Umroh Dari Warung Padang Part 3 (Godaan & Cobaan)
Semua niat baik, pasti dimudahkan
oleh Allah jalannya. Namun, tak jarang ada juga tantangan untuk menguji
seberapa besar kesungguhan kita menjalankan niat baik kita itu. Selalu
ada kerikil, kecil maupun besar. Ada saja godaan dan cobaan jelang niat
baik itu terlaksana. Untuk kasus berangkat umrohku, juga ada godaan dan
cobaan.
Godaan Sebelum Umroh
Mari bahas satu per satu. Pertama adalah
godaan untuk belanja perkakas umroh/ haji. Ini termasuk godaan. Godaan
antara memborong banyak barang khas umroh/ haji, atau hanya membeli
sesuai kebutuhan saja.
Kita bicara tentang konsep basic dari
ekonomi, yaitu “Kebutuhan” vs “Keinginan”. “Kebutuhan” adalah sesuatu
yang harus dimiliki. Sesuatu yang tak bisa hidup tanpanya. Harus ada.
Misalnya makanan. Orang butuh makan untuk survive dalam hidup. Sedangkan
“Keinginan” adalah sesuatu yang tidak harus selalu ada, namun jika ada
ya akan sangat bagus dan menyenangkan. Misalnya “keinginan” untuk
mendengarkan musik. Memang ini bisa debateable. Ada yang bilang musik
adalah “kebutuhan”. Tapi, jika tanpa musik, manusia tetap masih bisa
hidup.
Begitu juga
dengan ceritaku saat berangkat umroh. Tiap orang yang akan berangkat
umroh atau haji pasti akan berpikir mau bawa pakaian apa, berapa banyak,
dan model apa. Aku juga mengalaminya. Terlebih saat baca-baca prakiraan
cuaca di sana. Jadi merasa harus well-prepared. Awalnya aku
hanya ingin membawa baju yang sudah ada saja. Namun, karena ada
ketentuan memakai seragam ini-itu dari travel, aku pun akhirnya membeli
celana panjang putih dan ikat pinggang di Pasar Tanah Abang. Di sana
harganya lebih murah daripada tempat lain, asalkan berani menawar harga.
Di pasar Tanah Abang, banyak toko yang
menyediakan perlengkapan haji dan umroh. Mulai dari baju koko Pakistan,
sandal, jilbab, pakaian ihram, ikat pinggang, celana dalam sekali pakai,
dan lain-lain. Semuanya ada. Pedagang di sana tak kalah gencar membuat
mata tergoda membeli perkakas umroh/ haji yang unik-unik. Namun, setelah
aku pikir-pikir, sebenarnya orang yang tergiur untuk membeli
perlengkapan khusus umroh atau haji hanyalah korban dari pemasaran
produk umroh atau haji saja. Sebenarnya tak ada keharusan untuk beli
sandal, ikat pinggang, baju koko putih khas Pakistan dan lain
sebagainya. Anda jangan terjebak. Tanpa beli semua barang-barang di
atas, ibadah Anda tetap sah. Kita masuk ke fase perbandingan antara
“kebutuhan” vs “keinginan”. Siapa yang kuat? Terpulang kepada Anda.
Aku hanya membeli satu celana panjang putih sebagai back up
celana Taekwondo milikku. Ya, aku membawa celana karate itu untuk
dipakai saat umroh. Bentuknya sama saja sebenarnya dengan yang dijual di
toko pakaian haji dan umroh di Tanah Abang. Namun bedanya, tak ada saku
celana. Aku tak memilih membeli ikat pinggang khas umroh atau haji. Aku
beli ikat pinggang biasa, yang tak ada jahitannya. Jadi aman dari
pantangan saat berpakaian ihram. Untuk sandal, aku bawa sandal jepit
swallow buatan Indonesia. Rasanya cukup ok dipakai saat umroh.
Untuk pakaian jelang berangkat umroh atau haji, tawaran membeli pakaian ini itu memang menggiurkan. Bisa-bisa, budget
Anda sudah membengkak, tepat sebelum berangkat, untuk membeli
perlengkapan yang tak terlalu dibutuhkan. Sekali lagi aku tekankan,
bedakan antara kebutuhan dan keinginan! Di sini rayuan gombal syetan
alas bin maruk untuk bikin kita jadi ribet dengan urusan pakaian,
pernak-pernik, dan lain sebagainya. Tak sedikit juga, orang berangkat
umroh atau haji malah memikirkan gengsi. “Gengsi dong hanya pakai sandal
jelek ke tanah suci?” Hmmmmmm. Menurutku, “Makan aja tuh gengsi”. Kita
tak butuh gengsi atau sejenisnya. Kalau sudah di tanah suci, boro-boro
mikirin gaya pakaian, kita pasti disibukkan dengan konsentrasi ibadah.
Apa saja barang-barang yang harus dibawa
saat umroh/ haji? Jaket, sandal, obat-obatan untuk penyakit khusus Anda,
handuk kecil, peralatan mandi (sabun, odol, sikat gigi), baju untuk
shalat beberapa helai saja, pakaian dalam, sabun cuci sachet (jika
berniat mencuci di sana), pakaian ihram, ikat pinggang, tas kecil untuk
passport (biasanya diberikan travel), dan lain sebagainya.
Jika Anda tipe punya rezeki yang cukup
banyak, dan tidak ingin ribet dengan membeli oleh-oleh bagi kerabat atau
tetangga saat kepulangan, bisa juga dipesan ke toko-toko di Tanang
Abang untuk menyediakan oleh-oleh umroh/ haji. Harganya agak mahal. Tapi
bisa cukup membantu untuk tidak memusingkan kepala. Namun, bagi Anda
yang punya budget pas-pasan, jangan lupa, bawa sedikit barang saja, agar
saat pulang, tas tidak kepenuhan. Menariknya, saat membandingkan harga
baju gamis di Tanah Abang dengan di Mekkah dan Madinah, ternyata lebih
murah di sana. Baju gamis dibandrol seharga 15 SAR (atau sekitar Rp
37.500). Murah bukan?
***
Cobaan Sebelum Umroh
Tepat dua minggu sebelum keberangkatan,
aku membayar uang untuk umroh. Tentunya setelah dapat “gorengan” tak
terduga dari kantorku, RCTI. Siang itu, tepat pukul 12.30, aku masih
ingat, hari Rabu, 2 Maret 2011. Aku memilih menggunakan jasa travel agent
untuk keberangkatan umroh perdana ini ini. Saat menyerahkan uang Rp
13.4 juta melalui bank, rasanya sudah sangat ikhlas. Kalau orang yang
tak sedang menggebu-gebu umroh, mungkin akan berpikir sayang sekali
mengeluarkan uang segitu banyak.
Bisa dipakai buat investasi, beli
ini-itu. Namun kali ini aku punya keyakinan, bahwa uang segitu layak
untuk umroh. Tepat setelah menyetorkan uang melalui bank, aku makan di
restoran Padang sebagai perayaan kecil bagi diri sendiri bahwa aku sudah
berhasil mewujudkan keinginan jangka pendekku, berangkat umroh. Siang
itu terasa indah. Senang bukan kepalang. Seperti orang sedang jatuh
cinta. Hanya beberapa bulan sebelumnya punya impian berangkat umroh, eh
ternyata sekarang sudah terwujud. Cepat sekali. Rezekinya datang dengan
mudah pula. Alhamdulillah.
Namun, hidup ini terasa hambar jika
keadaan baik-baik saja. Allah menciptakan segala sesuatu secara
berimbang. Baik-buruk, senang-susah, lebih-kurang, kaya-miskin. Semua
serba seimbang. Aku merasakan kuasa Allah yang maha adil. Hari itu
adalah hari bersejarah bagiku karena baru saja membayar cash uang untuk umroh. Di tengah rasa senang, Allah mungkin punya caranya sendiri menegurku agar tetap down to earth.
Malam hari, sepulang dari kantor jam
21.00, aku agak heran. Setibanya di tempat parkir kos-ku, sepeda lipatku
yang biasanya aku parkir di pojokan rumah ibu kos terlihat lenyap. Aku
kaget. Kemana sepedaku? Sepeda lipat yang aku beli beberapa bulan lalu
dengan hasil pengintaian harga paling kompetitif dari keseluruhan sepeda
lipat selama berbulan-bulan? Sepeda biru merk Sprint yang
begitu aku cintai, lenyap? Tidak mungkin? Aku kucek-kucek mataku lagi.
Tetap saja, sepedaku tak ada di tempatnya. Padahal seingatku, selalu aku
kunci ban-nya dengan rantai dan gembok. Aku semakin yakin, sepedaku
dicuri orang. Entah oleh siapa.
Aku segera tanya ke ibu kos, apakah
beliau melihat sepedaku. Akhirnya seluruh keluarganya ditanyai satu
persatu. Dan tak ada yang melihat sepedaku. Terakhir dilihat ada yang
mengatakan sehari sebelumnya, ada yang bilang melihat tadi pagi masih
ada, dan seluruh penghuni kos dikumpulkan ibu kos. Ditanya satu persatu.
Jadi panjanglah urusan. Semua jadi heboh, termasuk ibu-ibu pemilik
warung di depan kos ikutan jadi bergosip tentang kehilangan sepedaku.
Karena sudah hilang, ya sudahlah, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kehilangan ini berlama-lama. Case closed!
“Kita lapor saja ke polisi mas,“ kata ibu kos. “Tidak usah bu. Mungkin
orang yang mengambil sepedaku sedang butuh uang. Sepedaku tidak hilang,
hanya pindah tangan saja,” ujarku sambil menghapus sedih. “Ya sudah
tidak apa-apa bu.” Akhirnya kerumunan orang malam itu bubar.
Allah mungkin sedang mencobaku dengan
menghilangkan sepedaku. Apakah aku sabar, atau tidak. Apakah aku masih
menginjak bumi, atau sudah terbang ke awang awang karena terlalu senang
akan berangkat umroh? Anehnya, keputusan untuk tidak mencari tahu kapan,
bagaimana dan siapa pelaku pengambil sepedaku, begitu cepat aku lalui.
Bisanya, tidak begitu. Jika kehilangan, selalu terus kepikiran. Kali ini
tidak. Di sini rasa ikhlas-ku diuji. Aku pikir aku cukup sukses
menjalaninya. “Insya Allah akan diganti lagi dengan sepeda yang lebih
baik suatu hari nanti,” begitu keyakinanku tumbuh.
Mungkin karena sudah
terlalu senang seharian terkait akan berangkat umroh, aku tak terlalu
merasa kesedihan kehilangan sepeda tersayangku itu. Malam itu aku
berkaca di depan cermin dan menertawakan diriku dan sepedaku yang
hilang. Ya sudahlah. Aku jadi teringat cobaan nabi Ibrahim. Saat ia tak
diberi anak selama ratusan tahun. Ia tetap sabar. Saat diperitahkan
menyembelih anaknya yang telah dinanti ratusan tahun, ia ikhlas. Kalau
dbandingkan dengan kehilangan sepeda kesayangan, belum seberapa parah.
Aku legowo. Ternyata, buku Ali Syariati tentang makna haji sangat bermanfaat.
Tak cukup sampai di situ. Cobaan lain
datang lagi. Beberapa hari berikutnya, ada saudara jauhku meminjam uang
Rp 5 juta untuk bekal usahanya. Ia sedang terjepit. Mau pinjam ke Bank,
ia tak sepaham dengan konsep bunga bank. Aku cukup mahfum akan hal itu.
Belakangan ini ia rajin menimba ilmu agama dari seorang guru beraliran
salafi, sehingga bisa dikatakan anti bank konvensional. Sementara itu
“gorengan” dari kantorku masih tersisa, meski baru saja membayar biaya
umroh. Aku dihadapkanp pada pilihan, apakah akan meminjamkannya, atau
tidak.
Bagaimana dengan uang jaga-jagaku nanti
di tanah suci? Apakah aku tak bawa uang saku ke sana? Apakah aku tak ada
simpanan untuk jajan di sana? Lagi-lagi aku diuji. Keikhlasanku kembali
diuji. Aku sudah bertekad untuk ibadah di sana, bukan belanja. Aku
berpikir sebentar dan langsung memutuskan, tak ada salahnya aku
pinjamkan uang Rp 5 juta itu. Bismillah, semoga bermanfaat buat
saudaraku itu, dan aku dapat pahala menolong orang yang sedang terjepit.
Lagi-lagi, tak ada kata ragu, ikhlas saja melepas uang Rp 5 juta itu ke
tangan saudaraku. Tidak ada beban pikiran apakah nanti dibayar atau
tidak dan kapan dibayar. Aku seolah tak peduli itu semua. Niatnya hanya
menolong saja. Titik.
Hari keberangkatan umroh mendekat. Aku
persiapkan diriku dengan matang. Aku pelajari semua ilmu tentang umroh
dari internet dan buku. Tak jarang aku intip semua keyword tentang umroh
dari Youtube.com. Mulai dari bagaimana cara pasang pakaian ihram yang
benar, sampai bagaimana suasana saat tawaf. Semua ada di Youtube. Jika
ingin membaca artikel, aku searching di google. Anda yang akan
berangkat umroh atau haji, saya sarankan juga melakukan ini. Perkuat
ilmu umroh atau haji sebelum berangkat agar mampu menjalani ibadah suci
itu dengan benar dan sesuai aturan. Sayang kan kalau sudah bayar mahal,
namun ibadahnya tak sah karena cacat syarat dan rukun.
Apakah cobaan sudah selesai? Ternyata
belum. Ada lagi yang baru. Kali ini Travel-ku berulah. Mereka mulai
menunjukkan gejala pengelolaan tak professional. Imbasnya, aku tak jadi
ikut manasik umroh. Aku sudah katakan jadwalku kerja di hari Sabtu, jadi
tak bisa ikut manasik di hari itu. Kalaupun bisa, hanya bisa setelah
jam 15.00. Aku komunikasikan dengan pihak travel, mereka jawab “ok”,
akan mereka undur menunggu aku. Tapi ternyata ketika aku datang ke
manasiknya, di sebuah restoran di Jakarta Barat, acara sudah selesai.
Aku kecele. Aku merasa ditipu. Aku cek ke pihak restoran, ternyata acara
sudah bubar. Aku telpon ke travel, mereka mengaku masih di sana. Aku
kesal sekali. Tidak perlu berbohong dan menyenangkan hatiku, jika
kenyataannya sudah tidak ada acara di sana. Aku marah sekali.
Tapi aku ingat, tak ada gunanya
marah-marah. Aku katakan ke pihak travel, sudah tidak ada orang di
restoran. Aku tak ikut manasik umroh. Memang aku tak khawatir karena
sudah mendalami ilmu-ilmu tentang umroh dari buku dan internet. Tapi
tetap saja, aku tak puas karena tak bisa nambah kenalan dengan jemaah
lain. Aku tak bisa mendapat sharing pengalaman dari jemaah lain yang
konon sudah sering umroh. Sudahlah. Tak perlu dipermasalahkan lagi. Aku
ikhlaskan saja “dikerjai” oleh travel tak professional itu. Pelajaran
penting dari sini adalah, sebagai jemaah Anda harus bersatu padu. Saling
kenal, saling tukar nomor telpon, dan update informasi. Jika travel
tidak professional, gerakan berjamaah lebih membuat gentar travel yang
tak professional daripada gerak sendiri-sendiri. Ini pengalmaanku.
Ternyata tak hanya itu
ketidakprofesionalan yang ditunjukkan oleh Travel Cahaya Gelap (Bukan
nama travel yang sebenarnya). Semula aku dan rombongan yang jumlahnya 25
orang akan diberangkatkan dengan maskapai ternama, tgl 15 Maret 2011.
Mendekati hari H, tepatnya sehari sebelum keberangkatan, aku terpaksa
menelpon pihak travel, apakah jadi berangkat atau tidak. Masalahnya,
mereka tidak memberikan kepastian keberangkatan. Siang hari, mereka
masih bilang ok. Namun, sore hari langsung berubah. Rombongan umroh kami
tak jadi berangkat.
Kendalanya, visa umroh belum keluar, ada
masalah di Kedubes Arab. Visanya baru keluar jam 22.00 malam, tgl 15
Maret 2011. Sementara kami harus terbang jam 17.00 sore di tanggal yang
sama. Walhasil, keberangkatan ditunda. Tiket pesawat yang sudah ada
terpaksa dibatalkan. Entahlah pihak travel berhasil nego atau tidak ke
maskapai, apakah mereka terkena cancellation fee atau tiketnya hangus, aku tak tahu. Tapi, dengan tidak menghubungi jemaah umroh secepatnya, tentu itu adalah tindakan keliru.
Kami jemaah sudah berharap banyak dan
yakin berangkat. Semua jemaah yang bekerja kantoran, sudah mendaftarkan
cuti pada perusahaan masing-masing. Jika diubah, tentu perlu waktu dan
membuat pelik masalahnya. Terlebih jika ada yang cutinya didaftarkan via
online, sepertiku. Aku sendiri karena tak ada kata pasti dari travel,
maka aku tidak daftarkan cutiku secara online. Atasanku kerap bertanya,
kapan sebenarnya aku berangkat. Tapi aku juga tak bisa kasih jawaban
pasti karena travelnya sangat tidak professional. Ia menggantung nasibku
dan jemaah lainnya. Sungguh tidak nyaman berada di dalam
ketidakpastian. Aku sinyalir, travel ini terlalu mepet memasukkan daftar
untuk visa umroh ke kedutaan. Jadi ketika ada delay, ya resikonya
sangat besar.
Akhirnya keberangkatan kami diundur.
Sehari, tiga hari, seminggu, pun berlalu. Tidak ada perkembangan yang
positif. Aku kerap bertanya, tapi pihak travel selalu ngeles
dan menjawab dalam keadaan tak jelas. Bagiku, kepastian berangkat adalah
penting agar bisa mengajukan cuti jauh-jauh hari. Sehingga pekerjaanku
bisa dibackup oleh teman kantor. Tapi kepastian adalah barang
mahal bagi Travel Cahaya Gelap. Mereka tak menghubungiku. Aku selalu
tahu paling terakhir di semua informasi yang ada. Ya Allah apes
banget nasibku. Sudahlah ditinggal tak ikut manasik, info selalu dapat
terakhir. Padahal ini keberangkatan umrohku yang pertama. Mengapa begitu
sulit berangkat ke sana? Aku coba berpikir positif. Meski kerap juga
dihinggapi rasa tak percaya pada travel. Apakah aku ditipu? Aku mulai
was was. Aku beberapa kali datang ke kantor travel tersebut, memastikan
bahwa benar ada masalah yang tak bisa dipecahkan, dan memastikan juga
mereka beritikad baik memberi solusi. Aku tak marah saat datang ke sana.
Ketika aku telpon karyawan travel itu, ia mengaku tertekan dengan
jemaah lain yang marah-marah. Ia juga ketakutan ketika aku hubungi.
“Pak, rasanya saya malu sekali dan sudah tidak punya muka di hadapan jemaah. Saya pengen resign
pak. Malu saya atas masalah ini,” ujarnya lirih. Aku kasihan padanya.
Aku paham apa yang ia rasakan. Aku tak marah. Aku hanya kecewa saja. Aku
minta mereka lebih professional dalam mengkomunikasikan informasi
padaku. Jika memang tak berangkat, bilang saja. Asalkan informasinya
pasti. Pasti berangkat atau tidak. Ini informasi digantung. Aku berdoa,
semoga aku bukan sedang ditipu. Kalau ditipu, tentu aku akan sangat
kecewa. Uang dalam jumlah besar, hilang hanya karena tak profesionalnya
travel itu. Pikiran negatif kadang mampir. Tapi aku yakinkan kembali
diriku bahwa mungkin ini cara Allah membuatku agar lebih siap lagi
mempelajari semua ilmu tentang umroh dan haji. Ia menunda
keberangkatanku agar aku benar-benar paham betul makna di balik umroh.
Aku kembali teringat pada buku Ali Syariati tentang makna haji. Mungkin
ini cobaan kesabaran layaknya Nabi Ibrahim dicoba tak punya anak selama
ratusan tahun. Nah, keberangkatanku hanya tertunda, bukan tidak jadi. Ya
sabar sajalah. Begitu pikirku dalam hati.
Banyak hal yang terjadi selama masa
tunggu sebelum berangkat. Salah satunya yang paling mengganggu, pihak
travel meminta uang ekstra untuk mengganti tiket yang katanya hangus.
Masing-masing jemaah dimintai USD 200. Jumlah yang lumayan besar. Aku
sendiri sudah membayar USD 1450. Saat itu kursnya Rupiahnya adalah Rp
8850. Aku bayar biaya umroh sekitar 12.832.500 plus tax dan handling
bandara sekitar Rp 600.000. Jadi totalnya Rp 13.432.500. Nah, sekarang
pihak travel mau minta USD 200 lagi? Yang benar saja. Aku sempat
uring-uringan. Niatnya mau cari murah, kok malah begini? Jadi lebih
mahal. Merasa seperti “dipalak” oleh travel. Kesalahan kan ada di
mereka? Mengapa jemaah yang dimintai uang?
Aku tak kehabisan akal. Aku coba lobi
pihak travel. Tak mudah melobi. Aku sempat marah karena informasi
seperti ini selalu datang terakhir padaku. Antara karyawan yang satu
dengan lainnya tak pernah ada yang singkron penjelasannya. Akhirnya aku
beranikan diri minta nomor tlp pemilik travel. Namanya Pak Alwi. Aku sms
ke beliau. Aku jelaskan bahwa ini umroh pertamaku. Aku ingin ini
sukses, dan budgetku terbatas pada angka USD 1450. Akhirnya
sejak sms itu aku kirim, aku tak pernah dimintai uang lagi.
Alhamdulillah. Berarti aku aman. Tapi ternyata jemaah lain dimintai uang
USD 200. Ada juga yang berhasil nego dan turun jadi USD 75. Cerita ini
terkuak belakangan, tatkala aku bercakap-cakap dengan jemaah lain ketika
sudah berada di tanah suci.
Bagaimana kisah bisa berangkat umroh
setelah penantian lama di tengah ketidakpastian? Bagaimana rasanya naik
pesawat Royal Brunei yang semula aku remehkan? Apa saja cerita menarik
saat pertama kali menginjakkan kaki di Jeddah? Apa kesanku ketika
melihat Arab Saudi dalam selayang pandang? Nantikan di cerita
selanjutnya……Umroh Dari Warung Padang Part 4…
Sumber: http://umarat.wordpress.com/2011/10/12/umroh-dari-warung-padang-part-3-godaan-cobaan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar