Senin, 27 Mei 2013

Kisah Umroh - Umarat's Part 3

Umroh Dari Warung Padang Part 3 (Godaan & Cobaan)

Semua niat baik, pasti dimudahkan oleh Allah jalannya. Namun, tak jarang ada juga tantangan untuk menguji seberapa besar kesungguhan kita menjalankan niat baik kita itu. Selalu ada kerikil, kecil maupun besar. Ada saja godaan dan cobaan jelang niat baik itu terlaksana. Untuk kasus berangkat umrohku, juga ada godaan dan cobaan.

Godaan Sebelum Umroh

Mari bahas satu per satu. Pertama adalah godaan untuk belanja perkakas umroh/ haji. Ini termasuk godaan. Godaan antara memborong banyak barang khas umroh/ haji, atau hanya membeli sesuai kebutuhan saja.

Kita bicara tentang konsep basic dari ekonomi, yaitu “Kebutuhan” vs “Keinginan”. “Kebutuhan” adalah sesuatu yang harus dimiliki. Sesuatu yang tak bisa hidup tanpanya. Harus ada. Misalnya makanan. Orang butuh makan untuk survive dalam hidup. Sedangkan “Keinginan” adalah sesuatu yang tidak harus selalu ada, namun jika ada ya akan sangat bagus dan menyenangkan. Misalnya “keinginan” untuk mendengarkan musik. Memang ini bisa debateable. Ada yang bilang musik adalah “kebutuhan”. Tapi, jika tanpa musik, manusia tetap masih bisa hidup.
Need vs Want, pilih memuaskan yang mana?

Begitu juga dengan ceritaku saat berangkat umroh. Tiap orang yang akan berangkat umroh atau haji pasti akan berpikir mau bawa pakaian apa, berapa banyak, dan model apa. Aku juga mengalaminya. Terlebih saat baca-baca prakiraan cuaca di sana. Jadi merasa harus well-prepared. Awalnya aku hanya ingin membawa baju yang sudah ada saja. Namun, karena ada ketentuan memakai seragam ini-itu dari travel, aku pun akhirnya membeli celana panjang putih dan ikat pinggang di Pasar Tanah Abang. Di sana harganya lebih murah daripada tempat lain, asalkan berani menawar harga.

Di pasar Tanah Abang, banyak toko yang menyediakan perlengkapan haji dan umroh. Mulai dari baju koko Pakistan, sandal, jilbab, pakaian ihram, ikat pinggang, celana dalam sekali pakai, dan lain-lain. Semuanya ada. Pedagang di sana tak kalah gencar membuat mata tergoda membeli perkakas umroh/ haji yang unik-unik. Namun, setelah aku pikir-pikir, sebenarnya orang yang tergiur untuk membeli perlengkapan khusus umroh atau haji hanyalah korban dari pemasaran produk umroh atau haji saja. Sebenarnya tak ada keharusan untuk beli sandal, ikat pinggang, baju koko putih khas Pakistan dan lain sebagainya. Anda jangan terjebak. Tanpa beli semua barang-barang di atas, ibadah Anda tetap sah. Kita masuk ke fase perbandingan antara “kebutuhan” vs “keinginan”. Siapa yang kuat? Terpulang kepada Anda.
Grosir Perlengkapan Haji

Aku hanya membeli satu celana panjang putih sebagai back up celana Taekwondo milikku. Ya, aku membawa celana karate itu untuk dipakai saat umroh. Bentuknya sama saja sebenarnya dengan yang dijual di toko pakaian haji dan umroh di Tanah Abang. Namun bedanya, tak ada saku celana. Aku tak memilih membeli ikat pinggang khas umroh atau haji. Aku beli ikat pinggang biasa, yang tak ada jahitannya. Jadi aman dari pantangan saat berpakaian ihram. Untuk sandal, aku bawa sandal jepit swallow buatan Indonesia. Rasanya cukup ok dipakai saat umroh.
Ga perlu sandal mewah saat umroh. Sandal jepit sudah cukup keren!

Untuk pakaian jelang berangkat umroh atau haji, tawaran membeli pakaian ini itu memang menggiurkan. Bisa-bisa, budget Anda sudah membengkak, tepat sebelum berangkat, untuk membeli perlengkapan yang tak terlalu dibutuhkan. Sekali lagi aku tekankan, bedakan antara kebutuhan dan keinginan! Di sini rayuan gombal syetan alas bin maruk untuk bikin kita jadi ribet dengan urusan pakaian, pernak-pernik, dan lain sebagainya. Tak sedikit juga, orang berangkat umroh atau haji malah memikirkan gengsi. “Gengsi dong hanya pakai sandal jelek ke tanah suci?” Hmmmmmm. Menurutku, “Makan aja tuh gengsi”. Kita tak butuh gengsi atau sejenisnya. Kalau sudah di tanah suci, boro-boro mikirin gaya pakaian, kita pasti disibukkan dengan konsentrasi ibadah.

