Umroh Dari Warung Padang Part 5 (Madinah I’m in Love)
Rombongan Umroh Cahaya Gelap Tour
& Travel sampai di Madinah pukul setengah 12 siang. Saat itu, bus
kami kesulitan mencari tempat parkir untuk ke hotel karena banyak jalan
diblokir. Di kiri-kanan jalan juga terlihat sedang banyak pembangunan
gedung-gedung tinggi di kota itu. Kabarnya sih itu semua pembangunan
hotel baru. Hampir 30 menit bus kami berputar sebelum akhirnya menemukan
tempat parkir yang pas. Aku gemas dibuatnya.
Ternyata saat kami datang, waktu sudah
menunjukkan jam shalat Zuhur. Tak ada aktivitas selain lautan manusia
berbondong jalan menuju masjid Nabawi. Termasuk dari pihak hotel kami,
Ar-Raudhah. Dan saat bus selesai berputar-putar cari parkir, ramai pula
orang berbondong-bondong keluar dari masjid Nabawi. Saat itu, aku belum
kepikiran, akan seperti apa penampakan masjid Nabawi. Rasa penasaranku
begitu menggelora dan tersimpan rapi dalam hati.
Di Depan Hotel bin Losmen Ar-Raudhoh
Alhamdulillah hotel kami Ar Raudhah,
terletak tak jauh dari Masjid Nabawi. Hanya sekitar 200-an meter. Namun,
begitu turun dari bus, dan sudah masuk ke lobi hotel, ternyata ada
masalah yang sangat tidak disangka-sangka.
Ternyata kami belum mendapatkan kamar yang diakui pihak travel sudah dibooking sebelumnya.
Hotel Ar Raudhah saat itu sedang penuh. Jemaah dan travel lain juga
banyak yang mengantri untuk mendapatkan kamar hotel. Lengah sedikit,
meski sudah status booking, bisa lenyap jatah kamar hotel kita.
Pihak travel yang diwakili muthawwif (pembimbing), melobi pihak hotel
dalam bahasa Arab super cepat. Berkali-kali ia lancarkan negosiasi, dan
hasilnya tetap nihil. Kamar Penuh!
Beberapa jemaah mulai terlihat letih. Ada
juga yang mulai dihinggapi kecewa. Aku rasanya ingin berbaring saja.
Capek. Koper-koper kami sudah masuk ke lobi hotel. Kami menenteng tas
masing-masing. Sungguh negosiasi yang cukup alot. Pak Rudi, jemaah
senior di rombongan kami, mengajak kami sholat Zuhur dulu di Masjid
Nabawi agar lebih tenang. Aku menyambut baik ajakannya itu. Ini
kesempatan yang aku tanti jauh hari. Ini perkenalan awalku dengan masjid
Nabawi. Aku bawa tas sandangku. Koper tetap kutinggal di lobi hotel.
Insya Allah aman. Ada jemaah lain yang menjaga. Aku pergi berempat. Pak
Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi dan aku. Kami jalan mendekati Masjid Nabawi.
Subhanallah! Masjid ini megah, indah, dan
modern. Itu kesan pertama yang aku tangkap dari fisik Masjid Nabawi.
Aku terkagum-kagum. Kami pun bersiap masuk. Aku mencopot sepatu, segera
mengikuti langkah pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk terlebih
dahulu. Aku dan Mas Edi masuk belakangan. Kami membawa tas sandang agak
besar dan berat.
Nah, kejadian tak mengenakkan menimpa
kami. Ketika sudah masuk beberapa langkah di pintu masjid dan saat
membaca doa masuk masjid dengan penuh khusu’, tiba-tiba tas kami ditarik
dari belakang oleh seseorang berperawakan besar, tinggi, berjenggot,
berjambang. “Hajji Hajji, la la la,” sambil geleng-geleng kepala tanda
melarang sesuatu. Aku kaget. Ia melarang kami masuk masjid membawa tas.
“Limaza? (Kenapa?)” Tanyaku heran. Untung
masih bisa bahasa Arab dikit-dikit. Hehehe. Ia menunjuk tas yang kami
sandang, yang volumenya cukup besar. Akhirnya kami terpaksa menunggu pak
Rudi di pelataran depan masjid. Ternyata mereka itu adalah askar yang
mengawasi jemaah. Peraturannya menurut cerita orang-orang di sana sudah
sangat jelas. Tidak boleh membawa tas besar ke dalam masjid.
Aku tak tahu, mungkin mereka takut tas
itu bisa dimasuki barang-barang dari masjid, atau takut ancaman bom,
entahlah. Bahkan, orang yang akan mengambil air zam zam dalam ukuran
besar seperti galon juga dilarang. Jemaah hanya boleh mengambil air zam
zam dengan menggunakan botol minuman kemasan ukuran kecil sampai sedang.
