada orang di dalamnya.

Ilustrasi “Toilet Penuh” (taken from google.co.id)

Kemudian aku kembali ke ruang tunggu. Berbondong petugas sejenis OB (Office boy) datang ke ruang tunggu menawarkan kartu perdana. “Kartu-kartu,” begitu tawar mereka mantap dalam logat Bahasa Indonesia. Untuk urusan jual-beli, orang Indonesia yang datang ke Arab Saudi dianggap sebagai calon kuat pembeli kartu perdana. Tawar menawar pun sangat mudah dilakukan karena mereka bisa menggunakan bahasa Indonesia dalam hitungan. Misalnya 20, 30, 50 mereka mampu menyebutkannya dengan fasih. Jadi jangan heran jika menemukan banyak pedagang di sana bisa berbahasa Indonesia karena orang Indonesia terkenal sebagai orang yang doyan belanja.

Sebuah label yang negatif dan merugikan. Belakangan, aku main ke toko buku di sekitar Masjidil Haram. Ketika aku tanyakan Al-quran terjemahan Bahasa Inggris, penjual mengatakan harganya SR 75. Namun, ketika ia tawarkan Al-quran terjemahan bahasa Indonesia, harganya malah mahal, SR 100 (sekitar 250 ribu). Aku protes. “Kenapa mahal?” tanyaku dalam bahasa Inggris. Jawabannya mengejutkan. “Indonesia banyak duit,” ucapnya polos. Menurut pengamatanku, ada dua label yang disematkan ke orang Indonesia. Jika bukan TKI yang identik dengan profesi pembantu, maka orang Indonesia adalah orang kaya yang sedang umroh.

Diskriminasi oleh Petugas Imigrasi
Aku dan rombongan akhirnya dipersilahkan antri menuju pemeriksaan dokumen imigrasi. Namun, aku melihat ada diskriminasi dari petugas terhadap jemaah Indonesia. Orang Indonesia disuruh berkumpul di depan tangga, menunggu entah apa, lalu orang Arab yang masih ada di barisan belakang disuruh lewat ke pintu imigrasi terlebih dahulu tanpa diperiksa. Kalau Indonesia, nanti dulu. Kami menunggu sekitar 20 menit berdiri di antrian yang tak jelas kapan harus mulai cek dokumen imigrasi. Akhirnya kami pun bisa melewati imigrasi setelah ikut antrian dan setelah orang keturunan Arab selesai proses imigrasi.

Contoh Jemaah Tertib

Contoh Jemaah Berdesakan Melewati Garis Merah

Jemaah Indonesia memang serba tidak sabar. Mereka kerap antri terlalu mepet. Seperti takut tidak kebagian jatah. Padahal tidak ada yang perlu diperebutkan. Desak-desakan tak karuan, membuat petugas imigrasi marah. Jemaah Indonesia diminta agar tidak melewati batas garis merah dalam antrian. Petugas Arab itu menunjukkan kebengisannya. Aku tak suka melihat cara dia menatap jemaah Indonesia. Seperti melihat penjahat saja. Padahal kalau mau hitung-hitungan, karena umroh dan haji orang Indonesia-lah Arab Saudi bisa meraup untung devisa berlipat ganda.

Sebelum antri, saya sempat berwudhu di toilet pertama kali sampai. Saya wudhu di westafel karena antrian panjang. Ada juga orang Arab entah dari negara mana. Ia sudah memakai pakaian Ihram. Ia nekat wudhu di westafel. Ketika membasuh wajah, tangan, kepala, telinga, tak masalah. Namun, ketika ingin membasuh kaki, ia kesulitan sekali. Karena memakai pakaian ihram, ia tak menggunakan “dalaman” sama sekali. Memang begitulah keistimewaan dan keunikan pakaian Ihram. Ia mengharuskan manusia untuk menggunakan dua helai pakaian tak berjahit sebagai pertanda betapa manusia itu nanti juga akan membawa beberapa helai pakaian putih saja ke liang kuburnya. Kembali ke kisah wudhunya orang berperawakan Arab tadi. Karena ia sedikit agak tua dan sudah beruban, geraknya agak sulit. Ia angkat kaki kanannya. Namun hanya bisa sampai setengah jalan. Macet lalu ia turunkan lagi. Sampai akhirnya ia paksakan mengangkat kakinya ke westafel tentu dengan resiko ia menyingsingkan pakaian ihram bagian bawahnya. Walhasil, kami yang ada di ruang toilet ternganga. Selanjutnya, terbukalah tabir yang tak boleh dilihat. Sensor!

Perjalanan Jeddah-Madinah

Entah karena saat itu jemaah umroh sangat banyak, maka kami turun di Bandara khusus haji di Jeddah. Menurut jemaah yang biasa umroh, ini unik. Biasanya di musim umroh, jarang ada pengalihan seperti itu. Mungkin diperkirakan load jemaah umroh saat itu sedang sangat padat. Jadilah aku berada di bandara haji Jeddah.
Perjalananku dari Bandara haji Jeddah ke Madinah cukup panjang. Kami berangkat pukul 7 pagi dari Jeddah. Butuh waktu sekitar 5-6 jam untuk sampai di Madinah. Alhamdulillah supir kami, Ahmad–orang Mesir—bisa ngebut dan menghemat waktu. Kondisi jalan di Arab Saudi sungguh enak. Selain lebar, track-nya juga lurus, konturnya rata, tidak bergelombang, apalagi berlobang seperti di Indonesia. Seandainya si supir tidur sekalipun, sambil menginjak pedal gas, kondisi bisa tetap aman. Itu perumpamaan hiperbolanya. Hehehe.

Di sepanjang perjalanan aku berkontemplasi, merenung, membayangkan, bagaimana mungkin Rasulullah menempuh perjalanan dari Mekkah ke Madinah, dengan rute seperti ini. Kondisi di kiri-kanan jalan yang aku amati adalah panas, gersang, padang pasir, yang diselingi bebatuan warna hitam. Kalau Rasulullah hijrah, sudah tentu butuh banyak pengorbanan waktu, tenaga, darah dan air mata. Belum lagi, jika di tengah perjalanan diserang angin gurun, atau angin pusing yang kerap dijumpai dan datang tanpa diduga. Betapa berat perjuangan Rasulullah SAW dan sahabatnya saat itu. Kalau dikomparasikan dengan jemaah umroh atau haji, tentu belum ada apa-apanya. Jemaah umroh atau haji sekarang selalu disediakan bus ber-AC kelas satu, tempat duduk model reclining seat, dan disediakan snack serta minuman. Jika masih komplain dan mengeluh, tentu harusnya malu dengan Rasulullah yang jalan kaki dan kadang naik unta.

Tepat pukul 10 pagi,  kami melakukan pit stop di sebuah restoran. Aku lupa namanya. Namun, semua bus berhenti di sana. Layaknya restoran persinggahan, kami mengusahakan istirahat, melihat-lihat jalanan sekitar. Ada jemaah yang membeli minuman, makanan, dan bahkan ada yang beli kartu perdana agar bisa mudah berkomunikasi dengan sesama jemaah, maupun dengan keluarga di Indonesia. Ketika melihat ada yang beli minuman super segar warna orange, Aku sempat ngiler. Alhamdulillah jemaah lain baik banget. Mereka pengertian dan mau berbagi. Sebenarnya aku ingin sekali membeli minuman serupa. Namun uang yang aku bawa terbatas, jadi harus hemat dari awal. Padahal udah mupeng (muka pengen) banget. Cuaca panas, disuguhi minuman segar. Amboi, itu momen paling nikmat. Mungkin bayangan nikmatnya senikmat iklan-iklan minuman bersoda yang kerap ada di layar kaca. Konon, di Arab Saudi minuman segar itu harganya murah. Sekitar SR 2-3, atau kalau dikonversikan sekitar Rp 7.500 per botol. Arab Saudi biasanya mengimpor makanan dan minuman berkualitas. Kalau di Indonesia minumannya sejenis Sunkis gitulah. Saat itu aku sempat mengecek uang di saku. Aku membawa uang pecahan SR 500. Rasanya sayang aja memecahkan uang sebesar itu untuk membeli minuman seharga SR 2. Udahlah, aku lanjutkan dengan meminum air putih kemasan yang dibagikan gratis oleh supir bus di awal perjalanan. Begitu pikirku dalam hati
.
Aku alihkan pandangaku ke sekitar restoran. Ternyata ada pom bensin di sebelah resto ini.Obrol punya obrol, harga Pertamax di Arab Saudi cukup mengejutkan. Harganya SR 0.7 per liter. Kalau dikonversi ke Rupiah adalah sekitar 1.750. Sangat murah bukan? Coba Anda bandingkan dengan Indonesia yang sampai di atas 5.000-an. Harga Pertamax di Arab itu, lebih murah daripada harga beli air kemasan botol di sana. Menarik sekali fenomena ini. Ini bukti bahwa Arab Saudi memang negara super kaya. Hampir semua barang serba impor. Mobil-mobil mewah, makanan-minuman kemasan, buah-buahan, hampir semua diimpor. Selain selalu dicari produk yang bagus, ia juga tanpa dikenai pajak pula. Bukankah hal seperti itu menggiurkan bagi masyarakatnya?

Bus kami melanjutkan perjalanannya. Namun, hal mengejutkan terjadi baru beberapa meter setelah bus memutarkan rodanya. Seorang jemaah yang baru saja membeli kartu perdana dengan jumlah pulsa SR 30, setelah dicek, ternyata isi pulsanya hanya SR 10. Ia positif kena tipu oleh penjual kartu perdana asongan berseliweran di restoran itu. Akhirnya, petugas dari travel bernama Ahmad—seorang Madura—membantu jemaah yang kena musibah itu. Ia mengembalikan kartu perdana yang menyesatkan itu kepada penjualnya. Ia minta diganti pulsa sesuai dengan yang telah dibayarkan sebelumnya. Sempat terjadi perdebatan. Ahmad selaku muthawwif kami “menceramahi” orang itu agar tidak berlaku curang seraya mengeluarkan kutipan ayat Al-quran dan hadist. Akhirnya pedagang jahil itu memberikan kartu perdana yang sebenarnya. Sungguh kejadian itu jadi pengalaman yang seru dan membawa hikmah. Ternyata, di Arab Saudi, tak semua orang baik. Bukan berarti mentang-mentang negerinya Nabi Muhammad, semua orang kita anggap baik. Banyak juga penipu. Maka kita harus berhati-hati. Tetap waspada. Jemaah yang kena tipu itu pun akhirnya senang. Ia berterima kasih pada muthawwif kami karena telah dibantu, diselamatkan dari penipuan. Lumayan kan, terhindar dari kerugian SAR 20 = sekitar Rp 50.000.

Bus kami melaju kencang di atas jalan aspal kelas satu. Kondisi badanku terasa mulai aneh. Cuaca di sini panasnya aneh. Ia bikin sesak napas karena banyak debu. Aku perbanyak minum saja, biar badan tetap segar. Di sepanjang perjalanan, aku membaca buku panduan umroh. Aku ingin perjalanan ini perfect. Aku ingin semua doa yang ada, sudah aku hapal sebelum ritual umroh dilangsungkan. Jika sudah bosan baca buku, biasanya aku terkantuk-kantuk dan tertidur. Ketika bangun lagi, aku mulai lagi membaca buku, dan kadang diselingi obrolan dengan jemaah umroh lainnya. Kebetulan, diantara 24 jemaah lain itu, ada 1 orang mantan murid di Universitas Al-Azhar Cairo. Jadi ia punya banyak cerita untuk dibagi-bagi kepada jemaah lainnya. Ia selalu menceritakan petualangannya di masa muda ketika masih di Cairo dulu. Hingga kini pun, ia masih tetap kontak dengan teman-temannya dulu. Teman Arab-nya banyak, terutama yang dekat dengan manajer-manajer hotel di Madinah dan Mekkah. Ini menunjukkan bahwa ia punya keluwesan dalam bergaul dan membangun serta menjaga jaringan sosialnya.

Setelah satu setengah jam perjalanan, kami berhenti lagi di sebuah musholla pinggir jalan. Beberapa jemaah pergi ke toilet untuk buang air. Beberapa jemaah meregangkan badannya agar tidak kaku. Unik juga. Di tengah padang pasir, kita bisa temukan ada masjid atau musholla. Entah siapa yang sholat rutin di sana. Aku sedang berpikir, bagaimana masyarakat di sini ke masjid? Mungkin hanya musafir yang sholat di musholla kecil itu. Setiap orang Arab yang hendak bepergian, mungkin harus punya mobil sendiri agar bebas bepergian. Jarang aku lihat ada taksi, angkot, atau sejenisnya. Lagian, menurut kabarnya, harga mobil di sana cukup murah. Temanku, Kuswantoro, mahasiswa King Abdul Aziz University, sudah berangan-angan membeli mobil dan mengajakku membuka usaha di sana.
Perjalanan masih menempuh waktu 45 menit lagi kata supir kami yang orang Mesir itu. Aku coba bercakap-cakap dengannya. Aku tanyakan kabar negaranya yang sempat chaos dan ia jawab, “baik-baik saja.” Kami lalu melanjutkan perjalanan. Dan tak berapa lama, akhirnya kami memasuki kota Madinah. Sepintas, kesan pertama yang aku tangkap dari kota ini adalah kota yang tenang, damai, adem, ayem, dan sepi. Para jemaah dituntun oleh pihak travel (muthawwif) untuk membacakan shalawat badar yang dibacakan penduduk Madinah kepada Rasulullah SAW saat hijrah ke Madinah. Aku membayangkan, bagaimana kira-kira Rasulullah disambut di Madinah setelah perjalanan jauh nan melelahkan. Sungguh, aku tak tega dan tak sanggup membayangkan betapa letihnya perjalanan di gurun dengan unta, berpuluh-puluh kilometer, dan tentunya itu bukan perkara gampang. Butuh perjuangan keras. Saat itu, detik itu juga, bulu kudukku merinding. Kekagumanku pada Rasulullah meluap-luap dalam hati. Aku hanya ikut bershalawat badar dalam hati. Bagiku, aku cukup paham dengan arti tiap kata dalam shalawat badar. Tak perlu rasanya aku lafazkan keras-keras seperti jemaah lain. Aku larut dalam kontemplasi ke dalam diri.

Apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana ketika kamar hotelku masih dihuni pelanggan lain? Apa kisah menarik di Madinah? Bagaimana serunya datang ke Raudhoh? Bagaimana sensasi ketemu orang dari berbagai belahan benua dan berakrab ria dengan mereka? Nantikan ceritanya di “Umroh Dari Warung Padang Part 5” hanya di www.umarat.wordpress.com

Kisah Umroh - Umarat's Part 3

Umroh Dari Warung Padang Part 3 (Godaan & Cobaan)

Semua niat baik, pasti dimudahkan oleh Allah jalannya. Namun, tak jarang ada juga tantangan untuk menguji seberapa besar kesungguhan kita menjalankan niat baik kita itu. Selalu ada kerikil, kecil maupun besar. Ada saja godaan dan cobaan jelang niat baik itu terlaksana. Untuk kasus berangkat umrohku, juga ada godaan dan cobaan.

Godaan Sebelum Umroh

Mari bahas satu per satu. Pertama adalah godaan untuk belanja perkakas umroh/ haji. Ini termasuk godaan. Godaan antara memborong banyak barang khas umroh/ haji, atau hanya membeli sesuai kebutuhan saja.

Kita bicara tentang konsep basic dari ekonomi, yaitu “Kebutuhan” vs “Keinginan”. “Kebutuhan” adalah sesuatu yang harus dimiliki. Sesuatu yang tak bisa hidup tanpanya. Harus ada. Misalnya makanan. Orang butuh makan untuk survive dalam hidup. Sedangkan “Keinginan” adalah sesuatu yang tidak harus selalu ada, namun jika ada ya akan sangat bagus dan menyenangkan. Misalnya “keinginan” untuk mendengarkan musik. Memang ini bisa debateable. Ada yang bilang musik adalah “kebutuhan”. Tapi, jika tanpa musik, manusia tetap masih bisa hidup.
Need vs Want, pilih memuaskan yang mana?

Begitu juga dengan ceritaku saat berangkat umroh. Tiap orang yang akan berangkat umroh atau haji pasti akan berpikir mau bawa pakaian apa, berapa banyak, dan model apa. Aku juga mengalaminya. Terlebih saat baca-baca prakiraan cuaca di sana. Jadi merasa harus well-prepared. Awalnya aku hanya ingin membawa baju yang sudah ada saja. Namun, karena ada ketentuan memakai seragam ini-itu dari travel, aku pun akhirnya membeli celana panjang putih dan ikat pinggang di Pasar Tanah Abang. Di sana harganya lebih murah daripada tempat lain, asalkan berani menawar harga.

Di pasar Tanah Abang, banyak toko yang menyediakan perlengkapan haji dan umroh. Mulai dari baju koko Pakistan, sandal, jilbab, pakaian ihram, ikat pinggang, celana dalam sekali pakai, dan lain-lain. Semuanya ada. Pedagang di sana tak kalah gencar membuat mata tergoda membeli perkakas umroh/ haji yang unik-unik. Namun, setelah aku pikir-pikir, sebenarnya orang yang tergiur untuk membeli perlengkapan khusus umroh atau haji hanyalah korban dari pemasaran produk umroh atau haji saja. Sebenarnya tak ada keharusan untuk beli sandal, ikat pinggang, baju koko putih khas Pakistan dan lain sebagainya. Anda jangan terjebak. Tanpa beli semua barang-barang di atas, ibadah Anda tetap sah. Kita masuk ke fase perbandingan antara “kebutuhan” vs “keinginan”. Siapa yang kuat? Terpulang kepada Anda.
Grosir Perlengkapan Haji

Aku hanya membeli satu celana panjang putih sebagai back up celana Taekwondo milikku. Ya, aku membawa celana karate itu untuk dipakai saat umroh. Bentuknya sama saja sebenarnya dengan yang dijual di toko pakaian haji dan umroh di Tanah Abang. Namun bedanya, tak ada saku celana. Aku tak memilih membeli ikat pinggang khas umroh atau haji. Aku beli ikat pinggang biasa, yang tak ada jahitannya. Jadi aman dari pantangan saat berpakaian ihram. Untuk sandal, aku bawa sandal jepit swallow buatan Indonesia. Rasanya cukup ok dipakai saat umroh.
Ga perlu sandal mewah saat umroh. Sandal jepit sudah cukup keren!