Apa saja barang-barang yang harus dibawa saat umroh/ haji? Jaket, sandal, obat-obatan untuk penyakit khusus Anda, handuk kecil, peralatan mandi (sabun, odol, sikat gigi), baju untuk shalat beberapa helai saja, pakaian dalam, sabun cuci sachet (jika berniat mencuci di sana), pakaian ihram, ikat pinggang, tas kecil untuk passport (biasanya diberikan travel), dan lain sebagainya.

Jika Anda tipe punya rezeki yang cukup banyak, dan tidak ingin ribet dengan membeli oleh-oleh bagi kerabat atau tetangga saat kepulangan, bisa juga dipesan ke toko-toko di Tanang Abang untuk menyediakan oleh-oleh umroh/ haji. Harganya agak mahal. Tapi bisa cukup membantu untuk tidak memusingkan kepala. Namun, bagi Anda yang punya budget pas-pasan, jangan lupa, bawa sedikit barang saja, agar saat pulang, tas tidak kepenuhan. Menariknya, saat membandingkan harga baju gamis di Tanah Abang dengan di Mekkah dan Madinah, ternyata lebih murah di sana. Baju gamis dibandrol seharga 15 SAR (atau sekitar Rp 37.500). Murah bukan?
***

Cobaan Sebelum Umroh
Tepat dua minggu sebelum keberangkatan, aku membayar uang untuk umroh. Tentunya setelah dapat “gorengan” tak terduga dari kantorku, RCTI. Siang itu, tepat pukul 12.30, aku masih ingat, hari Rabu, 2 Maret 2011. Aku memilih menggunakan jasa travel agent untuk keberangkatan umroh perdana ini ini. Saat menyerahkan uang Rp 13.4 juta melalui bank, rasanya sudah sangat ikhlas. Kalau orang yang tak sedang menggebu-gebu umroh, mungkin akan berpikir sayang sekali mengeluarkan uang segitu banyak.

Bisa dipakai buat investasi, beli ini-itu. Namun kali ini aku punya keyakinan, bahwa uang segitu layak untuk umroh. Tepat setelah menyetorkan uang melalui bank, aku makan di restoran Padang sebagai perayaan kecil bagi diri sendiri bahwa aku sudah berhasil mewujudkan keinginan jangka pendekku, berangkat umroh. Siang itu terasa indah. Senang bukan kepalang. Seperti orang sedang jatuh cinta. Hanya beberapa bulan sebelumnya punya impian berangkat umroh, eh ternyata sekarang sudah terwujud. Cepat sekali. Rezekinya datang dengan mudah pula. Alhamdulillah.
Bayar umroh via bank

Namun, hidup ini terasa hambar jika keadaan baik-baik saja. Allah menciptakan segala sesuatu secara berimbang. Baik-buruk, senang-susah, lebih-kurang, kaya-miskin. Semua serba seimbang. Aku merasakan kuasa Allah yang maha adil. Hari itu adalah hari bersejarah bagiku karena baru saja membayar cash uang untuk umroh. Di tengah rasa senang, Allah mungkin punya caranya sendiri menegurku agar tetap down to earth.

Malam hari, sepulang dari kantor jam 21.00, aku agak heran. Setibanya di tempat parkir kos-ku, sepeda lipatku yang biasanya aku parkir di pojokan rumah ibu kos terlihat lenyap. Aku kaget. Kemana sepedaku? Sepeda lipat yang aku beli beberapa bulan lalu dengan hasil pengintaian harga paling kompetitif dari keseluruhan sepeda lipat selama berbulan-bulan? Sepeda biru merk Sprint yang begitu aku cintai, lenyap? Tidak mungkin? Aku kucek-kucek mataku lagi. Tetap saja, sepedaku tak ada di tempatnya. Padahal seingatku, selalu aku kunci ban-nya dengan rantai dan gembok. Aku semakin yakin, sepedaku dicuri orang. Entah oleh siapa.

Aku segera tanya ke ibu kos, apakah beliau melihat sepedaku. Akhirnya seluruh keluarganya ditanyai satu persatu. Dan tak ada yang melihat sepedaku. Terakhir dilihat ada yang mengatakan sehari sebelumnya, ada yang bilang melihat tadi pagi masih ada, dan seluruh penghuni kos dikumpulkan ibu kos. Ditanya satu persatu. Jadi panjanglah urusan. Semua jadi heboh, termasuk ibu-ibu pemilik warung di depan kos ikutan jadi bergosip tentang kehilangan sepedaku.

Karena sudah hilang, ya sudahlah, aku putuskan untuk tidak melanjutkan kehilangan ini berlama-lama. Case closed! “Kita lapor saja ke polisi mas,“ kata ibu kos. “Tidak usah bu. Mungkin orang yang mengambil sepedaku sedang butuh uang. Sepedaku tidak hilang, hanya pindah tangan saja,” ujarku sambil menghapus sedih. “Ya sudah tidak apa-apa bu.” Akhirnya kerumunan orang malam itu bubar.

Allah mungkin sedang mencobaku dengan menghilangkan sepedaku. Apakah aku sabar, atau tidak. Apakah aku masih menginjak bumi, atau sudah terbang ke awang awang karena terlalu senang akan berangkat umroh? Anehnya, keputusan untuk tidak mencari tahu kapan, bagaimana dan siapa pelaku pengambil sepedaku, begitu cepat aku lalui. Bisanya, tidak begitu. Jika kehilangan, selalu terus kepikiran. Kali ini tidak. Di sini rasa ikhlas-ku diuji. Aku pikir aku cukup sukses menjalaninya. “Insya Allah akan diganti lagi dengan sepeda yang lebih baik suatu hari nanti,” begitu keyakinanku tumbuh. 

Mungkin karena sudah terlalu senang seharian terkait akan berangkat umroh, aku tak terlalu merasa kesedihan kehilangan sepeda tersayangku itu. Malam itu aku berkaca di depan cermin dan menertawakan diriku dan sepedaku yang hilang. Ya sudahlah. Aku jadi teringat cobaan nabi Ibrahim. Saat ia tak diberi anak selama ratusan tahun. Ia tetap sabar. Saat diperitahkan menyembelih anaknya yang telah dinanti ratusan tahun, ia ikhlas. Kalau dbandingkan dengan kehilangan sepeda kesayangan, belum seberapa parah. Aku legowo. Ternyata, buku Ali Syariati tentang makna haji sangat bermanfaat.

Tak cukup sampai di situ. Cobaan lain datang lagi. Beberapa hari berikutnya, ada saudara jauhku meminjam uang Rp 5 juta untuk bekal usahanya. Ia sedang terjepit. Mau pinjam ke Bank, ia tak sepaham dengan konsep bunga bank. Aku cukup mahfum akan hal itu. Belakangan ini ia rajin menimba ilmu agama dari seorang guru beraliran salafi, sehingga bisa dikatakan anti bank konvensional. Sementara itu “gorengan” dari kantorku masih tersisa, meski baru saja membayar biaya umroh. Aku dihadapkanp pada pilihan, apakah akan meminjamkannya, atau tidak.

Bagaimana dengan uang jaga-jagaku nanti di tanah suci? Apakah aku tak bawa uang saku ke sana? Apakah aku tak ada simpanan untuk jajan di sana? Lagi-lagi aku diuji. Keikhlasanku kembali diuji. Aku sudah bertekad untuk ibadah di sana, bukan belanja. Aku berpikir sebentar dan langsung memutuskan, tak ada salahnya aku pinjamkan uang Rp 5 juta itu. Bismillah, semoga bermanfaat buat saudaraku itu, dan aku dapat pahala menolong orang yang sedang terjepit. Lagi-lagi, tak ada kata ragu, ikhlas saja melepas uang Rp 5 juta itu ke tangan saudaraku. Tidak ada beban pikiran apakah nanti dibayar atau tidak dan kapan dibayar. Aku seolah tak peduli itu semua. Niatnya hanya menolong saja. Titik.

Hari keberangkatan umroh mendekat. Aku persiapkan diriku dengan matang. Aku pelajari semua ilmu tentang umroh dari internet dan buku. Tak jarang aku intip semua keyword tentang umroh dari Youtube.com. Mulai dari bagaimana cara pasang pakaian ihram yang benar, sampai bagaimana suasana saat tawaf. Semua ada di Youtube. Jika ingin membaca artikel, aku searching di google. Anda yang akan berangkat umroh atau haji, saya sarankan juga melakukan ini. Perkuat ilmu umroh atau haji sebelum berangkat agar mampu menjalani ibadah suci itu dengan benar dan sesuai aturan. Sayang kan kalau sudah bayar mahal, namun ibadahnya tak sah karena cacat syarat dan rukun.