Maksimal botol 1 liter. Aku hanya bisa pasrah.
Pak Rudi dan Pak Ahmad yang sudah masuk
duluan, heran, dan ia baru ingat, tak boleh membawa tas ke dalam masjid.
Ia dan pak Ahmad sholat Zuhur duluan. Kami bergantian. Saat itu, aku
pertama kali minum air zam-zam yang tersedia di masjid Nabawi dalam
galon-galon yang disediakan, baik yang dingin maupun yang biasa. Rasa
airnya tawar, hambar, tidak berasa. Ini ciri khas air zam zam. Namun,
khasiat yang terkandung di dalamnya, luar biasa. Bisa untuk menyehatkan,
membuat jadi pintar, membukakan pintu rezeki, dan lain-lain. Akhirnya
giliranku tiba untuk sholat jemaah bersama mas Edi. Alhamdulillah.
Setelah selesai shalat Zuhur, kami
kembali ke hotel Ar Raudhah. Saat itu, rombongan kami belum juga
mendapatkan kamar. Aku heran. Entah ini pihak travel dari Indonesia yang
tak kuat lobinya, hingga belum dapat hotel di sini, atau karena memang
jemaah umroh sangat penuh dalam periode ini. Entahlah, aku hanya bisa
menduga-duga. Booking hotel seperti ngantri beras. Rapat
sekali. Koper-koper jemaah lain berseliweran saling keluar-masuk hotel.
Ada jemaah yang baru datang, ada yang baru akan keluar. Kami mengincar
jemaah yang baru akan keluar, agar kamarnya bisa diperuntukkan bagi kami
yang sudah menunggu hampir 2 jam di lobi hotel. Perjuangan yang tak
mudah. Badan rasanya letih sekali. Ingin rasanya berbaring. Muthawwif
dan jemaah kami, Bayumi—mantan mahasiswa Cairo-Mesir–mencoba terus
melobi pihak hotel. Sampai-sampai pihak hotel yang merasa terintimidasi,
mengusir mereka dari meja resepsionis. Sama sekali tak ada pelayanan di
sana. Mentang-mentang kita yang butuh, songong tuh pihak hotel.
Akhirnya, jam 3 sore kami dapatkan kamar
hotel. Aku sempat bingung. Akan sekamar dengan siapa? Aku hanya sendiri.
Tidak berkeluarga. Orang lain pergi bareng keluarganya. Alhamdulillah,
setelah bercerita dengan Pak Rudi di bandara Brunei kemaren, ia mafhum
keadaanku. Ia berinisiatif menempatkanku sekamar dengannya. Kami
berempat, terdiri dari Pak Rudi, Pak Ahmad, Mas Edi, dan aku.
Sungguh senang ada teman sekamar. Ada
tempat untuk berbagi cerita. Ketika masuk kamar hotel pertama kali, kami
kaget bukan main. Ternyata kamarnya baru saja ditinggal penghuni
sebelumnya. Belum dibersihkan, belum diganti selimut, cover bed bau, dan
parahnya tak ada handuk. Toilet pun terbatas. Untuk tiga kamar,
disediakan 2 toilet yang terletak di luar kamar pula. “Hotel yang bukan
hotel,” begitu pikirku dalam hati. Lebih mirip losmen kalau begini
caranya.
Tapi kami tetap bersyukur. Kami sudah
mendapatkan kamar, sehingga kami bisa segera istirahat. Minimal, kami
bisa menaruh barang bawaan yang cukup banyak dan berat. Jadi kami bisa
leluasa bergerak ke mana saja. Kami melobi lagi pihak hotel. Lebih
tepatnya sih komplain. Kenapa kamarnya belum dibersihkan. Lebih
parahnya, toiletnya mampet. Kembali tragedi “Tokai Segede Bagong” nongol
dan ngambang di toilet itu. Sangat menghilangkan selera makan. Kotor
sekali. Pihak hotel berjanji akan membersihkannya setelah shalat Ashar.
Kami pun akhirnya bersih-bersih diri dan bersiap ke masjid untuk shalat
Ashar. Alhamdulillah setelah Ashar, kamar sudah dibersihkan petugas
kebersihan hotel. Sungguh sistem hotel yang sangat aneh. Aku coba
berbaik sangka, mungkin memang jemaah umroh membludak di periode ini.
Seharusnya periode umroh dibuka mulai Februari. Tapi tahun 2011 ini
mulai dibuka bulan Maret. Jadi jemaah yang terbiasa datang Februari,
menumpuk di bulan Maret. Selamat menikMATI! Tak heran juga, pihak hotel
kelimpungan.
Aku juga bersyukur karena belakangan baru
tahu, ada jemaah dari Indonesia yang tak dapat kamar hotel, dan tasnya
ada di lobi hotel sehari semalam. Jemaahnya menyebar ke masjid Nabawi.
Tas mereka sudah dipasrahkan dihamparkan di lobi hotel. Kalau mau mandi,
tidur, gosok gigi, tergantung kreativitas masing-masing mau memilih di
mana. Apakah di masjid atau menumpang di hotel. Nasib mereka
terkatung-katung. Nasibku dan rombonganku jauh lebih beruntung dari
mereka. Kasihan sekali mereka.
Shalat Jemaah Pertama @Nabawi
Aku akhirnya shalat Ashar pertama kali di
Masjid Nabawi. Tak lupa ku selalu mengucapkan doa setiap masuk masjid
ini. Ini penting. Di dalam masjid, aku merasa sangat kecil di hadapan
Allah. Itu perasaanku setiap masuk masjid Nabawi. Ini perasaan yang
selalu datang dan muncul tiba-tiba.
Selesai shalat Ashar, kami berempat (Pak
Rudi, Ahmad, Edi dan aku) mengelilingi masjid. Bersama keluarga Pak Rudi
yang perempuan, kami duduk-duduk menikmati suasana sore yang indah di
pelataran masjid Nabawi. Kami juga menyantap kurma dan air zam zam.
Kurma dibagikan gratis dari orang entah dari mana. Tiba-tiba saja
seseorang muncul dengan tangan menengadahkan sebuah wadah berisi
tumpukan kurma. Kami ditawarinya dengan ramah. “Silahkan dicicip,”
mungkin begitu isyarat mata dan gesture yang ia berikan. Tentu peluang itu tak kami sia-siakan. Kurmanya langsung kami sikat bleh. Hehehe.
Ngaso di depan Masjid Nabawi
Pak Rudi mengambilkan kami bergelas-gelas air zam-zam. Jadilah sore itu kami punya sejenis tea time
bersama. Oh indahnya. Air zam zam yang kami minum benar-benar pas
dengan kurma. Produk minuman lain dijamin kalah karena tak ada faedah
meminumnya. Beda dengan air zam zam. Selain bisa menghilangkan dahaga,
ia juga bisa menjadi air doa karena sejarah dan jaminan dari Allah.
Selalu banyak kejadian mengejutkan di tanah suci, seperti ini contohnya.
Keajaiban bisa datang kapan saja, dari mana saja, dan dari berbagai
cara. Banyak orang berlomba berbuat baik untuk kebahagiaan orang lain.
Selain itu, tentu saja kita harus tetap waspada. Tak jarang juga ada
yang jahat.
Menariknya, kami juga sempat menyaksikan
katup payung di pelataran masjid Nabawi tertutup perlahan. Aku sempat
memotretnya. Pemandangan yang indah. Masjidnya memang berteknologi
tinggi. Atap di bagian tengah masjid pun bisa terbuka otomatis untuk
memberi penerangan dan sirkulasi udara sewaktu-waktu dibutuhkan. Sungguh
teknologi yang mahal dan sekaligus menghibur.
Payung Raksasa Terbuka @ Dpn Masjid Nabawi
Payung Raksasa Mulai Tertutup @Dpn Nabawi
Sepulang dari masjid, kami melihat-lihat
pedagang yang ramai berjualan di sekitarnya. Mulai dari buahan, minyak
wangi, peci, baju muslim, mainan anak-anak, semuanya ada. Mirip pasar
kaget di Indonesia deh kalau mau dibayangkan. Tapi jumlahnya tak seramai
di Indonesia karena sewaktu-waktu akan ada razia dari polisi Arab.
Kadang, mereka menangkap pedagang itu. Mirip kamtib atau polisi pamong
praja di Indonesia.
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Payung Raksasa Tertutup @Masjid Nabawi
Sore itu cukup unik. Kami langsung
disuguhi kejadian pengejaran kamtib. Kami berempat dan keluarga pak Rudi
lainnya ingin membeli peci haji seharga SR 2. Setelah tawar-menawar,
kami pamit untuk menukarkan uang ke money changer. Nah, setelah
menukar uang, ketika kami kembali lagi ke pedagang yang menggelar
lapaknya itu ternyata sudah tidak ada. Selidik punya selidik, barang
dagangannya sedang dikemasi oleh polisi Arab, dan guess what? Pedagangnya sudah berada di dalam mobil polisi. Ada juga pedagang yang kabur dan diuber-uber
oleh polisi. Bagi pedagang asongan itu, mending tak tertangkap, karena
bayarannya mahal jika tertangkap. Barang dagangan bisa dicari lagi,
harganya murah. Kadang miris juga melihat pedagang itu lari
terbirit-birit. Aku ingat pedagangan asongan yang juga teraniaya di
Indonesia.
Penjual Buah Segar di dpn Masjid Nabawi
Selesai mengitari “pasar kaget” di depan
masjid Nabawi, kami sempat pulang ke hotel sebentar saja. Kami mandi
bergantian, berpakaian rapi, lalu siap berangkat ke masjid lagi. Memang,
ketika umroh atau haji, enaknya tidak usah berlama-lama di hotel. Hotel
hanya berfungsi sebagai tempat singgah menaruh barang, tempat istirahat
sebentar, lalu tancap gas lagi beribadah penuh di masjid. Bahkan
sekadar membaca sirah nabawiyah di masjid pun sudah dianggap ibadah di
masjid.
Sungguh sangat disayangkan jika kita
umroh atau haji, tapi durasi kita di hotel lebih banyak daripada di
Masjid Nabawi atau Masjidil Haram. Pulang ke hotel memang banyak menyita
waktu. Jika hotelnya katro seperti hotel Ar Raudhoh, mengantri
lift saja bisa 20 menit pulang-balik. Belum lagi urusan kunci kamar
yang harus diminta dan diantar ke resepsionis. Memakan waktu sekali.
Karena jumlah kunci hanya satu, perlu juga diperhatikan bagaimana
koordinasi yang baik dengan teman-teman sekamar. Pastikan kunci ada di
tangan, atau ada di resepsionis. Jangan pulang manakala tak pasti dimana
letak kunci. Bisa-bisa waktu Anda habis untuk mencari kunci saja dan
berakibat pada kekesalan.
Kalau bisa, pembagian durasi di hotel
(tempat istirahat)-masjid adalah 65%-35%. Jika ini dilakukan, dijamin
Anda merasa puas beribadah. Namun, perlu diperhatikan juga, bahwa
kesehatan adalah hal utama. Jika memang tidak fit, Anda harus disiplin
untuk mengistirahatkan diri terlebih dahulu. Lebih baik fit dalam
beribadah, daripada dalam kondisi sakit-sakitan, tapi tetap memaksakan
diri ke masjid. Tentu tidak akan khusu’ ibadahnya. Tidak optimal.
Shalat Magrib pertama di Masjid Nabawi
berkesan sekali. Aku teringat suasananya meriah, membuat hati senang,
tenang. Rasanya teringat saat kecil dulu, ketika Magrib jalan menuju
masjid 1 jam sebelum azan berkumandang. Langit terlihat meredup, warna
orange langit tanda matahari akan tenggelam menambah suasana syahdu.
Burung-burung kecil sejenis burung layang-layang beterbangan di atas
atap masjid. Suasana yang sangat merindu. Rindu kepada siapa? Entahlah.
Mungkin ini rindu pada Allah dan rasul..
Hampir tiap shalat fardu, aku selalu
minum air zam zam terlebih dahulu. Selesai shalat biasanya langsung
beser. Memang, aku tipe orang yang tidak bisa menyimpan air dalam jumlah
besar di dalam tubuh. Makanya badanku kurus. Begitu masuk, tak berapa
lama pasti langsung keluar lagi. Walhasil, aku juga rajin bolak-balik
toilet dan tempat wudhu. Ada untungnya, ada ruginya. Untungnya bisa
jalan-jalan ke toilet melihat beragam orang, menjalin percakapan dengan
mereka ketika antri. Ruginya, ya waktu ibadahku terpotong. Sedang
enak-enak doa, ngaji, diskusi, eh harus pergi ke toilet. Cara
mensiasatinya adalah minum air zam-zamnya dikurangi, hanya sedikit
sebelum shalat, lalu selesai shalat barulah dilibas cukup banyak. Jadi
pas shalat tidak tiba-tiba ada panggilan alam ke toilet.
Madinah I’m in Love
Perlahan, keadaan mulai settle
di Madinah. Kamar hotel sudah nyaman karena sudah dibersihkan. Kalaupun
minus, mungkin karena tak disediakan handuk dari hotel. Dalam pikiranku,
“hotel macam apa ini tak ada handuk?” Tapi ya sudahlah. Kembali fokus
ke ibadah saja. Komplain dikesampingkan saja biar hati tetap terjaga.
Shalat Isya pertama di Masjid Nabawi juga
begitu berkesan. Badanku mulai letih. Hari pertama saja aku sudah
menunggu berjam-jam untuk mendapatkan kamar hotel. Terjadi penurunan
kondisi badan. Memang hanya capek biasa. Setelah shalat Isya, ketika
sedang dzikir, aku diserang rasa kantuk yang teramat sangat. Akhirnya
diniatkanlah tidur sambil duduk dan sambil dzikir. Hehehe.
Tak berapa lama ketika kantuk mulai bisa
dinikmati bersama alam mimpi yang datang silih berganti, tiba-tiba aku
dengar suara, “Assalamu’alaikum!”. Tiba-tiba di sampingku telah hadir
sesosok manusia berperawakan seperti orang Pakistan, Afganistan, atau
India, dan ia menyapaku. Aku tak terlalu pasti negeri asalnya saat itu
sampai ia perkenalkan dirinya. “Kenapa orang lagi ngantuk dan setengah
tidur diajak kenalan sih. Tidak pengertian banget,” begitu pikirku agak
keberatan. Aku yang baru masuk bab 1 mimpi di malam hari sambil duduk,
terpaksa meladeni obrolan yang dia lontarkan. Kami berkenalan. Tapi aku
lupa namanya. Namanya orang setengah sadar, ya wajar tak ingat saat
diajak bicara, mendadak pula. Kami berbasa-basi seputar daerah asal dan
identitas. Akhirnya kata kunci dari mulutnya keluar.
“Sebenarnya saya sedang ada masalah
keluarga,” begitu jelasnya padaku dalam bahasa Inggris terpatah-patah.
Ia menceritakan masalah finansial adalah pangkalnya. Percakapan itu
masih belum aku tangkap apa tujuan akhirnya. Namun beberapa kalimat
terakhir membuatku tersentak.
Aku ingat pesan beberapa teman di
Indonesia, akan ada orang yang minta-minta. Mulai dari cara halus,
sampai cara kasar. Benar saja. Agaknya orang ini masuk kategori
peminta-minta tapi cara halus. Ia minta dibantu SR 100. Setara dengan Rp
250 ribu. Aku berpikir sejenak. Otak masih lemot karena baru
bangun tidur. Tapi harus segera sadar karena jika tidak, aku akan
tergencet situasi. Aku berusaha untuk tidak berbohong atau ngeles.
Ini tanah suci. Jika kita bilang tak punya uang, bisa saja ucapan kita
langsung jadi kenyataan. Entah uang kita di koper atau di dompet bisa
hilang semua, tercecer, atau bagaimanalah. Aku tak mau hal itu
menimpaku. Mulutmu adalah harimaumu. Pepatah itu benar-benar berlaku di
tanah suci.
Jadi, aku agak berbicara diplomatis
padanya. Aku katakan bahwa ini adalah umroh pertamaku, dan aku belum
yakin, apakah uang yang aku bawa cukup dipakai sampai akhir umroh nanti.
Aku bilang, aku sendiri belum menjalani umroh ke Mekkah dan baru sampai
di Madinah. Perjalananku masih panjang. Ia pun tak kehabisan akal. Ia
menawar. “Kalau gitu SR 50 deh,” katanya. Hmmm minta-minta bisa ditawar
begini ya? Aku membalasnya dalam bahasa Arab, “’afwan akhir, lam
astathi’ al’aan (maaf saudaraku, saat ini aku belum bisa).”
Ia segera bergegas pergi dengan pamit
sekadarnya. Beberapa detik kemudian, aku lihat ke belakang, orang itu
lenyap secepat kilat. “Entahlah, apakah ia malaikat yang sedang mencoba
hamba Allah atau bukan. Tapi aku minta maaf kepada Allah, bukannya aku
pelit. Tapi aku rasional untuk tidak bisa membantunya kali ini.”
Memang, uniknya kalau di tanah suci, kita
tidak tahu, apakah orang yang datang pada kita adalah malaikat yang
menyamar, atau orang jahat. Tidak ada yang tahu. Semua serba dibungkus
dengan dua kata: misteri ilahi. Yang terpenting adalah kita harus selalu
ikhlas, jujur, dan tampil apa adanya. Tidak perlu takut untuk diberi
cobaan oleh Allah, tapi juga jangan sombong atau menantang Allah.
Lepaskan, lepaskan beban dan pikiran tentang dunia. Ini saatnya urusan
akhirat benar-benar direnungkan, diresapi maknanya.
Setelah kejadian didatangi orang minta
uang itu, aku benar-benar “bangun” dari tidur dan rasa kantuk hilang
serta merta. Mungkin itu teguran dari Allah. Sudah jauh-jauh datang ke
Madinah, hanya untuk tidur di masjid-Nya. Terus terang, aku sedikit
takut setelah itu. Ada kecemasan aku akan jadi korban minta-minta
seperti itu tadi di kesempatan berikutnya. Aku pikir-pikir lagi, apakah
tampangku terlalu kekanak-kanakan alias imut-imut sehingga disamperin
oleh orang tadi? Entahlah. Terus terang, ada sedikit rasa trauma.
Bagaimana jika orang yang meminta menggunakan cara-cara kasar? Bagaimana
jika memang benar dia butuh bantuan? Bagaimana jika orang itu adalah
malaikat? Analisa-analisa tak penting, mulai merasuk dalam hatiku. Aku
gundah malam itu. Tapi paling tidak aku sudah melakukan hal benar. Tidak
berbohong, dan menolak secara halus terhadap sesuatu yang belum bisa
kita lakukan untuk orang lain.
Selesai shalat Isya, aku kembali ke hotel
untuk makan malam. Makan malam di hotel disediakan setelah shalat Isya
sekitar pukul 8 malam. Kali ini aku bersyukur sekali bisa memakan
makanan khas Indonesia, meski banyak sekali kekurangannya. Ar Raudhah,
hotel di tempat kami menginap, menyediakan satu ruang makan yang terdiri
dari 3 travel khusus jemaah Indonesia. Kalau dihitung-hitung,
sebenarnya kapasitasnya tak cukup menampung jemaah 3 travel itu.
Bayangkan saja, makan harus antri betul untuk bisa dapat tempat duduk.
Walhasil, banyak juga jemaah yang membawa makanannya ke luar ruangan.
Kadang ada yang ngemper di sela-sela lorong hotel. Kadang miris
juga melihatnya. Hal seperti itu justru merendahkan diri sendiri di
hadapan orang Arab selaku pemilik hotel. Kita dianggap kurang tertib.
Lauk yang disediakan katering hasil
kerjasama dengan pihak travel tergolong sangat sederhana. Yang penting
ada nuansa Indonesianya. Entah itu kerupuk, nasi goreng, atau apapun
yang masakan Indonesia yang murah meriah. Tak jarang, karena kualitasnya
kurang bagus, nasi goreng masakan katering itu tak ubahnya nasi putih
biasa yang diberi kecap. Lalu tidak digoreng sampai matang layaknya nasi
goreng. Rasanya hambar. Tapi mau protes bagaimana, ke siapa? Di sana
hanya petugas jaga saja. Terpaksa terima saja apa adanya agar tak buang
tenaga. Yang penting masih bisa makan, meski berbekal nasi plus sambel encer yang tidak pedas.
Terlepas dari kekurangannya, sebenarnya
aku cukup bersyukur. Kalau harus makan makanan khas Arab, aku mungkin
tak sanggup. Makanan Arab umumnya berminyak. Minyaknya seperti “banjir”
di tiap makanan. Entah itu ayam, kambing, atau bebek. Semua
berminyak-nyak-nyak. Untunglah di hotel tempatku menginap, tempat makan
orang Arab dan Indonesia dipisah.
Menurut pengamatanku, berbisnis katering
di Arab Saudi bisa jadi menguntungkan. Dalam hal ini, umumnya pelayanan
adalah nomor kesekian. Yang penting lidah jemaah Indonesia dicolek
dengan sentuhan makanan Indonesia, entah itu kualitasnya bagus atau
tidak, bukan jadi soal. Mungkin tak semua katering seperti itu. Ada juga
yang bagus. Tapi syaangnya, tak berjodoh denganku katering yang enak
saat aku di Madinah. Dan biasanya, jemaah Indonesia nrimo-nrimo saja, dan sedikit sekali komplain.
Kondisi di ruang makan khusus jemaah Indonesia itu chaos sekali. Padat. Tidak layak. Apalagi ditambah budaya jemaah Indonesia yang terkenal grasa-grusu
rebutan makan. Padahal makanan masih ada dan masih banyak. Entah apa
yang dirisaukan hingga desak-desakan dan dorong-dorongan. Heran.
Aku perbanyak minum air saat di ruang
makan hotel. Namun, ada kesalahan yang belakangan aku sesali. Aku
terlalu banyak minum es sirup warna orange. Hal ini membuat badanku
terasa tak enak. Sudahlah makanannya kering, minum pakai air sirup.
Sesuatu yang tak sehat. Harusnya aku perbanyak minum air putih saja. Air
putih hangat kalau bisa. Lebih baik lagi, jika Anda membawa botol
minuman kemasan, bisa isi air zam zam. Makan dan minum hendaknya full disosor
dengan air zam zam. Kapan lagi kan punya kesempatan langka minum air
zam zam yang menyehatkan sepuasnya, termasuk saat makan nasi? Memang sih
rasanya jadi agak aneh. Hehehe.
Malam itu, aku tutup kegiatan dengan
tidur di kamar hotel setelah selesai makan malam. Meski dengan tempe
goreng dan sambal. Rasa makanan itu tetap nikmat kalau dinikmati dari
hati. Bagi Anda yang punya masalah dengan makanan yang berbeda negara,
atau masakan non-rumahan, jangan sampai menghujat makanan. Apalagi di
tanah suci. Jika sempat saja menghina makanan, “tidak enak”, “bosan”,
atau kalimat meremehkan lainnya, Anda siap-siap saja menerima
konsekuensi atas sikap tidak bersyukur tersebut.
Aku menemukan seorang perempuan di
rombonganku yang selalu mengeluh tentang makanan yang ia tak suka yang
selalu tak dimakannya. Katanya “tak berselera”. Akhirnya, tiap makanan
yang ada di hadapannya selalu ia komentari, “tak berselera”. Entahlah
ini seperti hukuman dari Allah atau tidak. Selera makannya di tanah suci
dipersulit. Semua serba tak enak. Walhasil, ia keluar ongkos untuk beli
makanan alternatif kesukaannya. Jangan sampai kejadian ini menimpa
Anda. Tujuan utama kita ke Mekkah-Madinah adalah ibadah. Untuk ibadah,
kita butuh energi. Energi datang dari makanan. Jangan terlalu picky-picky.
Jangan pula sampai telat makan. Makan harus teratur. Jika bisa,
perbanyak minum air putih atau zam zam. Perbanyak konsumsi buahan yang
dijual murah di sekitar kompleks masjid Nabawi.
Raudhoh, Tempat Mustajab Berdoa
Aku dan teman sekamar berempat tidur jam
10 malam. Nyenyak sekali tidur kami malam itu. Namun, kami sudah bangun
pukul 02.30 pagi menggunakan alarm hp. Kami lalu berwudhu dan berangkat
ke Masjid Nabawi. Kami ingin shalat di Raudhoh (merupakan tempat yang
berada di antara rumah Rasulullah dan Mimbar Rasulullah) dan juga ingin
shalat tahajud di masjid yang menyediakan pahala berlipat bagi
jemaahnya. Menurut salah satu hadist Rasulullah, “Diantara rumah dan
mimbarku adalah taman diantara taman-taman surga, dan mimbarku di atas
telagaku” (HR.Abu Hurairoh. RA).
Dini hari terasa dingin. Kami menembus
dinginnya tengah malam dengan melapisi badan menggunakan jaket. Jaket
adalah benda penting untuk dibawa ketika ke Arab Saudi. Udara malam hari
bisa menjadi sangat dingin, meski di siang hari terhitung panas terik.
Pak Rudi berperan sebagai komandan kami
saat itu. Tiga orang lainnya, termasuk aku, baru pertama kali umroh.
Jadi belum tahu tempat dan letak dimana Raudhoh. Pak Rudi menuntun kami
dan memberitahu kami mana batasan Raudhoh dan non-Raudhoh. Karpet area
Raudhoh adalah berwarna hijau tua. Jika bukan warna hijau tua, berarti
Anda belum masuk area Raudhoh. Raudhoh bagi perempuan dibedakan dengan
laki-laki. Tempatnya ada di bagian agak belakang Raudhoh laki-laki. Bagi
perempuan, Raudhoh mereka ada pagarnya. Di Raudhoh setiap doa diijabah
Allah dengan kepastian tingkat tinggi. Ini sesuatu yang mahal, menarik,
dan luar biasa. Tak heran, banyak orang yang berebut ke sana.
Teknik yang diajarkan oleh Pak Rudi
adalah berani mengambil kesempatan dan jalan menuju shaf depan, tepat di
depan simbol Raudhoh. Di sanalah disunnahkan shalat 2 rakaat dan berdoa
setelahnya.
Aku mengucap bismillahirrahmanirrahim
dalam hati, agar dimudahkan segala urusan. Kami bergerak satu persatu
dalam jarak dekat, menuju shaf depan. Kami terpaksa harus melangkahi
jemaah yang sedang duduk. Mata kami harus liar, mencari celah, mana shaf
kosong, mana jemaah yang sudah selesai shalat sunnah 2 rakaat untuk
kami take-over tempatnya.
Alhamdulillah, kebulatan niat dan
kekuatan tekad, mengantarkan kami sampai di depan simbol Raudhoh. Aku
berada 2 shaf di belakang jemaah yang siap untuk shalat 2 rakaat. Tak
berapa lama, tibalah giliranku. Aku juga ingat pesan temanku, Irvan
Hermala. “Maksimalkan doa saat shalat,” ungkap Irvan memberi tips padaku
sebelum berangkat umroh. Aku benar-benar memegang kata-kata itu. Aku
praktekkan. Ketika shalat, di sujud terakhir aku perbanyak doa di dalam
hati seputar keinginanku. Aku yakin, hal itu lebih efektif, daripada
berdoa setelah shalat.
Mengapa? Karena jika sesudah shalat, kita
akan “diusir-usir” oleh jemaah lain yang sudah tak sabar mengantri.
Kadang askarnya juga membatasi lama waktu orang shalat sunnah. Jika ada
yang sudah terlalu lama dan ditambah berdoa dengan durasi lama setelah
shalat sunnah, ia akan bertindak, mengusir Anda. Tak boleh berdoa
terlalu lama karena antrian membludak. Dari kesimpulanku shalat di sana,
ada beberapa pelajaran yang didapat. Shalat sunnah di Raudhoh adalah
sarana melatih kita untuk bisa baca peluang, berani ambil tindakan,
yakin, dan ikhlas. Mata harus jeli melihat tempat kosong, gerak pun
harus gesit. Itu pelajaran hidupnya.
Dini hari itu jadi saksi bagiku betapa
aku takjub melihat antusiasme orang muslim untuk shalat di Raudhoh.
Begitu kuat keinginan mereka sampai berebutan. Aku membayangkan, kenapa
orang di Indonesia tak pernah punya perasaan ingin rebutan shalat di
masjid seperti rebutan shalat di Raudhoh? Jika perasaan itu ada, tentu
masjid-masjid di Indonesia sudah penuh ketika shalat 5 waktu. Terlebih
saat subuh. Alangkah indahnya jika spirit shalat di Raudhoh bisa itu
ditransfer ke Indonesia. Aku jadi berpikir, menarik juga membuat gerakan
sosial untuk shalat jemaah di masjid. Aku jadi ingat gerakan Jemaah
Tabligh di Indonesia. Pernah sekali waktu aku melihat mereka datang dari
rumah ke rumah untuk mengajak orang shalat di masjid. Sungguh, sekarang
aku baru tahu, bagaimana pentingnya shalat jemaah di masjid itu. Aku
baru tahu, mengapa orang Islam Jemaah itu begitu menggebu-gebu mengajak
orang lain untuk shalat jemaah di masjid. Ia tahu ilmunya, ia juga
pernah merasakan sensasi shalat sunnah di masjid Nabawi dan Masjidil
Haram.
Usai shalat dua rakaat di depan Raudhoh,
aku beranjak pergi. Kali ini aku mengisi dinginnya malam dengan shalat
tahajjud dan shalat witir. Aku memilih shalat di shaf terdepan, dekat
dengan imam. Aku penasaran, bagaimana sih bentuk fisik para imam di
masjid besar seperti Nabawi itu. Meski harus rebutan, alhamdulillah aku
selalu mendapatkan tempat di shaf 3 di belakang imam. Lokasi tepat di
belakang imam adalah khusus diperuntukkan bagi imam masjid Nabawi
lainnya alias ulama-ulama besar di sana. Tempat ini dijaga betul oleh
Askar. Jika ada jemaah yang duduk di sana, ia akan menegur. Jika tak
mempan, ia akan mengusir orang yang berani menempati shaf yang telah dibooking itu.
Setelah shalat tahajjud dan witir, aku
mengaji. Membaca Al-quran yang aku bawa dari Indonesia. Jika Anda
berkeinginan membawa Al-quran dari Indonesia, cukup bawa yang kecil dan
yang ada terjemahannya. Terjemahan menjadi penting agar Anda tak hanya
sekadar membaca Al-quran, tapi juga paham makna dari apa yang dibaca. Di
masjid-masjid seperti Masjid Nabawi sebenarnya juga tersedia Al-quran
dengan tafsir Indonesia. Namun butuh kesabaran juga mencarinya di
berbagai rak Al-quran, karena hampir semua translasi bahasa dari
Al-quran tersedia di sana. Jadi, muslim dari berbagai negeri tak perlu
khawatir.
Wah, tak terasa, aku sudah panjang lebar
bercerita. Saatnya break ya. Kapan-kapan aku lanjutkan lagi. Kalau
kepanjangan, nanti pembaca blogku bisa bosan. Ini baru hari kedua di
Madinah. Dan aku sudah jatuh cinta dengan atmosfer kotanya yang tenang
dan nyaman. Tak ada yang lebih indah selain melupakan kehidupan dunia
sejenak, lalu mengerahkan diri berpikir tentang akhirat. Ada titik
kepuasan yang aku rasakan.
What next? Masih banyak dan panjang ceritanya. Bagaimana sandalku hilang di masjid Nabawi? Bagaimana cerita lengkapnya aku nyeker
dari masjid ke hotel lalu dipelototi oleh orang banyak? Lalu bagaimana
kisah pertemuanku dengan mahasiswa asal Niger yang kelak mengajakku
berpetualang kesana-kemari di Madinah? Nantikan cerita lengkapnya di
episode “Umroh Dari Warung Padang Part 6”. Don’t miss it.