Untuk pakaian jelang berangkat umroh atau haji, tawaran membeli pakaian ini itu memang menggiurkan. Bisa-bisa, budget Anda sudah membengkak, tepat sebelum berangkat, untuk membeli perlengkapan yang tak terlalu dibutuhkan. Sekali lagi aku tekankan, bedakan antara kebutuhan dan keinginan! Di sini rayuan gombal syetan alas bin maruk untuk bikin kita jadi ribet dengan urusan pakaian, pernak-pernik, dan lain sebagainya. Tak sedikit juga, orang berangkat umroh atau haji malah memikirkan gengsi. “Gengsi dong hanya pakai sandal jelek ke tanah suci?” Hmmmmmm. Menurutku, “Makan aja tuh gengsi”. Kita tak butuh gengsi atau sejenisnya. Kalau sudah di tanah suci, boro-boro mikirin gaya pakaian, kita pasti disibukkan dengan konsentrasi ibadah.

Apa saja barang-barang yang harus dibawa saat umroh/ haji? Jaket, sandal, obat-obatan untuk penyakit khusus Anda, handuk kecil, peralatan mandi (sabun, odol, sikat gigi), baju untuk shalat beberapa helai saja, pakaian dalam, sabun cuci sachet (jika berniat mencuci di sana), pakaian ihram, ikat pinggang, tas kecil untuk passport (biasanya diberikan travel), dan lain sebagainya.

Jika Anda tipe punya rezeki yang cukup banyak, dan tidak ingin ribet dengan membeli oleh-oleh bagi kerabat atau tetangga saat kepulangan, bisa juga dipesan ke toko-toko di Tanang Abang untuk menyediakan oleh-oleh umroh/ haji. Harganya agak mahal. Tapi bisa cukup membantu untuk tidak memusingkan kepala. Namun, bagi Anda yang punya budget pas-pasan, jangan lupa, bawa sedikit barang saja, agar saat pulang, tas tidak kepenuhan. Menariknya, saat membandingkan harga baju gamis di Tanah Abang dengan di Mekkah dan Madinah, ternyata lebih murah di sana. Baju gamis dibandrol seharga 15 SAR (atau sekitar Rp 37.500). Murah bukan?
***

Cobaan Sebelum Umroh
Tepat dua minggu sebelum keberangkatan, aku membayar uang untuk umroh. Tentunya setelah dapat “gorengan” tak terduga dari kantorku, RCTI. Siang itu, tepat pukul 12.30, aku masih ingat, hari Rabu, 2 Maret 2011. Aku memilih menggunakan jasa travel agent untuk keberangkatan umroh perdana ini ini. Saat menyerahkan uang Rp 13.4 juta melalui bank, rasanya sudah sangat ikhlas. Kalau orang yang tak sedang menggebu-gebu umroh, mungkin akan berpikir sayang sekali mengeluarkan uang segitu banyak.

Bisa dipakai buat investasi, beli ini-itu. Namun kali ini aku punya keyakinan, bahwa uang segitu layak untuk umroh. Tepat setelah menyetorkan uang melalui bank, aku makan di restoran Padang sebagai perayaan kecil bagi diri sendiri bahwa aku sudah berhasil mewujudkan keinginan jangka pendekku, berangkat umroh. Siang itu terasa indah. Senang bukan kepalang. Seperti orang sedang jatuh cinta. Hanya beberapa bulan sebelumnya punya impian berangkat umroh, eh ternyata sekarang sudah terwujud. Cepat sekali. Rezekinya datang dengan mudah pula. Alhamdulillah.
Bayar umroh via bank

Namun, hidup ini terasa hambar jika keadaan baik-baik saja. Allah menciptakan segala sesuatu secara berimbang. Baik-buruk, senang-susah, lebih-kurang, kaya-miskin. Semua serba seimbang. Aku merasakan kuasa Allah yang maha adil. Hari itu adalah hari bersejarah bagiku karena baru saja membayar cash uang untuk umroh. Di tengah rasa senang, Allah mungkin punya caranya sendiri menegurku agar tetap down to earth.

Malam hari, sepulang dari kantor jam 21.00, aku agak heran. Setibanya di tempat parkir kos-ku, sepeda lipatku yang biasanya aku parkir di pojokan rumah ibu kos terlihat lenyap. Aku kaget. Kemana sepedaku? Sepeda lipat yang aku beli beberapa bulan lalu dengan hasil pengintaian harga paling kompetitif dari keseluruhan sepeda lipat selama berbulan-bulan? Sepeda biru merk Sprint yang begitu aku cintai, lenyap? Tidak mungkin? Aku kucek-kucek mataku lagi. Tetap saja, sepedaku tak ada di tempatnya. Padahal seingatku, selalu aku kunci ban-nya dengan rantai dan gembok. Aku semakin yakin, sepedaku dicuri orang. Entah oleh siapa.

Aku segera tanya ke ibu kos, apakah beliau melihat sepedaku. Akhirnya seluruh keluarganya ditanyai satu persatu. Dan tak ada yang melihat sepedaku. Terakhir dilihat ada yang mengatakan sehari sebelumnya, ada yang bilang melihat tadi pagi masih ada, dan seluruh penghuni kos dikumpulkan ibu kos. Ditanya satu persatu. Jadi panjanglah urusan. Semua jadi heboh, termasuk ibu-ibu pemilik warung di depan kos ikutan jadi bergosip tentang kehilangan sepedaku.

Karena sudah hilang, ya sudahlah, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kehilangan ini berlama-lama. Case closed! “Kita lapor saja ke polisi mas,“ kata ibu kos. “Tidak usah bu. Mungkin orang yang mengambil sepedaku sedang butuh uang. Sepedaku tidak hilang, hanya pindah tangan saja,” ujarku sambil menghapus sedih. “Ya sudah tidak apa-apa bu.” Akhirnya kerumunan orang malam itu bubar.

Allah mungkin sedang mencobaku dengan menghilangkan sepedaku. Apakah aku sabar, atau tidak. Apakah aku masih menginjak bumi, atau sudah terbang ke awang awang karena terlalu senang akan berangkat umroh? Anehnya, keputusan untuk tidak mencari tahu kapan, bagaimana dan siapa pelaku pengambil sepedaku, begitu cepat aku lalui. Bisanya, tidak begitu. Jika kehilangan, selalu terus kepikiran. Kali ini tidak. Di sini rasa ikhlas-ku diuji. Aku pikir aku cukup sukses menjalaninya. “Insya Allah akan diganti lagi dengan sepeda yang lebih baik suatu hari nanti,” begitu keyakinanku tumbuh. 

Mungkin karena sudah terlalu senang seharian terkait akan berangkat umroh, aku tak terlalu merasa kesedihan kehilangan sepeda tersayangku itu. Malam itu aku berkaca di depan cermin dan menertawakan diriku dan sepedaku yang hilang. Ya sudahlah. Aku jadi teringat cobaan nabi Ibrahim. Saat ia tak diberi anak selama ratusan tahun. Ia tetap sabar. Saat diperitahkan menyembelih anaknya yang telah dinanti ratusan tahun, ia ikhlas. Kalau dbandingkan dengan kehilangan sepeda kesayangan, belum seberapa parah. Aku legowo. Ternyata, buku Ali Syariati tentang makna haji sangat bermanfaat.

Tak cukup sampai di situ. Cobaan lain datang lagi. Beberapa hari berikutnya, ada saudara jauhku meminjam uang Rp 5 juta untuk bekal usahanya. Ia sedang terjepit. Mau pinjam ke Bank, ia tak sepaham dengan konsep bunga bank. Aku cukup mahfum akan hal itu. Belakangan ini ia rajin menimba ilmu agama dari seorang guru beraliran salafi, sehingga bisa dikatakan anti bank konvensional. Sementara itu “gorengan” dari kantorku masih tersisa, meski baru saja membayar biaya umroh. Aku dihadapkanp pada pilihan, apakah akan meminjamkannya, atau tidak.

Bagaimana dengan uang jaga-jagaku nanti di tanah suci? Apakah aku tak bawa uang saku ke sana? Apakah aku tak ada simpanan untuk jajan di sana? Lagi-lagi aku diuji. Keikhlasanku kembali diuji. Aku sudah bertekad untuk ibadah di sana, bukan belanja. Aku berpikir sebentar dan langsung memutuskan, tak ada salahnya aku pinjamkan uang Rp 5 juta itu. Bismillah, semoga bermanfaat buat saudaraku itu, dan aku dapat pahala menolong orang yang sedang terjepit. Lagi-lagi, tak ada kata ragu, ikhlas saja melepas uang Rp 5 juta itu ke tangan saudaraku. Tidak ada beban pikiran apakah nanti dibayar atau tidak dan kapan dibayar. Aku seolah tak peduli itu semua. Niatnya hanya menolong saja. Titik.

Hari keberangkatan umroh mendekat. Aku persiapkan diriku dengan matang. Aku pelajari semua ilmu tentang umroh dari internet dan buku. Tak jarang aku intip semua keyword tentang umroh dari Youtube.com. Mulai dari bagaimana cara pasang pakaian ihram yang benar, sampai bagaimana suasana saat tawaf. Semua ada di Youtube. Jika ingin membaca artikel, aku searching di google. Anda yang akan berangkat umroh atau haji, saya sarankan juga melakukan ini. Perkuat ilmu umroh atau haji sebelum berangkat agar mampu menjalani ibadah suci itu dengan benar dan sesuai aturan. Sayang kan kalau sudah bayar mahal, namun ibadahnya tak sah karena cacat syarat dan rukun.

Apakah cobaan sudah selesai? Ternyata belum. Ada lagi yang baru. Kali ini Travel-ku berulah. Mereka mulai menunjukkan gejala pengelolaan tak professional. Imbasnya, aku tak jadi ikut manasik umroh. Aku sudah katakan jadwalku kerja di hari Sabtu, jadi tak bisa ikut manasik di hari itu. Kalaupun bisa, hanya bisa setelah jam 15.00. Aku komunikasikan dengan pihak travel, mereka jawab “ok”, akan mereka undur menunggu aku. Tapi ternyata ketika aku datang ke manasiknya, di sebuah restoran di Jakarta Barat, acara sudah selesai. Aku kecele. Aku merasa ditipu. Aku cek ke pihak restoran, ternyata acara sudah bubar. Aku telpon ke travel, mereka mengaku masih di sana. Aku kesal sekali. Tidak perlu berbohong dan menyenangkan hatiku, jika kenyataannya sudah tidak ada acara di sana. Aku marah sekali.

Tapi aku ingat, tak ada gunanya marah-marah. Aku katakan ke pihak travel, sudah tidak ada orang di restoran. Aku tak ikut manasik umroh. Memang aku tak khawatir karena sudah mendalami ilmu-ilmu tentang umroh dari buku dan internet. Tapi tetap saja, aku tak puas karena tak bisa nambah kenalan dengan jemaah lain. Aku tak bisa mendapat sharing pengalaman dari jemaah lain yang konon sudah sering umroh. Sudahlah. Tak perlu dipermasalahkan lagi. Aku ikhlaskan saja “dikerjai” oleh travel tak professional itu. Pelajaran penting dari sini adalah, sebagai jemaah Anda harus bersatu padu. Saling kenal, saling tukar nomor telpon, dan update informasi. Jika travel tidak professional, gerakan berjamaah lebih membuat gentar travel yang tak professional daripada gerak sendiri-sendiri. Ini pengalmaanku.

Ternyata tak hanya itu ketidakprofesionalan yang ditunjukkan oleh Travel Cahaya Gelap (Bukan nama travel yang sebenarnya). Semula aku dan rombongan yang jumlahnya 25 orang akan diberangkatkan dengan maskapai ternama, tgl 15 Maret 2011. Mendekati hari H, tepatnya sehari sebelum keberangkatan, aku terpaksa menelpon pihak travel, apakah jadi berangkat atau tidak. Masalahnya, mereka tidak memberikan kepastian keberangkatan. Siang hari, mereka masih bilang ok. Namun, sore hari langsung berubah. Rombongan umroh kami tak jadi berangkat.

Kendalanya, visa umroh belum keluar, ada masalah di Kedubes Arab. Visanya baru keluar jam 22.00 malam, tgl 15 Maret 2011. Sementara kami harus terbang jam 17.00 sore di tanggal yang sama. Walhasil, keberangkatan ditunda. Tiket pesawat yang sudah ada terpaksa dibatalkan. Entahlah pihak travel berhasil nego atau tidak ke maskapai, apakah mereka terkena cancellation fee atau tiketnya hangus, aku tak tahu. Tapi, dengan tidak menghubungi jemaah umroh secepatnya, tentu itu adalah tindakan keliru.

Kami jemaah sudah berharap banyak dan yakin berangkat. Semua jemaah yang bekerja kantoran, sudah mendaftarkan cuti pada perusahaan masing-masing. Jika diubah, tentu perlu waktu dan membuat pelik masalahnya. Terlebih jika ada yang cutinya didaftarkan via online, sepertiku. Aku sendiri karena tak ada kata pasti dari travel, maka aku tidak daftarkan cutiku secara online. Atasanku kerap bertanya, kapan sebenarnya aku berangkat. Tapi aku juga tak bisa kasih jawaban pasti karena travelnya sangat tidak professional. Ia menggantung nasibku dan jemaah lainnya. Sungguh tidak nyaman berada di dalam ketidakpastian. Aku sinyalir, travel ini terlalu mepet memasukkan daftar untuk visa umroh ke kedutaan. Jadi ketika ada delay, ya resikonya sangat besar.

Akhirnya keberangkatan kami diundur. Sehari, tiga hari, seminggu, pun berlalu. Tidak ada perkembangan yang positif. Aku kerap bertanya, tapi pihak travel selalu ngeles dan menjawab dalam keadaan tak jelas. Bagiku, kepastian berangkat adalah penting agar bisa mengajukan cuti jauh-jauh hari. Sehingga pekerjaanku bisa dibackup oleh teman kantor. Tapi kepastian adalah barang mahal bagi Travel Cahaya Gelap. Mereka tak menghubungiku. Aku selalu tahu paling terakhir di semua informasi yang ada. Ya Allah apes banget nasibku. Sudahlah ditinggal tak ikut manasik, info selalu dapat terakhir. Padahal ini keberangkatan umrohku yang pertama. Mengapa begitu sulit berangkat ke sana? Aku coba berpikir positif. Meski kerap juga dihinggapi rasa tak percaya pada travel. Apakah aku ditipu? Aku mulai was was. Aku beberapa kali datang ke kantor travel tersebut, memastikan bahwa benar ada masalah yang tak bisa dipecahkan, dan memastikan juga mereka beritikad baik memberi solusi. Aku tak marah saat datang ke sana. Ketika aku telpon karyawan travel itu, ia mengaku tertekan dengan jemaah lain yang marah-marah. Ia juga ketakutan ketika aku hubungi.

“Pak, rasanya saya malu sekali dan sudah tidak punya muka di hadapan jemaah. Saya pengen resign pak. Malu saya atas masalah ini,” ujarnya lirih. Aku kasihan padanya. Aku paham apa yang ia rasakan. Aku tak marah. Aku hanya kecewa saja. Aku minta mereka lebih professional dalam mengkomunikasikan informasi padaku. Jika memang tak berangkat, bilang saja. Asalkan informasinya pasti. Pasti berangkat atau tidak. Ini informasi digantung. Aku berdoa, semoga aku bukan sedang ditipu. Kalau ditipu, tentu aku akan sangat kecewa. Uang dalam jumlah besar, hilang hanya karena tak profesionalnya travel itu. Pikiran negatif kadang mampir. Tapi aku yakinkan kembali diriku bahwa mungkin ini cara Allah membuatku agar lebih siap lagi mempelajari semua ilmu tentang umroh dan haji. Ia menunda keberangkatanku agar aku benar-benar paham betul makna di balik umroh. Aku kembali teringat pada buku Ali Syariati tentang makna haji. Mungkin ini cobaan kesabaran layaknya Nabi Ibrahim dicoba tak punya anak selama ratusan tahun. Nah, keberangkatanku hanya tertunda, bukan tidak jadi. Ya sabar sajalah. Begitu pikirku dalam hati.

Banyak hal yang terjadi selama masa tunggu sebelum berangkat. Salah satunya yang paling mengganggu, pihak travel meminta uang ekstra untuk mengganti tiket yang katanya hangus. Masing-masing jemaah dimintai USD 200. Jumlah yang lumayan besar. Aku sendiri sudah membayar USD 1450. Saat itu kursnya Rupiahnya adalah Rp 8850. Aku bayar biaya umroh sekitar 12.832.500 plus tax dan handling bandara sekitar Rp 600.000. Jadi totalnya Rp 13.432.500. Nah, sekarang pihak travel mau minta USD 200 lagi? Yang benar saja. Aku sempat uring-uringan. Niatnya mau cari murah, kok malah begini? Jadi lebih mahal. Merasa seperti “dipalak” oleh travel. Kesalahan kan ada di mereka? Mengapa jemaah yang dimintai uang?

Aku tak kehabisan akal. Aku coba lobi pihak travel. Tak mudah melobi. Aku sempat marah karena informasi seperti ini selalu datang terakhir padaku. Antara karyawan yang satu dengan lainnya tak pernah ada yang singkron penjelasannya. Akhirnya aku beranikan diri minta nomor tlp pemilik travel. Namanya Pak Alwi. Aku sms ke beliau. Aku jelaskan bahwa ini umroh pertamaku. Aku ingin ini sukses, dan budgetku terbatas pada angka USD 1450. Akhirnya sejak sms itu aku kirim, aku tak pernah dimintai uang lagi. Alhamdulillah. Berarti aku aman. Tapi ternyata jemaah lain dimintai uang USD 200. Ada juga yang berhasil nego dan turun jadi USD 75. Cerita ini terkuak belakangan, tatkala aku bercakap-cakap dengan jemaah lain ketika sudah berada di tanah suci.
Jemaah travelku dimintai uang tambahan 2 lembar 100 USD. Aku ngotot tak mau. Harus tegas terhadap travel unprofesional.

Bagaimana kisah bisa berangkat umroh setelah penantian lama di tengah ketidakpastian? Bagaimana rasanya naik pesawat Royal Brunei yang semula aku remehkan? Apa saja cerita menarik saat pertama kali menginjakkan kaki di Jeddah? Apa kesanku ketika melihat Arab Saudi dalam selayang pandang? Nantikan di cerita selanjutnya……Umroh Dari Warung Padang Part 4…

Sumber:  http://umarat.wordpress.com/2011/10/12/umroh-dari-warung-padang-part-3-godaan-cobaan/