Apakah cobaan sudah selesai? Ternyata belum. Ada lagi yang baru. Kali ini Travel-ku berulah. Mereka mulai menunjukkan gejala pengelolaan tak professional. Imbasnya, aku tak jadi ikut manasik umroh. Aku sudah katakan jadwalku kerja di hari Sabtu, jadi tak bisa ikut manasik di hari itu. Kalaupun bisa, hanya bisa setelah jam 15.00. Aku komunikasikan dengan pihak travel, mereka jawab “ok”, akan mereka undur menunggu aku. Tapi ternyata ketika aku datang ke manasiknya, di sebuah restoran di Jakarta Barat, acara sudah selesai. Aku kecele. Aku merasa ditipu. Aku cek ke pihak restoran, ternyata acara sudah bubar. Aku telpon ke travel, mereka mengaku masih di sana. Aku kesal sekali. Tidak perlu berbohong dan menyenangkan hatiku, jika kenyataannya sudah tidak ada acara di sana. Aku marah sekali.

Tapi aku ingat, tak ada gunanya marah-marah. Aku katakan ke pihak travel, sudah tidak ada orang di restoran. Aku tak ikut manasik umroh. Memang aku tak khawatir karena sudah mendalami ilmu-ilmu tentang umroh dari buku dan internet. Tapi tetap saja, aku tak puas karena tak bisa nambah kenalan dengan jemaah lain. Aku tak bisa mendapat sharing pengalaman dari jemaah lain yang konon sudah sering umroh. Sudahlah. Tak perlu dipermasalahkan lagi. Aku ikhlaskan saja “dikerjai” oleh travel tak professional itu. Pelajaran penting dari sini adalah, sebagai jemaah Anda harus bersatu padu. Saling kenal, saling tukar nomor telpon, dan update informasi. Jika travel tidak professional, gerakan berjamaah lebih membuat gentar travel yang tak professional daripada gerak sendiri-sendiri. Ini pengalmaanku.

Ternyata tak hanya itu ketidakprofesionalan yang ditunjukkan oleh Travel Cahaya Gelap (Bukan nama travel yang sebenarnya). Semula aku dan rombongan yang jumlahnya 25 orang akan diberangkatkan dengan maskapai ternama, tgl 15 Maret 2011. Mendekati hari H, tepatnya sehari sebelum keberangkatan, aku terpaksa menelpon pihak travel, apakah jadi berangkat atau tidak. Masalahnya, mereka tidak memberikan kepastian keberangkatan. Siang hari, mereka masih bilang ok. Namun, sore hari langsung berubah. Rombongan umroh kami tak jadi berangkat.

Kendalanya, visa umroh belum keluar, ada masalah di Kedubes Arab. Visanya baru keluar jam 22.00 malam, tgl 15 Maret 2011. Sementara kami harus terbang jam 17.00 sore di tanggal yang sama. Walhasil, keberangkatan ditunda. Tiket pesawat yang sudah ada terpaksa dibatalkan. Entahlah pihak travel berhasil nego atau tidak ke maskapai, apakah mereka terkena cancellation fee atau tiketnya hangus, aku tak tahu. Tapi, dengan tidak menghubungi jemaah umroh secepatnya, tentu itu adalah tindakan keliru.

Kami jemaah sudah berharap banyak dan yakin berangkat. Semua jemaah yang bekerja kantoran, sudah mendaftarkan cuti pada perusahaan masing-masing. Jika diubah, tentu perlu waktu dan membuat pelik masalahnya. Terlebih jika ada yang cutinya didaftarkan via online, sepertiku. Aku sendiri karena tak ada kata pasti dari travel, maka aku tidak daftarkan cutiku secara online. Atasanku kerap bertanya, kapan sebenarnya aku berangkat. Tapi aku juga tak bisa kasih jawaban pasti karena travelnya sangat tidak professional. Ia menggantung nasibku dan jemaah lainnya. Sungguh tidak nyaman berada di dalam ketidakpastian. Aku sinyalir, travel ini terlalu mepet memasukkan daftar untuk visa umroh ke kedutaan. Jadi ketika ada delay, ya resikonya sangat besar.

Akhirnya keberangkatan kami diundur. Sehari, tiga hari, seminggu, pun berlalu. Tidak ada perkembangan yang positif. Aku kerap bertanya, tapi pihak travel selalu ngeles dan menjawab dalam keadaan tak jelas. Bagiku, kepastian berangkat adalah penting agar bisa mengajukan cuti jauh-jauh hari. Sehingga pekerjaanku bisa dibackup oleh teman kantor. Tapi kepastian adalah barang mahal bagi Travel Cahaya Gelap. Mereka tak menghubungiku. Aku selalu tahu paling terakhir di semua informasi yang ada. Ya Allah apes banget nasibku. Sudahlah ditinggal tak ikut manasik, info selalu dapat terakhir. Padahal ini keberangkatan umrohku yang pertama. Mengapa begitu sulit berangkat ke sana? Aku coba berpikir positif. Meski kerap juga dihinggapi rasa tak percaya pada travel. Apakah aku ditipu? Aku mulai was was. Aku beberapa kali datang ke kantor travel tersebut, memastikan bahwa benar ada masalah yang tak bisa dipecahkan, dan memastikan juga mereka beritikad baik memberi solusi. Aku tak marah saat datang ke sana. Ketika aku telpon karyawan travel itu, ia mengaku tertekan dengan jemaah lain yang marah-marah. Ia juga ketakutan ketika aku hubungi.

“Pak, rasanya saya malu sekali dan sudah tidak punya muka di hadapan jemaah. Saya pengen resign pak. Malu saya atas masalah ini,” ujarnya lirih. Aku kasihan padanya. Aku paham apa yang ia rasakan. Aku tak marah. Aku hanya kecewa saja. Aku minta mereka lebih professional dalam mengkomunikasikan informasi padaku. Jika memang tak berangkat, bilang saja. Asalkan informasinya pasti. Pasti berangkat atau tidak. Ini informasi digantung. Aku berdoa, semoga aku bukan sedang ditipu. Kalau ditipu, tentu aku akan sangat kecewa. Uang dalam jumlah besar, hilang hanya karena tak profesionalnya travel itu. Pikiran negatif kadang mampir. Tapi aku yakinkan kembali diriku bahwa mungkin ini cara Allah membuatku agar lebih siap lagi mempelajari semua ilmu tentang umroh dan haji. Ia menunda keberangkatanku agar aku benar-benar paham betul makna di balik umroh. Aku kembali teringat pada buku Ali Syariati tentang makna haji. Mungkin ini cobaan kesabaran layaknya Nabi Ibrahim dicoba tak punya anak selama ratusan tahun. Nah, keberangkatanku hanya tertunda, bukan tidak jadi. Ya sabar sajalah. Begitu pikirku dalam hati.

Banyak hal yang terjadi selama masa tunggu sebelum berangkat. Salah satunya yang paling mengganggu, pihak travel meminta uang ekstra untuk mengganti tiket yang katanya hangus. Masing-masing jemaah dimintai USD 200. Jumlah yang lumayan besar. Aku sendiri sudah membayar USD 1450. Saat itu kursnya Rupiahnya adalah Rp 8850. Aku bayar biaya umroh sekitar 12.832.500 plus tax dan handling bandara sekitar Rp 600.000. Jadi totalnya Rp 13.432.500. Nah, sekarang pihak travel mau minta USD 200 lagi? Yang benar saja. Aku sempat uring-uringan. Niatnya mau cari murah, kok malah begini? Jadi lebih mahal. Merasa seperti “dipalak” oleh travel. Kesalahan kan ada di mereka? Mengapa jemaah yang dimintai uang?

Aku tak kehabisan akal. Aku coba lobi pihak travel. Tak mudah melobi. Aku sempat marah karena informasi seperti ini selalu datang terakhir padaku. Antara karyawan yang satu dengan lainnya tak pernah ada yang singkron penjelasannya. Akhirnya aku beranikan diri minta nomor tlp pemilik travel. Namanya Pak Alwi. Aku sms ke beliau. Aku jelaskan bahwa ini umroh pertamaku. Aku ingin ini sukses, dan budgetku terbatas pada angka USD 1450. Akhirnya sejak sms itu aku kirim, aku tak pernah dimintai uang lagi. Alhamdulillah. Berarti aku aman. Tapi ternyata jemaah lain dimintai uang USD 200. Ada juga yang berhasil nego dan turun jadi USD 75. Cerita ini terkuak belakangan, tatkala aku bercakap-cakap dengan jemaah lain ketika sudah berada di tanah suci.
Jemaah travelku dimintai uang tambahan 2 lembar 100 USD. Aku ngotot tak mau. Harus tegas terhadap travel unprofesional.

Bagaimana kisah bisa berangkat umroh setelah penantian lama di tengah ketidakpastian? Bagaimana rasanya naik pesawat Royal Brunei yang semula aku remehkan? Apa saja cerita menarik saat pertama kali menginjakkan kaki di Jeddah? Apa kesanku ketika melihat Arab Saudi dalam selayang pandang? Nantikan di cerita selanjutnya……Umroh Dari Warung Padang Part 4…

Sumber:  http://umarat.wordpress.com/2011/10/12/umroh-dari-warung-padang-part-3-godaan-cobaan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar